-->

The New Normal

on
Monday, April 20, 2020

Topik dengan tiga kata judul ini udah banyak banget yang nulis ya. Tapi saya mau nulis juga dari sudut pandang saya atuhlah masa nggak boleh hahahaha

Udah sebulan lebih di rumah, sebulan 4 hari kalau nggak salah hitung. Udah terlalu lelah untuk menghitung hari. Hidup pasti temukan jalannya. Udah mulai ngerasa kalau harus kaya gini selamanya ya udah, kalau bisa ke kantor tiap hari lagi kaya dulu alhamdulillah. 

Tapi kayanya pilihan kedua makin jauh rasanya. Hidup yang kemarin-kemarin jadi serasa cuma mimpi aja. Tiba-tiba kita bangun dan disadarkan, mana yang penting, mana yang bisa diabaikan. Mana yang milik kita, mana yang bukan. 

Waktu bukan milik kita. Tempat, bumi ini juga bukan milik kita. Yang kita miliki sepenuhnya sendiri cuma pikiran. Itu pun tetap hanya dalam pikiran, karena pikiran bukan kenyataan. Kita, sendirian dalam pikiran

Banyak hal yang kita pikir normalnya begitu ternyata tidak.

Normalnya kalau kerja itu ke kantor padahal tidak pun tidak apa-apa.  Karena banyak kantor yang masih bisa beroperasi baik-baik saja meski hampir semua karyawan diam di rumah tak ke mana-mana.

Jadi mudah terlihat, mana yang bisa tetap fokus bekerja meski dengan distraksi keluarga, mana yang malah menghilang dan menganggap work from home adalah liburan semata.

Normalnya anak tuh sekolah dong padahal tidak juga anak ternyata tetap normal ahahaha. Sekolah di rumah pun bisa. Anak beraktivitas di rumah cuma sama appa ibu yang tidak 100% fokus karena nemeninnya harus sambil kerja, ternyata bisa.

Normalnya me time ibu itu tanpa anak sama sekali. Ternyata me time ngunci diri di kamar juga bisa. Normalnya liburan untuk refreshing. Ternyata nonton drama Korea juga refresh dan senang-senang aja. Normalnya orang ekstrovert itu recharge di keramaian. Ternyata bisa kok diusahakan dengan teriak-teriak di rumah karaokean.

Dan normal-normal lain yang sekarang jadi dulu. Jadi masa lalu.

*

Kalau diperhatikan baik-baik, Bebe lebih gampang adaptasi. Dari dia bilang “aku bosan di rumah” sampai “aku sekolahnya di rumah aja” itu cuma butuh waktu sekitar 2 minggu. Sebulan ini cuma 2x bilang “aku kangen sekolah!” lalu kembali happy dan lupa kalau di rumah itu bosan.

Beda sama ibunya yang butuh 3 minggu sampai sebulan. Dari migrain dan nggak bisa ngapa-ngapain 3 hari penuh karena mikirin masalah dunia (aka pandemi) sampai akhirnya bisa terima “oh mungkin memang harus begini bertahun-tahun ya udalah”. 

Dari kangen ke mall, kangen CFD, kangen makan AYCE dan Pagi Sore, kangen ngantor dan liputan, sampai memutuskan udalah nggak usah kangen lagi karena makin jauh sama bahagia. Kayanya dikit lagi mikirin konsep ngantor aja jadi nostalgia, selevel dengan mikirin masa-masa SMA :))))

Udah nggak ada lagi juga opsi untuk melakukan itu dengan tenang. Mau kangen juga jadi percuma. Mau bosan juga, ah dulu waktu ngantor biasa juga ada kok masa-masa bosan. Bosan itu biasalah. Dalam situasi apapun, kita bisa kok bosan. Nggak cuma sekarang. Move on, pelan-pelan aja, yang penting dicoba.

At least karena berusaha legowo gini jadi udah nggak denial lagi. Udah nggak sakit kepala mikirin problematika orang sedunia lagi.

Baca riset Harvard School of Public Health, mereka bilang kalau vaksin belum ditemukan, dengan rumah sakit kaya sekarang, Amerika baru akan berhenti social distancing di … 2022 lol 2-3 tahun harus begini, itu juga masih perkiraan. Bisa lebih cepat, bisa banget lebih lambat. :))))

Pun mulai berhenti mengkhayal kapan ini berhenti dan mau ngapain saat berakhir? Karena konsep "akhir"-nya tuh bener-bener masih serupa harapan, bukan janji yang jelas akan ditepati kapan. Lebih baik manage ekspektasi, kan?

*

Baru kerasa bahwa masa depan yang dulu rasanya bisa direncanakan, sekarang kembali jadi bayang-bayang. Padahal dari dulu juga masa depan mah emang bayang-bayang ya? Hahahaha.

Dulu sok tau banget merasa bisa memprediksi besok akan kerja, Bebe sekolah, makan malam di rumah. Karena kenyataannya besoknya lagi juga gitu. Besoknya juga gitu lagi. Sok banget memperkirakan besok akan kaya apa padahal semenit lagi juga nggak ada yang tau akan gimana.

Sebagai tukang bikin rencana, kali ini saya malah menghentikan semua agenda. Hanya berharap tetap punya penghasilan agar bisa makan. Hanya berharap nggak ada kondisi darurat agar dana darurat bisa jadi tameng untuk tetap punya perasaan aman. Sebagai manusia ambisius, saya juga mengubah mimpi dan cita-cita. Dari daftar panjang yang ingin diraih, berubah jadi daftar pendek hal-hal yang syukurlah masih bisa cukup, sepertinya baru kali ini kami tak minta berlebih. :(

Untuk yang jadi kehilangan kerjaan karena normal yang tiba-tiba berubah ini. Semoga secepatnya ketemu jalan barunya, ya? 

Rencana diatur ulang, impian dikondisikan, pikiran dikendalikan. Yang bisa dilakukan memang cuma mengatur, mengondisikan, dan mengendalikan pikiran. Ya gimana, menkes bukan, presiden bukan. Kecuali kamu scientist yang emang lagi bikin vaksinnya jadi mungkin ada bayangan kapan pandemi ini bisa diselesaikan huhu mangat guys. 

Definisi optimis pun berubah. Saat awal self-isolation, optimis adalah yakin bisa survive di rumah sampai pandemi selesai. Sekarang, optimis adalah yakin bisa survive dalam keadaan kaya gini entah sampai kapan.

Ini bukan rutinitas sementara. Ini rutinitas baru. Sekali lagi, ini bukan gaya hidup sementara, ini gaya hidup yang baru.

Maka, mari kita tutup dengan berseru: Semoga kita semua sehat selalu!

-ast-





LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!
2 comments on "The New Normal"
  1. pemikiran yang sama denganku. Awalnya bosan tapi kudu diembrace alias legowo menerima kenyataan ini

    ReplyDelete
  2. bener mbak, we go to the new normal. smangat lah 😄

    ReplyDelete

Hallo! Terima kasih sudah membaca. :) Silakan tinggalkan komentar di bawah ini. Mohon maaf, link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya. :)