-->

Image Slider

Lagi, Tentang Uang dan Kebahagiaan

on
Thursday, January 30, 2020
Tahun lalu, saya pernah nulis tentang mempertanyakan kebahagiaan. Tentang kita nggak pernah bisa valid merasakan sepenuhnya bahagia kalau nggak punya pembanding keadaan yang tidak bahagia.

Baca dong: Mempertanyakan Kebahagiaan (Open new tab dulu terus baca plis)


Pun dengan uang, “idealnya” kita bisa bilang uang bukan segalanya ya saat punya uang. Kalau dalam kondisi belum pernah punya uang, tidak valid bilang “money can’t buy happiness” karena buktinya mana?

Apa kamu pernah merasakan punya uang untuk beli sebagian besar barang yang kamu mau lalu tidak bahagia? Kalau belum, kok bisa bilang gitu? Apa kamu cuma menghibur diri?

*

Lalu semalam ngobrol sama JG soal ini dan dia bilang “privilege banget ya ternyata bisa makan malem bertiga terus tiap hari tuh”. Terus saya jawab: “Apa ini privilege? Atau pilihan?”

Ya privilege sih, tidak semua orang punya kemewahan kebetulan suami kerja di jam kerja yang pasti dan istri yang kerja di perusahaan yang jam kerjanya tidak pasti tapi most of the time di jam dinner udah di rumah lah.

(Baca blogpost soal Work Life Balance ini, klik, open new tab lagi!)

We’re blessed.

Itu kalau dilihat dari sisi privilege. Tapi kalau dipikir ini buah dari keputusan di masa lalu juga ya bisa. Karena prioritas waktu buat keluarga ini juga jadi pilihan dan komitmen sejak memutuskan menikah kan. Karena lelah LDR, sebelum nikah JG memutuskan pindah kerja ke kantor yang jam kerjanya pasti.

Gaji ilang setengah, hidup jadi lebih susah rasanya karena hamil dan mau punya anak kok gaji malah ilang setengah. Makanya memang saya harus tetep kerja karena realistis aja emang nggak cukup uangnya untuk membesarkan anak kalau saya nggak kerja.

Lalu teringat lagi kejadian kemarin juga soal dia batal pindah kerja. Diingatkan lagi dengan komitmen awal kami bahwa ya kerja kan buat keluarga, untuk apa kerja tapi jadi nggak punya waktu buat keluarga?

Langsung pulang ke rumah sepulang kerja juga kan pilihan. Dalam sebulan, JG hanya tidak langsung pulang itu hanya maksimal 2 kali karena dia main bola, itu juga kalau tidak hujan, kalau hujan ya pulang. Saya, pulang malam tidak sampai sebulan satu kali, kalau memang kebetulan ada acara yang undangannya malem aja. Sangat jarang.

Kami lebih sering memilih langsung pulang karena rasanya udah berjam-jam di luar rumah apa nggak mau pulang aja dan kembali kruntelan bertiga?

Memilih untuk tinggal di sekitar kantor juga kan pilihan. Nggak mau punya rumah tapi terus nggak bisa makan malem bareng karena rumahnya jadi jauh dan kelamaan di jalan. Nggak mau punya rumah tapi terus Bebe jadi sama nanny di rumah karena cari daycare susahnya ampun-ampunan.

*

Kalau inget-inget waktu Bebe bayi dulu wahhh hidup tuh nggak segampang sekarang. Blog ini jadi saksinya hahahah.

JG masih mayan sering pulang malem tapi kami keukeuh pulang bareng biar bisa ngobrol jadi saya jemput Bebe di daycare lalu nunggu di halaman daycare bisa sejam sendiri.

Yang berat kalau bulan puasa, pernah saya tulis blogpostnya di sini: Hidup yang Lebih Baik (Jadi udah open new tab berapa ini? Hahaha)

Karena pilihannya naik taksi pulang berdua atau nunggu. Saya dan Bebe lebih sering nunggu karena waktu itu rasanya nggak mampu kalau harus pulang pake taksi setiap hari. Baru ada GoJek dan nggak sanggup bawa balita naik GoJek, belum ada GoCar atau GrabCar.

Dua tahun belakangan penghasilan udah lebih baik, udah nggak mikir dua kali lah kalau harus naik taksi atau GoCar gitu. Keuangan udah lebih stabil dibanding dulu, uang SD Bebe udah lunas kebayar, udah mulai nabung buat SMP dan SMA.

Jadi baru sekarang rasanya kami valid untuk bilang: Money can’t buy happiness.

Masih pengen classic Chanel bag sih emang 😂tapi semua yang kami punya cukup kok . Semua yang kami punya sudah layak dirayakan. Semua yang kami punya, layak disyukuri karena toh lebih dari yang kami butuhkan selama ini.

Lebih dari yang kami butuhkan untuk bertahan hidup lho ya, bukan bertahan untuk keinginan yang selamanya nggak akan pernah habis.

*

Lalu mikir lagi, saya bilang “eh menurut aku kita bisa sampai di sini karena kita nggak pakai standar society untuk segalanya. Kita punya standar kita sendiri dan nggak gampang kebawa orang lain”.

Ini sih mungkin yang terberat. Berat karena harus tahan denger komentar dan omongan orang lain.

Standar society bagi pasangan muda baru nikah: Beli rumah, punya mobil, anak kedua. Nata-nata rumah, foto rumah di IG, main bareng anak di rumah.

Iya saya tau banyak yang memang sangat sangat ingin punya rumah sendiri karena satu dan lain hal. Jadi memang tujuan utama setelah nikah tuh beli rumah. Nggak apa-apa asal sudah dipertimbangkan dengan baik dan nggak jadi berat untuk bayar cicilannya.

Karena saya juga pengen kok punya rumah sendiri, tapi tau diri aja, pengennya di Jakarta Selatan dan kalau sekarang beli rumah, uangnya cuma cukup buat nyicil di pinggiran. Jadi ya tidak beli.

Tapi saya tau juga, banyak orang yang beli rumah karena merasa harus. Dari dipaksa orangtua, disindirin saudara, sampai merasa left out karena kok temen-temen udah punya rumah aku kok belum? Nah yang kaya gini nih udah keseret standar orang lain yang entah gunanya apa.

Belum lagi gaya hidup dan keinginan-keinginan yang muncul karena alasan self-rewards: Udah capek-capek kerja masa nggak boleh self-rewards!

Jilbab aja harus merek X yang belinya aja ampun harus cepet-cepetan atau harus dari reseller. Baju harus ini karena selebgram ini pake. Jastip lah semua orang beli barang jastip kok aku jadi pengen juga? Buku juga beli banyak karena masa orang belanja di BBW aku tidak? Kan boros beli buku lebih baik dibanding boros beli mainan?

Boleh self-rewards, masa nggak boleh. Tapi tentu lebih baik kalau tidak boros sih hahahaha.

Mau sampai kapan hidup kalian terseret gaya hidup orang lain terus? Apa tidak mau mendefinisikan kebahagiaan sendiri jadi nggak perlu pakai standar kebahagiaan orang lain?

*

Jadi apa bener uang bisa beli kebahagiaan? IYA DONG, BISA BANGET. Tapi ingat batasnya.

Kerjalah tanpa mengorbankan kesehatan. Kerjalah tanpa mengorbankan waktu bareng keluarga. Kerjalah untuk bisa bertahan hidup sekarang dan di masa depan bersama orang-orang yang kamu sayang.

Menabung sedikit-sedikit itu tidak apa-apa. Kamu tidak dikejar apapun. Selama masih ada uang untuk ditabung, sesuaikan gaya hidupmu dengan uang itu. Untuk menabung itu konsepnya kan hanya menambah penghasilan atau mengurangi pengeluaran. Kalau menambah penghasilan artinya mengorbankan waktu dengan keluarga, apa tidak mau coba review dulu pengeluaran, siapa tahu terlalu banyak gaya? :))))

Mungkin kadang kamu merasa iri pada teman-teman yang gajinya sudah dua kali lipat lebih besar, tapi ingat selalu, kerja lebih keras PASTI menuntut pikiran dan waktu lebih banyak. Kamu mau habis waktu untuk kerja atau mau banyak waktu bareng keluarga?

Poinnya adalah: Kerja sekerasnya untuk semua tanggunganmu tapi jangan lupa luangkan waktu untuk mereka ini. Luangkan waktu untuk mereka, luangkan waktu untuk dirimu sendiri. Dan di titik itu baru kamu akan bisa bilang kalau uang tidak bisa membeli kebahagiaan.

Dan seperti yang saya bilang di atas, sengaja meluangkan waktu untuk quality time dengan keluarga itu pilihan. Ada yang memilih untuk tidak mau pulang cepat karena merasa kosong di rumah sendiri, merasa dingin padahal punya tuh suami. Mungkin saatnya terhubung kembali, apa yang harus kita ganti sehingga hidup bisa jadi lebih berarti? Apa yang salah? Apa yang harus dipilah atau harus mengalah?

Kita perlu uang untuk bertahan, tapi bukan berarti jadi kerja tak berkesudahan. Jadi jangan lupa rebahan! Semoga bahagia selalu, ya!

PS: Tulisannya agak kurang enak karena awalnya nulis untuk story. Tapi ah udalah posting di blog aja hahahaha

-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

A Cancelled Plan

on
Thursday, January 9, 2020

Wow I’m writing this while crying with relief hahahahaha.

Akhir 2019 dilewati dengan hari-hari menegangkan JG mau pindah kerja. Ya it’s time sih, udah 7 tahun di kantor yang sekarang. Karier naiknya pelan, pelaaannn banget. Kerjaan juga rasanya gitu-gitu aja.

Saya juga ngerasa ini sih waktunya dia untuk “gerak” pindah dari comfort zone dan kejar sesuatu untuk diri sendiri. Cari hal yang bisa bikin diri sendiri bangga dan punya pencapaian baru.

Karena selama ini yang dikejar pencapaiannya itu selalu saya. Saya mau ngapain lagi nih? Saya ambil sertifikasi apa? Saya kejar passion dengan cara apa lagi nih? Saya belajar apa lagi? Bertahun-tahun JG cuma supporter doang. Sebagai kaum non-ambis, dia nggak masalah dan senang aja jadi supporter.

Tapi sebenernya deep down saya juga pengen dia ketemu tantangan baru, orang-orang baru, networking baru. JG juga sebetulnya jenuh, lalu daftar untuk workshop broadcasting. Enam minggu ke depan dia akan workshop tiap Sabtu untuk sesuatu yang dia suka banget. Dan akhirnya mulai beresin LinkedIn.

Mulai aktif sampai tawaran kerja datang via LinkedIn bulan November. Interview lancar, nego gaji mayan alot, minggu kemarin medical check up dan lancar, proses ini itu, hari ini jam 10 tanda tangan kontrak. Gaji naik sekitar 36%, not bad sebetulnya menurut kami.

Perusahaannya lebih besar, pindah industri memang. Di industrinya, dia nomer 1 di Indonesia, multinational company, lebih besar dari company sekarang. Akan banyak belajar hal baru, dijanjikan akan banyak training (we’re that kind of people that super excited about trainings!), dan banyak hal lain.

Saya full support dan udah punya plan B serta C. Udah punya rencana ini itu karena (nah ini karenanya penting banget) karena di kantor yang baru posisinya asisten manager dan sudah diwanti-wanti dari awal kalau kerjanya mungkin tidak akan 9 to 5. Sabtu Minggu bisa jadi masuk jika diperlukan. Iya sih lembur dibayar full.

Plan A saya tentu tidak ada perubahan, saya tetep kerja, JG tetep anter jemput Bebe kaya biasa. Tapi kalau pulangnya malam terus?

Plan B saya yang anter jemput Bebe dan masih tetep kerja. Kalau ternyata capek?

Plan C saya resign jadi saya bisa fokus cuma anter jemput Bebe aja sambil mengerjakan hal lain. Udah banyak yang saya rencanakan sih. Agak nervous tapi yang konstan dalam hidup cuma perubahan, kan?

Intinya, saya menyambut 2020 dengan siap menyambut perubahan.

Plan C ini bikin JG misuh banget. Dari cuma “apa otak kamu bisa tetep kepake kalau resign?” atau “kamu bisa emang nggak ketemu orang lain dan di rumah aja?” sampai “hah udalah nanti kalau kamu resign nanti jadi rese”.

YA TERUS GIMANA?

Intinya kan yang terdampak dari perubahan ini tetep Bebe dong. Nggak mungkin saya sibuk kaya sekarang lalu JG lebih sibuk? Bebe gimana?

Tapi pemikiran resign ini diabaikan. Saya berkali bilang:

“Aku tuh terserah kamu lho, aku 80% ok kamu pindah tapi kalau kamu berat ya nggak apa-apa nggak pindah juga”.

“Aku yakin kita nggak akan menyesali ini kok. Pindah nggak boleh nyesel, nggak pindah juga nggak akan nyesel. Kita jalanin aja sama-sama.”

EH DIJAWAB DENGAN:

“Ya aku tuh bingung mau ambil atau nggak karena kamu bilang terserah. Kamu dong putusin ambil atau nggak.”

T________T

Bahkan mengambil keputusan pekerjaan pun harus saya yang mutusin. Ya kalau keputusan saya sih ambil aja, why not?

(Tentang JG yang susah ambil keputusan ada di sini ya: Anak dan Pengambilan Keputusan dan tentang Bebe yang bisa banget ambil keputusan di sini: Anak yang Bisa Mengambil Keputusan)

Sampai sore kemarin sebelum pulang kantor, JG chat sama temen kami yang memang udah lama banget kerja di industri yang sama dengan calon kantor baru. Satu kalimat yang langsung dheg adalah … “akan hectic kerjanya, nanti playtime sama Xylo berkurang”.

Ini kondisinya saya masih di kantor, JG telepon dan ceritain chatnya. Begitu nama Xylo disebut saya langsung galau. Saya langsung pengen merosot ke lantai dan “plis banget aku jadi 50:50 apa kamu perlu pindah?”

“Apa worth it?”

“Aku pengen kamu berkembang juga, punya sesuatu yang bisa kamu ceritain juga. Tapi, apa perlu?”

T________T

Perjalanan pulang dari kantor ke rumah dihabiskan dengan ngelamun. Mana dingin banget AC mobilnya dan terlalu malas minta bapak drivernya kecilin. Saya mikirin banget segala yang terjadi 5 tahun belakangan.

Makan malem itu kami bertiga mellow sekali. Saya tanya Bebe “Mau nggak pulang sekolah nggak dijemput appa?” Bebe jawab “kan bisa sama ibu”. Saya bilang “tapi setiap hari appa nggak jemput dan pulang malem?” Bebe nunduk sedih dan bilang “no no no”.

via GIPHY

Selama ini hidup kami baik-baik aja karena kondisinya seperti ini. Bebe tumbuh baik-baik saja. kami tidak kerja mati-matian lalu tidak punya waktu untuk dia. Kami kerja dengan waktu fleksibel, selalu punya quality time dan makan malam bersama, selalu punya weekend kruntelan bersama. What a privilege.

Kami menjalani hidup sebagai orangtua yang kompak dalam segala hal. Bebe tidak berat sebelah, Bebe akrab dan dekat dengan kami berdua. Tidak masalah kalau harus hanya bersama appa atau hanya bersama ibu. JG bisa meng-handle Bebe sebaik saya. Dalam kondisi apapun, pada Bebe, kami satu suara sebagai orangtua.

Kami menjalani hidup sebagai suami istri yang seru sekali dan masalah yang muncul sangat-sangat sedikit. Ya karena komunikasi lancar dan waktu berkualitas yang memang banyak. Apa perlu ini diubah demi tantangan baru? Demi pencapaian baru?

Dengan risiko waktu bersama Bebe akan berkurang? Dengan risiko tidak bisa main saat weekend karena lembur? Dengan risiko tidak bisa anter jemput Bebe padahal itu adalah bonding time antara Bebe dan appa? Dengan risiko tidak bisa main-main ke mall berdua Bebe sepulang daycare dan tidak bisa main nintendo bareng saat weekend?

Iya kalau tantangannya hanya di kantor, kalau tantangannya jadi masalah keluarga gimana? Ah, udalah kami terlalu takut ambil risiko itu.

Pagi ini saya chat di group keluarga, mengabarkan kalau pekerjaannya tidak jadi diambil. Ibu saya bilang “Kebersamaan bersama keluarga itu yang lebih mahal. Waktu sama anak yang mahal. Nggak akan terulang lagi. Nggak terasa sekarang aja udah mau SD”.

MAKIN AMBYAR NGGAK?

NANGIS. :(((((

Dulu sering banget denger kata-kata kaya gitu tapi nggak pernah tersentuh karena nggak mengalami. Sekarang begitu hampir mengalami rasanya baru sadar "oh ini maksudnya, ini maksudnya waktu tidak bisa diulang". :')

So here we go, kembali ke rutinitas biasa lagi. Rencana A B C batal semua dan ternyata jadi lega sekali. Uang bisa dicari, tapi waktu nggak bisa kembali. Kesempatan karier mungkin nggak datang dua kali tapi hari yang dilewati sekeluarga pun nggak bisa diulang lagi.

Semoga rezeki uang datang dalam bentuk lain ya! Rezeki waktu tinggal kami syukuri saja. :)

PS: Memang sepertinya saya akan rese kalau resign hahahaha.

-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Hello, 2020!

on
Tuesday, January 7, 2020
Yailah masih aja postingannya tentang tahun baru ya ahahahaha.



Dalam rangka memaksa diri nulis blog lagi nih karena kok yang baca masih lumayan banyak ya? Terkejut karena setelah nggak rajin nulis blog lagi, ikut nggak rajin juga cek page views-nya. Ternyata tiap postingan masih cenderung stabil dibaca orang. Satu kata: TER-HA-RU. T______T

Lebay ah biar. Yang jelas diniatin lagi lah untuk nulis lagi keseharian biar bisa dibaca lagi suatu hari nanti.

Seminggu pertama di tahun 2020 dilewati dengan berbagai hal. Malam tahun baru di rumah mertua, paginya niat kuat untuk pulang subuh dari Bandung biar nyampe Jakarta jam 8 pagi gitu. Nggak tau kalau Jakarta seharian hujan deras karena di Bandung sih chill aja, hujan-hujan kecil gemes doang.

Nyampe tol lancar jaya, nggak lewat tol baru karena ya udalah kalau di bawah lancar kenapa harus naik segala? Taunya di km 33 disuruh ke luar tol karena tolnya banjir. Mulai panik, eh apa se-Jakarta banjir ya? Cek Twitter, IYAAA SE-JAKARTA BANJIR HUAAA.

Lalu masih di Cibitung tuh muter-muter pake Google Maps karena baru jalan sekian ratus meter, jalannya banjir nggak bisa dilewatin. Puter balik lagi, reroute GMaps lagi. Jalan lagi sekian KM, jalannya banjir lagi. Yha jujur nervous karena takut mesin mobilnya mati di tengah banjir di wilayah yang kami pun entah nggak tau namanya apa.

Untung banyak orang baik, di satu titik di mana banjirnya nggak terlalu dalem, warlok (warga lokal fyi) yang jaga-jaga jalanan tuh bilang ke kami “pak, AC matiin, stabil aja jalan terus yah ikutin mobil itu”. Mobil depan kami mobil boks, sementara kami pake sedan, pinjem mobil ayah karena Karimun lagi dicat di Bandung.

(Baca: Tentang Karimun)

Terpanik karena merasa banjirnya lebih tinggi dari pintu mobil dan cipratan airnya tuh beneran ke kap banget saking tingginya itu banjir. Saya beresin barang-barang di lantai mobil dong karena takut air rembes masuk. Mesin juga jalannya lambat dan hanya ngegerung (HALAH APAAN SIH BAHASA INDONESIANYA TUH) tapi akhirnya lewat.

T________T

Lalu muter-muter lagi dan jam 10an tuh stuck. Semua jalan yang diarahin GMaps banjir tinggi semua sampai nggak bisa dilewatin. Mampir dulu ke minimarket beli cemilan karena takut banget akan seharian di jalan dan saya mulai browsing hotel zzz. Ya udalah kalau emang nggak bisa pulang kan mending di hotel aja, mobil parkir kita bisa tidur siang atau Netflix-an. Pulangnya nanti kalau banjirnya udah surut. Soalnya sepanjang jalan pun hujan kan, gimana bisa banjirnya surut.

Akhirnya kembali ke masa lalu dan nanya-nanya orang di pinggir jalan, arah ke Jakarta ke mana. Dikasih tau orang tapi tetep ada area banjir dan JG tanya lagi ke warlok yang jaga dan terjadilah percakapan ini.



ASLI MAU NANGIS. Tapi mungkin dengan kekuatan doa lewat juga sih itu banjir. Kemudian jalan di GMapsnya biru semua dan saya pun ketiduran. Bangun-bangun udah nyampe apartemen.

Harus ditulis juga supaya ingat kalau hari itu saya lagi mens. Dan karena di Bandung nggak ada kegiatan, makan juga nggak jelas (alias makan mulu sampai naik 2 kg), saya mensnya sakittt banget. Sakit perut banget dan rasanya kaya sembelit. Padahal biasanya mens tuh jadi diare kan, ini jadi sembelit hhh. Sampai Jakarta nyari-nyari yang jual YLEO Digize karena di rumah abis, susah banget, semua orang kebanjiran. Baru dapet jam 10 malem itu pun dari followers di IG yang kebetulan punya stok di rumah. T______T

What a day. Kebayang yang rumahnya banjir sampai airnya masuk atau mobilnya ngambang-ngambang huhu. Semoga diberi rezeki untuk kuat bebersih atau bayar orang bebersih ya. AAMIIN!

Lalu karena banjir, daycare mendadak diliburkan dua hari. Yang seneng siapa? Bebe karena bisa ikut appa ke kantor. Ibu juga senang karena akhirnya bisa lepas dari Bebe setelah hampir 2 minggu gelendotan terus astaga pegelnyaaa.

Jam 3 sore JG nelepon, katanya Bebe demam lagi nih. Yah, saya jemput deh akhirnya dan emang iya dia sumeng. Malem sebelumnya juga emang panas sampai 38 gitu. Tapi mikirnya mungkin kecapean kan lama di jalan jadi ya udah.

Sabtu-Minggu dilalui dengan bahagia. Hari Sabtu dihabiskan dengan menyulam berdua JG. IYA KAMI MENYULAM. JG menyulam sepatu Vans pink dia dengan bunga daisy karena beli Air Force One Peaceminusone terlalu mahal lol. Saya menyulam dan DIY 2 kaos. Seneng banget, quality time dan fokus no gadget Saturday. Hanya Bebe yang main Minecraft karena yha kalau dia tidak pegang gadget, kami dong yang harus ajak dia main. HAHAHA.



Hari Minggunya main ke rumah sepupu yang punya bayi. Puas ngobrol dan ketawa-tawa. Seninnya kembali kerja, Bebe kembali ke daycare. Seneng banget dia karena akhirnya kembali ke rutinitas.

Duh, liburan lama kaya gini tuh emang bikin pusing ya. Guilty karena Bebe jadi screen time setiap hari. Mana bokek pula karena jajan dan belanja terus hahahaha. Untung dari awal udah ambil cash untuk sebulan jadi pulang liburan tidak pusing nunggu gajian.

Anyway itulah summary dari 7 hari pertama di 2020. Hopefully there will be so many new things in 2020 we’re ready to welcome all!


Semoga selalu jadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga bagimu riang dan senang. Kalau pun hadir halang rintang, semoga bisa dihadapi dengan sehat dan dijalani dengan tenang.

Selamat menjalani 2020!

-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

2019

on
Wednesday, January 1, 2020
Waw, 2019 jadi tahun blogpost tersedikit. Agak lucu karena di 2018 saya niat banget pengen Instagram bisa swipe up biar bisa share postingan blog di IG.


Kenyataannya setelah bisa swipe up, malah rajin nulis di IG story dan jarang blogging huhu sedih banget. Ditambah kerjaan di kantor sekarang nulis ya makin-makin males nulis di blog. Baru kerasa tahun ini nggak bisa tracking sejarah hidup apa-apa karena duh semua malah ditulis di story. Nggak bisa search by keyword emosyyyy sama diri sendiri yang kurang niat nulis blog.

Manusia memang sumber ketakbersyukuran, taking things for granted huft

T_______T

Tapi ya udalah, sering share di story followers nambah 2 kali lipat dalam setahun. Tetep belum buanyak banget sampai ratus ribu. Tapi emang sharing saya kan niche banget gitu kan kalau dipikir-pikir. Nggak mellow, nggak puk-pukin orang, nggak suka bahas keramaian, yang ada orang baper karena saya omelin "salah sendiri" mulu hahahahahuhuhu.

Gimana 2019-nya? Alhamdulillah jadi tahun yang semakin stabil. Dibandingkan dengan 2018, tahun ini iya capek tapi puas sih. Nggak galau lagi sama hidup, nggak marah lagi, tahun yang baik-baik saja. Senang sekali rasanya setelah 2 tahun terakhir rasanya kok berantakan banget hidup saya tuh huhu.

(Baca: The Scary, Scary Adulthood)

Dari percakapan dengan JG kemarin, sepertinya saya udah adaptasi. Jadi awalnya ngomongin stay at home dad yang profilnya ditulis di Mommies Daily, terus jadi bahas betapa dulu kami maunya JG jadi stay at home dad dan saya pursue karier gitu.

Pada masanya, itu adalah rumah tangga dambaan kami berdua. Rumah tangga yang sesuai passion masing-masing. Dulu saya suka kerja di kantor, punya tim, dengan KPI ini itu, yang disuruhnya 100% saya kasih 120% lol ngerepotin diri sendiri sukanya tuh. :'))

Lalu JG yang suka sekali ngerjain kerjaan rumah tangga. Yang passionate sekali pada parenting sampai di kantornya suka ngasih saran-saran parenting gitu pada yang bertanya hahahaha. Yang maunya di rumah aja ngurus rumah dan nunggu saya pulang kerja.

Mimpi yang ternyata saya paksa kubur dalam-dalam saat Bebe lahir karena saya tidak mau kehilangan masa kecilnya. Mimpi yang mungkin bisa saya raih dengan berbagai kesempatan yang sebenarnya muncul dari beberapa tawaran interview di LinkedIn namun saya abaikan dengan tangis berderai-derai.

(Baca: Untuk Kalian, Ibu-Ibu yang Baru Saja Melahirkan Anak Pertama)

Prioritas saya anak dulu, Bebe dulu, sepenuh yang saya bisa, sejauh yang saya mampu. Dan ternyata saya tidak menyesal. Bebe tumbuh seperti yang saya bayangkan, yang saya inginkan, tidak pernah merasa dia kurang suatu apapun, I’m really proud of him.

Apakah kalau dulu saya pindah kerja dan kejar karier Bebe akan seperti ini? Ataukah ada hal-hal yang jadi saya sesali karena saya kehilangan waktu belajar jadi orangtua dan memilih bekerja demi pencapaian saya sendiri?

Waktu untuk mengejar karier hilang, usia saya juga tidak berkurang, Tapi waktu untuk Bebe tumbuh besar juga kan tetap berjalan, usia dia semakin besar dan saya trust issue saya terlalu parah jadi tidak percaya dia dibesarkan siapapun kecuali saya sendiri.

Lagipula saya kan bisa 100% fokus pada Bebe itu karena kantor adalah jadi support system yang baik. Yang tidak terlalu peduli pada izin anak sakit tanpa memaksa ambil cuti. Yang mengerti kalau anak itu prioritas utama bukannya deadline kerjaan.

Dua kantor saya selama saya bersama Bebe, sadar benar bahwa saya adalah ibu dan mereka sangat menghargai itu. Saya juga tahu persis kalau ini privilege. Kemewahan yang tidak dengan mudah didapat di kantor lain. Meski mungkin di kantor lain jabatan saya bisa lebih baik atau gaji saya bisa lebih tinggi.

Yah, namanya manusia, survival mode utama kan adaptasi ya. Secara nggak sadar ketika saya marah sekali pada hidup di tahun 2015-2017 itu pelan-pelan saya adaptasi. Dan ternyata perjalanan adaptasi ini bikin perubahan besar. Saya jadi nggak ngoyo lagi kejar karier dan udah nggak pengen JG stay at home dad hahahaha.

Jadi nggak yakin apa saya bisa dengan single income dari diri saya sendiri? Saya maunya double income aja tapi kami sama-sama kerja dengan prinsip work life balance. Daripada single income tapi salah satu kerja terus kannn.

Dalam proses adaptasi itu saya cari hal lain yang bisa bikin saya tetap merasa berkarya tanpa karier di kantor. Saya nulis blog banyak sekali, saya belajar bikin konten di YouTube, belajar makeup, sampai belajar gambar di 2018 dan surprisingly mengembalikan kepercayaan diri.

(Baca: Mengapa Menggambar)

Di 2019 saya dengan percaya diri bisa bilang saya BISA gambar. Masih terus belajar karena siapa sih yang tidak? Hidup kan memang terus belajar, tapi saya bisa.

Untuk ulang tahun Bebe yang kelima saya menggambar satu buku ilustrasi tulisan saya sendiri, dengan gambar saya sendiri. Buku itu dijual dengan sistem buy 1 donate 1, terjual 250 buku dan menyumbang 250 buku ke Taman Bacaan Pelangi dan berbagai PAUD di Jakarta dan Bandung.

Bangganya luar biasa, saya yang seumur hidup yakin tidak bisa gambar, tiba-tiba jualan buku! Ya meskipun cetak sendiri bukan lewat penerbit ahahaha.

Capeknya juga ya ampun, jual 250 buku di Tokopedia, print alamat sendiri, bungkus sendiri, jalan ke JNE sendiri. Nyerah banget lho cuma berdua beginian sampai pengen bayar mimin akutuh tapi kan ini project charity jadi uang dari manaaaa bayar mimin?

Iya udah bikin buku tapi tetep nggak mau ambil job gambar. Karena sejauh ini, gambar bikin rileks dan senang, nggak mau dihancurkan dengan ambil job dengan deadline, nanti jadi nggak happy lagi gambarnya.

Selain buku, saya juga bikin gif di Instagram Story! Nggak niat apa-apa, lebih karena kepo aja katanya approvalnya susah blablabla. Saya nggak susah sih, cuma sekarang udah nggak muncul lagi hahaha. Mungkin karena nggak di-update dengan gif baru jadi ya ketumpuk gif lain.

(Baca: Kenapa Ortu Zaman Dulu Anaknya Banyak)

Lalu di pertengahan tahun sedikit dikecewakan orang. Janjinya mau diajak ke satu negara terus dicancel begitu saja padahal udah ambil cuti hhh. Mana cutinya pake sistem kan jadi kalau udah di-approve semua ya nggak bisa cancel.

Rewel lah ke group ngajakin siapapun yang bisa diajak jalan. Cus ke India. Hahaha. Sungguh random.

Nggak nonton film India, nggak ngikutin penyanyinya juga, tau-tau ada di sana dan seru banget sihhh. Harus diagendakan pergi jauh ke tempat random bersama teman tuh. Jangan Singapur lagi Singapur lagi hahahaha.

Di pertengahan tahun pengen ambil sertifikasi tapi apa ya? Setelah ikut kelas financial planning di kantor, tercerahkan kalau saya kayanya passion nih soal personal finance dan mau ambil CFP. Ngomong di group, mbawin juga mau tapi nyari di Medan nggak ada. Jadilah sama-sama ambil di Jakarta di bulan Agustus.

September-Oktober leyeh-leyeh, November ujian CFP dan lulus! Di bulan yang sama, juga keliling cari sekolah cadangan 2 dan 3 untuk Bebe. Di minggu saya ujian, juga dilewati sambil Bebe tes SD. Stresnya ampun sampai rasanya ngambang banget.

Terbayar dengan jadi pembicara soal finance pertama kali bareng Bareksa. Lalu mulai kulwap-kulwap yang sangat menyenangkan karena sharing masalah sama mbawin. Kebayang kulwap sendirian dan harus dengerin masalah keuangan sebanyak itu orang hadeh bisa-bisa saya yang ikut stres hahahaha. So far udah kulwap 5 kali masing-masing 100 orang dan masih ada 800 orang waiting list!

Di Desember, liburan ke Singapura sekeluarga, Bebe dan JG nonton Monster Jam Live sementara saya leyeh-leyeh. Di bulan ini juga masih banyak event sampai rasanya tiap hari cuma makeup dan hapus makeup aja. Akhir tahun di Bandung, leyeh-leyeh, jajan, belanja. WHAT A YEAR!

Ada satu target nggak tercapai sih yaitu followers IG 50ribu LOL. Tapi tahun kemarin itu saya nggak punya banyak resolusi berarti selain followers. Nggak merencanakan bikin buku apalagi ambil CFP. Jadi ya udalah followers bisa nyusul kapan-kapan hahaha.

Penting amat jumlah followers? Iya penting banget biar sekali sharing tuh yang denger langsung banyak. Biar kerasa ngasih impact gitu ahahaha. Plus biar rate card naik juga kan. EH ADUH LOL.

Dulu terobsesi page views, sekarang terobsesi jumlah orang yang share postingan saya di IG HAHAHA. Sungguh saya nggak merhatiin likes, lebih senang lihat seberapa banyak yang share ke temennya atau share ke story. Kaya lebih bermakna gitu. :’))))

2020 sepertinya akan banyak kejutan. Ada beberapa hal yang belum bisa saya share dulu karena belum pasti. Yang pasti, saya udah cicil buku. Beberapa halaman saya gambar dari awal karena nggak puas sama yang sebelumnya. Meskipun nggak ada jaminan saya puas juga sama yang sekarang juga sih. Tau banget sama diri sendiri, susah puas huhu.

HAPPY NEW YEAR!

-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!