-->

Image Slider

Showing posts with label tentang sekolah. Show all posts
Showing posts with label tentang sekolah. Show all posts

Sekolah dari Rumah, 3 Minggu Kemudian

on
Sunday, August 2, 2020

Awal menyadari bahwa hasil menabungku bertahun-tahun hanya akan berakhir si Bebe sekolah di rumah rasanya aduh ngapain sekolah kalau gini mending tahun depan aja biar sekolah offline!

(Padahal nggak ada yang jamin tahun depan udah bisa sekolah offline kan hedeh). Soalnya sekolah montessori harus online tuh hedeh, aparatusnya gimana? LOL melupakan montessori adalah filosofi bukan material :')))

Lalu juga khawatir karena beberapa minggu sebelum mulai SFH, Bebe sempat regresi dan perilakunya kembali ke usia 3 tahun, belum cerita detail soal ini memang nanti-nantilah, tapi intinya ini menambah kekhawatiran. Jadi 2 minggu sebelum hari H masuk SD, kami konsul sama psikolog soal ini, assessment, juga sekalian nanya-nanya persiapan untuk masuk SD online.

Bebe adalah anak difficult. Iya selama ini emang saya selalu bilang dia anak slow to warm up padahal sebetulnya dia terlahir dengan temperamen difficult tapi karena stimulasi baik, nurturing baik, dia jadi lebih mudah beradaptasi sehingga ya udah seperti anak slow to warm up. 

Dikasih pandemi 3 bulan? YA BUBAR LAGI BUK. Udalah selama pandemi ini nggak bisa lagi sok-sok bilang slow to warm up, difficult aja intinya. Karena kurang stimulasi, kurang interaksi sosial, kurang quality time sama saya dan JG. Mending dulu pas kerja, pulang tuh langsung fokus quality time, lha sekarang 24 jam bareng kok malah susah quality time HUHU SEDIH BANGET.

Lalu ingat dia adalah anak dengan gaya belajar kinestetik. Dia perlu bergerak-gerak untuk konsentrasi alias tipe anak yang jumpalitan banget nih baru pelajarannya masuk. Dulu saat belajar baca, saya kasih dia waktu roll depan dan lompat-lompat di kasur tiap berhasil baca 1 kata.

Terakhir, dia adalah anak ekstrovert. KAMI BERTIGA ADALAH KAUM EKSTROVERT. Jadi kami perlu berada dalam keramaian untuk bisa recharge energi. Kalau sepi-sepi gitu aduh lemes deh. Iya emang lemes terus selama di rumah aja ini. Bulan-bulan awal parah sih lemes luar biasa, sekarang udah mulai adaptasi.

Jadi Bebe adalah anak yang semangat kalau melakukan sesuatu bareng sama temannya. Kalau sendirian? Ya bosan.

Seminggu jelang sekolah, kok khawatir ya dia nggak bisa ngikutin pelajaran? Karena selama 3 bulan di rumah, harusnya dia TK dari rumah dong kan, tapi kan nggak mau. Selama 3 bulan saya bayar TK tapi si Bebe sekolah via Zoom mungkin cuma 5x. Padahal TK kan Zoomnya cuma setengah jam, itu aja nggak betah. Jadi 3 bulan liburan.

Maka ketika dapat jadwal pelajaran dan ngeliat wadawww ternyata SD sekolahnya 4 jam! Ibu cemas banget langsung mikir keras gimana caranya sih bikin dia stay di Zoom 4 jam, setengah jam aja menangis (ibu yang nangis bukan Bebe HAHA).

Maka kami pun meminta waktu pada guru kelasnya untuk one on one. Ini menurut saya penting agar gurunya tau karakter dia seperti apa (difficult, kinestetik, ekstrovert, sedang dalam kondisi yang butuh pendampingan psikolog) dan jadinya nggak berharap dia akan sejalan dengan anak lain.

YA PAHAM SEKOLAH MONTESSORI NGGAK AKAN BERHARAP ANAK JALAN SAMA-SAMA TAPI JUST IN CASE?

Selama one on one itu gurunya menenangkan dan bilang kalau nggak ada paksaan apapun. Saya pun bilang kalau dari saya nggak ada ekspektasi apa-apa. Kalau dia harus ngulang lagi kelas 1 tahun depan pun nggak masalah. Pokoknya set ekspektasi bahwa kami di rumah akan berusaha agar dia mau sekolah, tapi kalau pun tidak mau ya sudah. Gurunya oke.

Ternyata kekhawatiran itu cuma kekhawatiran aja ahahahaha. Emang kita tuh kadang suka meremehkan anak ya.

Sebelum masuk ke cerita SFH (EH BELUM MASUK CERITA YA? UDAH PANJANG GINI), baik psikolog maupun kepsek dan guru tuh sama-sama mengingatkan satu hal: RUTINITAS.

Rutinitas adalah kunci kesuksesan sekolah di rumah. Bagi anak kinestetik seperti Bebe, energizer di pagi hari itu wajib. Sebelum sekolah dia harus keluar rumah, lari-lari, ngapain lah pokoknya berkegiatan fisik biar lebih fokus saat mulai belajar.

Oke, maka saya dan JG bagi tugas. Kami berdua sama-sama akan bangun di jam 5 pagi, saya akan kerja sampai Bebe mulai sekolah jam 8.30. Selama itu, JG akan masak makan siang, energizer sama Bebe, sarapan, dan mandi. Setelahnya JG kerja, Bebe lanjut sekolah sama saya.

Pun ada kesepakatan sama Bebe bahwa sekolah tidak wajib. Tapi konsekuensi dari tidak sekolah dan tidak kerjakan tugas adalah sorenya tidak main game. Bebe setuju. Kami juga sama-sama run through jadwal pelajaran biar Bebe paham bahwa jadwal ini adalah kesepakatan bersama antara dia, kami, dan sekolah. Bukan suka-suka dia.

Hari pertama: Sepanjang Zoom nggak mau unmute sama sekali, nggak mau memperkenalkan diri, DIAM SEPANJANG HARI, iPad dibawa jalan-jalan jungkir balik tengkurep tapi diam. Ibu cheerleading mode, menyemangati terus.

Hari kedua: Mulai mau unmute sesekali tapi jawab sangat-sangat pelan. Kali ini yang cheerleading appa karena ibu ada syuting HAHAHAHA. Appa berakhir menangis (literally) karena udah masak sendiri, anaknya nggak mau makan, eh lalu piringnya jatoh dan tumpah. :))))

Hari ketiga: Mulai semangat, ngerjain tugas maunya selesai duluan terus suaranya mulai kedengeran “miss aku udah!” tapi baper dia karena miss nggak denger siapa yang ngomong. Saya suruh ulang bilang “bilang dong, miss Xylo udah” malah manyun.

Hari ini baca short story bahasa Inggris lancar meski suaranya pelan sampai iPad saya deketin banget ke depan muka dia khawatir miss nggak denger. Tugas selesai semua. IBU BANGGA BANGET TOLONG? Ibu masih full cheerleading mode. CAPEK YA TUHAN.

Hari kelima nggak mau sekolah nyahahahahahahaha. Udah energizer, sarapan, mandi, pake seragam. Sambil sarapan tuh sambil saya bacain buku. Begitu sarapan selesai, buku ditutup. Matanya berkaca-kaca “aku masih mau baca buku, aku nggak mau sekolah”. Yhaaa bagaimana.

Dia nangis telungkup di kasur lalu ketiduran ya udalah biarin. Jam 10-an dia bangun disuruh lanjut kelas lagi mau. Berarti tadi pagi ngantuk aja sih.

Dua minggu awal dia nggak mau sekolah sekali, ngambek left meeting duluan sekali karena disuruh baca Al-Fatihah tapi dia nggak mau, dan left meeting sekali lagi karena … jatoh dari kursi. Ya gimana sih kursi ada rodanya dipanjat-panjat, ya jatoh.

Ngeselinnya ya pas jatoh kan saya tangkap tuh tangannya, eh dia malah bilang “ibu dorong aku!” IDIH GEER AMAT! Saya kesel lah, ngapain aku dorong kamu biar jatuh? Kata dia “aku harusnya nggak jatuh, ibu dorong jadi aku jatuh!” WAW BYE. Saya menghindar dulu deh saking marah banget dituduh jatohin. Dia lanjut kelas sama JG.

Minggu ketiga ini alhamdulillah semua udah jauh lebih lancar. Bangun pagi nggak drama asalkan malemnya jam 8 udah tidur. Pun akhirnya di minggu kedua saya tinggal. Saya sok-sok sibuk gitu banyak kerjaan lalu diem di kamar, dia di kamarnya sendiri dan ternyata lebih enak begitu. Nggak manja.

Ya emang gitu kan ya kalau ada ibu segala-gala rasanya susah, lemes, kalau ibu nggak ada ya udah biasa aja. Saya bilang “kamu kenapa sih kalau sama ibu baby kalau sama miss jadi anak besar?” dia jawab “emang, aku maunya baby aja kalau sama ibu” HAHAHA AUK AMAT.

Tiap pagi bangun pun nggak susah, jam biologisnya udah terbiasa. Saya pun udah nggak struggling bangun jam 5 lalu kerja. Malah rasanya sehat banget karena tiap malem tidur jam 9 bangun jam 5, kulit pun jadi sehaattt banget. Emang tidur tuh krusial ya.

Saya bersyukurrr banget bisa sekolah di sini. Pelajarannya komprehensif dan anak-anaknya setara semua kemampuannya dengan Bebe. Semua udah lancar bahasa Inggris, baca tulis lancar, menghitung sederhana lancar. Missnya pun engaging banget jadi anak-anak nggak bosen. Tiga minggu sekolah udah planting, manasik haji online, dan cooking class.

Ini aja long weekend semalem dia sedih. “Besok minggu ya ibu? Aku mau sekolah aja, I’m soooo bored kalau tidak sekolah”. Wah seneng banget ibu dengernya huhu. Anak-anak kelas 1 seperti Bebe gini kan nggak punya pembanding sekolah offline, jadi sekolah itu ya Zoom. Mereka baik-baik aja, kita yang khawatir aja karena terpapar gadget terus kan?

Tapi ya udalahlah, emang zamannya begini juga. Jangan lupa main keluar aja dan video call orang selain orang rumah biar anak nggak lupa caranya ngobrol sama orang lain.

Gitu aja sih. Kita nggak tahu kapan kehidupan akan kembali seperti semula jadi beradaptasilah! Cari solusi konkrit sebetulnya mau hidup dengan cara apa sih kalau selamanya harus begini? Ayo coba dipikirkan pelan-pelan.

Kemarin juga saya story panjang lebar tentang mendefinisikan ulang sekolah. Sekolah nggak bisa lagi jadi solusi tunggal untuk pendidikan karena kalau dulu sih iya, bagi tugas sama sekolah. Sekolah mendidik dengan ilmu, di rumah orangtua menyamakan visi misi dan value lalu tinggal bonding dan quality time sama anak. Sampai-sampai cari sekolah tanpa PR biar di rumah bebas. LHA SEKARANG?

Sekarang batas antara sekolah dan rumah jadi bias, kalau merasa sekolah sudah tidak bisa jadi sarana belajar yang baik ngapain masih sekolah coba? Dicari solusi lain aja misal homeschooling atau panggil guru ke rumah. Nggak ada formula yang sama untuk setiap keluarga, solusinya akan sangat beda bergantung kondisi masing-masing.

Semangat buibu yang nemenin anak SFHHHH!

-ast-




Bebe Masuk SD: Trial & Wawancara

on
Monday, December 16, 2019
Kemarin di postingan sebelumnya udah dijelasin singkat kan ya tentang gimana Bebe bisa dapet trial. Bener-bener harus bayar di menit awal-awal banget. Nah, sekarang saya mau share pengalaman trial dan observasi masuk SD di Jakarta.

Selfie di taksi dengan appa dicrop karena biar landscape :))))
Balik dikit ke soal bayar trial, pas ketemu ibu-ibu lain juga mereka bilang emang langsung bayar di menit awal, soalnya anak daycare-nya Bebe yang mau bayar di hari ketiga pendaftaran jadinya udah nggak bisa padahal pendaftaran dibuka selama 3 hari. Karena kuotanya abis gitu lho, jadi yang bisa ikut trial juga terbatas.

Persiapan trial SD

Setelah bayar, nggak lama langsung dapet email tentang trial ngapain aja dan apa aja yang perlu dibawa saat trial. Ini saya copas aja ya dari suratnya, terlalu malas menulis ulang.

09.00 – 11.00: Trial Session (for student only) in classroom.
09.00 – 11.00: Focus Group Discussion (for both mother and father)

Things to bring :
1. For your child: Water Bottle, Snack, and spare clothes (underwear, shirt and pants).
2. For parents: Please download, complete, and bring the hard copies of these following documents.

Kindly check the availability of both mother and father to come on our scheduled trial date as we do not apply any policy for trial rescheduling.

Dokumennya itu tentang lingkungan kehidupan anak dan surat pernyataan orangtua. Yang lingkungan kehidupan anak detail banget sih sampai bisa tengkurap umur berapa? Duduk umur berapa? Lancar bicara? Mengenal warna?

Akhirnya ngerasa berguna juga nulis milestone Bebe pas bayi di blog karena jadinya bisa jawab pertanyaan ini dengan tepat dan nggak “KAYANYAAAA …” LOL. Lalu ada list sifat anak, keadaan fisik dan kebiasaan harian.

Apa masalah yang sering dihadapi anak di rumah? Dalam pergaulan? Apa yang dilakukan anak saat waktu luang? Bagaimana mengajarkan kemandirian? Bagaimana menerapkan kedisiplinan? Apa tantangan ortu dalam membesarkan anak?

Cincailah ya *SHOMBONG ANDAHHH*. Hari-hari banget kayanya akutuh di kantor nulis parenting, di IG nulis parenting, ya udah gitu aja kaya sharing biasa isi dokumennya.

Pengumuman trial ini di 5 November, trial di 16 Desember. Kami punya 9 hari untuk mempersiapkan diri dan sounding pada Bebe.

Sounding pada Bebe

Sejujurnya ibu dan appa juga deg-degan banget karena sebagai anak yang slow to warm up, ya pasti Bebe butuh waktu lah untuk nanti mau jawab pertanyaan, mau disuruh ini itu, dll.

Mana yang bikin deg-degan adalah kami berpikir Bebe akan masuk kelas sendiri dan parents (both) akan di kelas terpisah. Karena kan di suratnya begitu kan. (Ternyata kami salah lol nanti cerita sesuai kronologi ok).

Bebe pasti merasa tidak adil karena dia suka gitu, jealous kalau ibu dan appa berdua sementara dia sendiri. Mempertanyakan "kenapa aku sendiri? Kenapa ibu dan appa berdua" :( Sedikit panik juga karena diceritain temen kantor, anaknya setipe sama Bebe, slow to warm up dan in the end ibunya harus ikut masuk kelas selama trial HUHU AKU NGGAK MAU BEBE BEGITU. :(

Daftar sounding pada Bebe yang tiap saat diulang:

Dalam kekhawatiran dia tidak mau masuk kelas:

“Kamu akan masuk kelas bersama anak-anak lain. Aku dan appa akan masuk kelas lain dengan ayah ibu lain. Aku dan appa deg-degan lho karena akan dites juga. Kamu deg-degan nggak?”

Dalam kekhawatiran dia tidak mau disuruh baca/tulis/hitung/mewarnai/dll karena takut di tempat baru:

"Merasa takut itu boleh karena kamu kan tidak kenal sama missnya. Baru pertama kali juga ke ruangannya. Jadi tidak apa-apa kalau merasa takut tapi kalau missnya tanya kamu jawab ya! Kalau tidak tahu bilang 'tidak tahu' ya, Xylo!"

“Xylo, miss di sekolahmu sekarang sudah tahu kamu bisa baca, menulis, mewarnai. Tapi kalau miss di SD kan belum tahu kamu bisa. Kalau kamu tidak kasih lihat, missnya tidak akan tahu kalau kamu bisa. You have to prove it ok!”

Dalam kekhawatiran dia cranky karena laper/ngantuk:

“Xylo nanti sebelum tes kamu harus tidur lebih cepat dan harus sarapan biar kamu kuat”

Dalam kekhawatiran dia tidak diterima:

“Kalau kamu tidak diterima itu bukan salahmu kok. Selama kamu sudah berusaha, tidak diterima tidak apa-apa. Ibu tidak marah, tidak sedih. Kita akan cari sekolah lain yang juga seru ok.”

Bebe tuh sempet bilang “ibu, aku takut nggak keterima” terus aku lil cry karena duh mungkin dia merasakan anxiety aku dan JG yang emang takut nggak keterima huhu. Plusss, ada satu anak daycare Bebe sekarang yang SD nya di situ juga tapi daycarenya masih di daycare Bebe jadi dia merasa “wah so cool anak SD tuh, aku mau di SD dia” gitu.

Dalam kekhawatiran ada yang membuatnya tidak nyaman:

Saya suruh dia pilih sendiri baju yang akan dipake, sepatu, botol minum, kotak makan, semua pilih sendiri daripada terus mood berantakan nggak mau masuk kelas.

Pas pilih baju buat dibawa (ada di list things to bring), dia bilang “ibu, tapi aku nggak mau ganti baju depan miss, aku malu”.

Saya jawab “iya boleh kalau tidak mau, tapi bilang ya tidak mau karena malu”.

Dia bilang oke T_______T Astaga nulis ini aja kerasa lagi nervous-nya waktu sounding T_______T.

Hari H Trial

Pesan dari sekolah sebaiknya memakai angkutan umum biar nggak susah cari parkir. Jadi kami memutuskan untuk pake taksi aja. Bebe (surprisingly) excited banget, bangun nggak susah, sarapan gampang, sat set banget siap-siapnya.

Nyampe di sekolah memang terlalu pagi karena niatnya begitu. Kami berniat untuk dateng at least 30 menit sebelum trial dimulai biar Bebe pemanasan dulu. Diajak keliling sekolah dulu, ngintipin kelas satu-satu. liat kolam renang, playground, dan saya puji lebay semuanya biar dia semangat.

Saat waktunya tiba, ibu dan appa yang lil shock karena ternyata kelas ayah dan ibu DIPISAH LOL. Untung Bebe belum masuk kelas jadi kami masih sempat menyemangati dia dengan “Wah ternyata ibu sendiri, appa sendiri, Xylo sendiri nih. Kita semua harus mau menjawab ya kalau ditanya miss!”

Jadi ayah-ayah FGD dengan sesama ayah, ibu-ibu FGD dengan sesama ibu. Sesi 1 FGD, sesi 2 penjelasan dari sekolah soal kurikulum, biaya, dll. Nggak panik sih karena beberapa hari sebelumnya udah ngasih link blog ke JG biar inget aja apa yang kira-kira akan kita omongin.

Ngasih link ini aja sih. Ini kan udah merangkum semua kehidupan parentingku: Memahami Anak

Dan ternyata yang trial hanya 7 anak, yang diterima 5 anak. Kesempatannya besar karena yang susah mah visit dan dapet jadwal trial nyawww. Dari 7 anak itu yang 3 udah naro nama sejak anaknya umur 3-4 tahun. Seperti saya tentunya lol. Sisanya yang masuk SD itu anak yang TK di situ juga emang.

FGD seputar pengasuhan, bullying, peran sekolah, montessori, dll. Diawasi oleh psikolog dan seru ajaaa. Ya kaya rumpi ibu-ibu cuma lebih niat karena ketaker banget ya mana ibu-ibu yang tau banget anaknya, mana yang nggak. Tapi ada satu ibu yang nggak mau ngomong sama sekali lho. Sampai dipersilakan aja dia nggak mau ngomong. Itu mengapa ya apa punya masalah kepercayaan diri? T_______T

Lalu ada 2 ibu juga yang suaminya tidak hadir. Jadi ibu-ibu FGD nya bertujuh, ayah-ayah cuma berlima. Kata JG dia katanya yang nge-lead FGD ayah-ayah dan selalu kasih opini pertama HAHAHA. Baru kusadari ini pentingnya sepakat sama suami soal pengasuhan. Karena bayangkanlah ditanya soal pengasuhan dari sisi ayah dan ibu di tempat terpisah, kalau nggak sepakat kan bisa beda banget jawabannya.

Akhirnya selesai, Bebe juga selesai dan dia udah teriak-teriak aja main sama anak lain. Happy banget tapi ditanya ngapain aja nggak mau jawab. Pembicaraan kami cuma seputar “appa tadi bisa nggak sih jawabnya? Ibu bisa sihhh tapi deg-degan sedikit tapi ibu bisaaa!” Untuk validasi emosi Bebe aja bahwa Bebe wajar kok tadi deg-degan tapi ibu yakin Bebe bisa. :'))

Baru besoknya dia ceritain urut ngapain aja selama trial. Kurleb:

- Simpan tas sendiri, buka sepatu sendiri
- Menulis nama barang di rumah, menulis nama teman di sekolah (“Aku mau tulis semua nama temen-temen aku tapi capek jadi aku cuma tulis si X aja” lol ALASYAANNNN)
- Menggambar, mewarnai, melipat, menggunting, menempel
- Makan sendiri
- Nggak ganti baju, mungkin jaga-jaga aja itu baju takut keringetan/basah.

Setelah itu bikin janji untuk interview ortu. Harusnya Senin besoknya langsung tapi JG hari Senin nggak bisa jadi reschedule ke hari Rabu. Bebe nggak perlu ikut jadi cuma saya aja dan JG sebelum pergi ke kantor.

Wawancaranya santai sihhh, 45 menitan lah. Cuma emang ditunjuk gitu sama missnya jadi dia nanya satu pertanyaan terus dia bilang “iya silakan ibu jawab lebih dulu” atau “silakan sekarang bapak lebih dulu” gitu jadi emang keduanya harus punya opini, nggak bisa misal ibunya terus yang jawab terus ayahnya cuma nambah-nambahin doang.

Pertanyaannya seputar yang ada di dokumen awal dan alhamdulillah lancar sampai di pertanyaan terakhir yang agak bikin tarik napas dulu sebelum jawab:

“What kind of parents are you?”

NAH LOH. Nanti bahas ah di IG soal ini untuk bikin mikir kalian semua juga HAHA. Selancar-lancarnya saya ngomongin gaya parenting, agak nelen ludah di sini karena nggak pernah mikirin sama sekali. What kind of parents are you?

*

Waktu berlalu, saya sambil mempersiapkan ujian CFP, belajar, staycation terus pengumuman dan Bebe diterima! WUHUUUU. Seperti satu beban lepas sih waktu itu tuh karena ada satu beban lagi yaitu takut saya nggak lulus ujian CFP :((((. Alhamdulillah lulus juga sih lol.

What a year!

Langsung semangat mau beliin Bebe seragam Pramuka sebelum teringat kalau sekolahnya masih tahun depan ih takut keburu nggak cukup. Berakhir sudah pencarian SD Bebe dan saya mau santai dulu sebentar sebelum mulai deg-degan untuk … cari SMP Hahahaha.

Harusnya nggak sesusah cari SD sih ya. Semoga. Doakan kami selalu yaaa! :*

-ast-




Bebe Masuk SD! (1)

on
Tuesday, November 26, 2019
Ehhh perasaan baru kemarin nulis blog Bebe masuk preschool tuh. Kalau nulis melahirkan rasanya udah lama banget. Sebuah pertanda kalau 6 tahun itu lama tapi 3 tahun itu sebentar. -______-

Mulai dari mana ya, saya pengen cerita detail sih karena emosinya naik turun banget akhir-akhir ini tuh hahahaha. Di saat yang bersamaan ada Bebe yang tes SD, ada kantor yang pindah gedung, ada kerjaan lain saya yang demand 100% attention, ada JG yang gathering kantor dan pulang malem terus. Capekkkk.


Tapi mari fokus pada SD ya!

Tahun 2017 kami udah mulai cari SD. Lebih karena kepo, apa bedanya sih SD-SD itu tuh? Kenapa uang pangkalnya ada yang cuma belasan juta dan ada yang ratusan juta? Kalau jawaban kalian “karena gengsi” yhaaa rada shallow sih karena dari fasilitas aja udah pasti jauh banget bedanya.

Bisa dibaca di sini awal pencariannya: Bebe Mencari SD 

Waktu itu belum survey SD di Jakarta sama sekali karena bingung banget. Rumah dulu di Jakarta Barat dan kayanya SD-SD yang terkenal tuh kebanyakan pada di Jakarta Selatan gitu kan. Di sekitar rumah bener-bener nggak ada SD yang cukup oke. Jadi jangankan visit, cuma browsing-browsing aja lalu ngeluh stres hahahaha.

Waktu itu kondisinya Bebe udah beberapa bulan preschool montessori dan eye-opening banget. Kaget karena kok bagus banget ya montessori ini tuh. Sesuai dengan value keluarga kami yang kami ngarang sendiri terus ternyata masuk banget sama teori-teori montessori. Seneng banget karena rumah dan sekolah jadinya satu tujuan.

(Prinsip keluarga dalam membesarkan anak ada di sini: Memahami Anak)

Ada satu sekolah montessori yang dipengenin tapi di Jakarta Selatan, kita sebut sebagai sekolah pertama. Jauh banget, apa perlu pindah rumah? Tapi diabaikan dan nggak dipikirin serius karena udalah, liat nanti aja. Lagian kok waktu itu berasa mahal banget sekolahnya ahahaha. Jadi kondisinya masih belum tau banget nih Bebe akan sekolah di mana. Gitu emang saya mah anaknya, well-planned tapi nggak ngotot banget hahahaha.

Memang rezeki ya, tiba-tiba kok pindah kerja ke Jakarta Selatan! Sebagai penganut kantor harus dekat rumah ya kami pindahlah! Lalu tiba-tiba di sekolah itu jaraknya jadi cuma tinggal 2 km dari rumah. Sedeket itu sampai Bebe pernah bilang “kayanya kita bisa jalan kaki deh ibu ke sekolah” HAHAHAHA. Deket, tapi kalau jalan kaki mah lumayan juga capek atuh. :(((

Karena udah deket jadinya excited banget mau survey, kemudian drama dimulai karena mau bikin janji visit aja susah ternyata. Teleponnya nggak diangkat terus. Kalau cerita sampai di sini orang komentarnya pasti “datengin langsunglah!” YA UDAHLAH! Tetep nggak boleh masuk kalau belum ada janji hahahaha.

Singkat cerita kami pada akhirnya bisa visit dan mulai panik. Ehhhh ini kan masih 2018, tahun ajaran 2018/2019 aja belum mulai. Sementara Bebe baru akan tes di 2019, sekolah di 2020, apa masih akan tercatat namanya? Apa perlu visit lagi? Apa perlu gimana nih?

(Saat visit nanya apa aja? BANYAAKKK. Saya punya listnya: 40+ Pertanyaan Saat Mencari SD)

Sebagai anak Jaksel baru pindah, tahun 2018 itu saya sempet juga ikut open house dan liat-liat sekolah lain. Nggak ada yang segitunya dipengenin. Ada satu sekolah yang agak sreg karena anak-anaknya sopan dan pede banget. Bahasa Inggrisnya logatnya American semua gitu. Bangunan oke, jarak oke.

Tapi masalahnya ada di kurikulum Cambridge dan saya nggak yakin Bebe cocok sama Cambridge yang akademik banget. Dan ini sekolah jelas akademik banget karena bahkan kelasnya dipisah untuk anak yang Math nya nilainya oke dan kurang oke hahahaha. Katanya untuk mempermudah guru mengajar tapi kan kan kan, bikin keder ortu hahaha.

Fast forward ke sekitar bulan Agustus kemarin saya tanya-tanya lagi ke admin sekolah pertama, jadi kapan miss pendaftarannya? Katanya tenang aja, nanti akan dikabari kok kalau pendaftaran untuk 2020 udah dibuka, tapi memang belum bisa bilang tepatnya kapan. Hello, anxiety ~~~. Nggak bisa akutuh digantungin gitu. Deg-degannya ampunnn.

Mikirin semacam “kalau kelewat gimana?” atau “kalau ternyata dia liat listnya yang visit 2019 aja gimana?” ya ampun kenapa sih suka meragukan hahahahaha.

Bulan Oktober datang dan belum ada kabar juga kapan pendaftaran dibuka sementara SD-SD lain udah open house dan buka pendaftaran, lalu mulai mempertanyakan diri sendiri: KOK UDAH LAST MINUTE GINI NGGAK PUNYA PLAN B DAN C SIH! *PANIK*

Akhirnya berdua sama JG cuti sehari dan keliling LAGI cari SD di Jakarta Selatan untuk jadi pilihan dua dan tiga hahahahaha. Ok nemu dan jadi mayan lega. Mikirnya udah sampai level, kalau diterima di sekolah pertama alhamdulillah, kalau nggak diterima ya udalah biar aja. Nggak semua yang kamu mau bisa kamu dapat, ibu. Bukankah ibu suka bilang gitu pada Bebe? HAHAHA.

Penantian berakhir dan dikabarin kalau pendaftaran udah dibuka, diwanti-wanti karena daftarnya online jadi “segera setelah dibuka ya ibu supaya dapat kuota untuk trial”. Lho kok kaya war beli tiket konser gini. Tapi karena daftar di menit pertama banget, dapetlah akhirnya. Bayar trial, trial, wawancara ortu, daaannn … diterima!

Alhamdulillah. Langsung diterima di pilihan pertama jadi nggak perlu tes dan trial lagi di tempat lain. :’))))

Kalau kalian bertanya-tanya kenapa segininya amat nyari SD. Ya biar aja karena saya mah nyari preschool dulu juga SEGININYA HAHAHAHA. Apalagi SD 6 tahun banget dan saya sama sekali nggak mau ada cerita dia mogok sekolah. Jadi pastikan pilih sekolah yang sesuai karakter anak dan bikin anak happy jalanin hari-hari sekolahnya.

Seperti janji ibu pada Bebe, “Aku akan selalu cari sekolah yang seru buat kamu”. Terbukti sekarang aja pas preschool belum pernah tuh mogok sekolah sehari pun. Belum pernah Bebe bilang “nggak mau sekolah ah” gitu. Karena dia merasa sekolahnya menyenangkan. :’)

Detail hari trial dan wawancara ortu saya tulis di part 2 ya.

-ast-




Kenapa Sekolah Begitu Penting

on
Wednesday, May 1, 2019

Di blog, di Instagram Story, saya selalu menekankan pentingnya menabung demi pendidikan terbaik untuk anak. Dan selalu masih ada yang berkomentar “alah sekolah di mana sama aja”.

Nggak apa-apa, saya juga nggak maksa semua orang untuk cari sekolah terbaik untuk anaknya. Sekolah kan pilihan, sarana belajar, kalau menganggap anak bisa belajar di mana aja, ya boleh banget.

Atau justru nggak mau sekolah karena menganggap sekolah membatasi anak, ya bebas juga. Tandanya sekolah dianggap nggak mengakomodir kebutuhan belajar si anak.

Saya sebetulnya dari sekarang udah persiapan nih, misal suatu hari si Bebe nggak mau sekolah dengan alasan tertentu gitu. Kalau memang alasannya kuat dan sayanya mampu, ayolah kita di rumah aja nggak apa-apa.

Tapi itu opsi terakhirrr banget kalau misal dia dibully sampai depresi atau apa gitu. Soalnya kejadian di kenalan saya yang anaknya dibully sampai didorong ke kolam renang. Udah kelas 5 juga, mau pindah sekolah nanggung, ya udah di rumah ajalah homeschooling. Nanti tinggal kejar paket terus lanjut SMP.

Meski membebaskan anak SD, SMP, dan SMA, saya tetep mengharuskan kuliah. Kenapa? Karena kami tidak punya privilege lebih. :)

JG dari hidup di gang sempit dan bisa kaya sekarang itu semua karena kuliah. Bagi kelas menengah dengan orangtua kelas menengah juga, kuliah adalah jalan satu-satunya untuk bertahan hidup DAN mengubah taraf hidup.

(Baca: Suami Pernah Miskin)

Bertahan hidup karena mau nggak mau kami memang harus kerja, mengubah taraf hidup dengan pelan-pelan berkarier dan naik gaji. Bukan, bukan nggak mau jadi enterpreneur tapi memang belum punya privilege untuk itu.

Bisnis butuh modal, modal yang harus ditabung pelan-pelan sambil kerja dan lagi-lagi, bertahan hidup. Kami juga nggak bisa seenaknya resign demi membangun bisnis karena kalau resign tandanya harus siap tidak punya penghasilan.

Siapa yang mau back up keuangan keluarga kalau bisnisnya gagal? Juga bagaimana cara mengumpulkan dana darurat untuk persiapan resign DAN modal bisnis sekaligus? Plus kapan mengerjakan bisnisnya kalau kerja masih full time, kerja sampingan untuk uang tambahan agar anak bisa sekolah bagus, dan mengurus anak?

Terdengar seperti excuse ya, tapi kenyataannya emang begini. Lahir dari kelas menengah semacam lahir sebagai kaum pekerja. Jadi mau nggak mau ya harus kuliah biar bisa punya pekerjaan yang bagus. Yang gajinya berlebih biar bisa ditabung untuk suatu hari nanti bikin bisnis sendiri karena jelas orangtua tidak bisa memodali.

Betul anak bisa belajar dari mana aja, cuma ya tetep dari pengalaman kami kuliah lulusan mana jadi hal yang menentukan tempat kerja. Lagipula lebih mudah juga bagi saya dan JG untuk tetap kerja sementara Bebe sekolah. Bisa aja dia ambil beberapa course doang sesuai minat bakatnya, tapi siapa yang mau anter jemput? Bahkan untuk provide mobil dan supir tambahan kaya gini aja kami belum mampu. Ya masa anak 6 tahun disuruh pergi les sendiri, kan nggak mungkin ya. Sekolahlah opsi terbaik untuk kondisi kaya gini.

Makanya saya pilih-pilih banget untuk nyebut orang sebagai “inspiring”. Kuliahnya di mana dulu nih? Di Amerika beasiswa apa dibiayain orangtua?

Kalau sukses karena memang dari awal privileged sih jadinya nggak inspiring amat kan. Kecuali kaya Jack Ma yang dulu miskin banget gitu baru deh inspiring. Meski agak ngeri lho dulu dia nitipin anaknya di daycare untuk bangun Alibaba sama istrinya. Iyaaa, anaknya nginep di daycare dan cuma dibawa pulang seminggu sekali. Apa kabar bonding dan quality time ibu-ibu? :))))))

Jadi mungkin banget nih ya, orang-orang yang menyepelekan sekolah itu adalah orang yang nggak punya pengalaman taraf hidupnya naik karena sekolah. Orang yang sejak awal memang tak sadar kalau bisa sekolah adalah kemewahan.

Kalau kaum pekerja kaya kita mah ayolah cari sekolah terbaik dulu aja buat anak dan bikin anak jadi pekerja keras. Karena harus diakui orang-orang yang bisa jadi entrepreneur sukses di usia muda itu kebanyakan memang datang dari keluarga kaya. Jadi bisa lebih percaya diri karena kalau gagal juga masih bisa minta bantuan keluarga. Mari kita cc Mark Zuckerberg, Bill Gates, dan Nadiem Makarim lol.

Jadi yuk, semangat menabung untuk anak sekolah yuk!

-ast-





40 Pertanyaan Saat Survey Sekolah Dasar

on
Wednesday, February 6, 2019
Jadi kemarin di Mommies Daily, saya nulis tentang hal-hal yang harus diperhatikan saat memilih SD. Nah, sekarang saya mau nulis hal-hal apa yang biasa saya tanyakan saat survey ke sekolahnya langsung.

Jadi ini versi lebih lengkap dan lebih PRIBADI sih lol. Iya, kalau yang di MD kemarin lebih umum. Kaya jarak dari rumah, gedung dan keamanannya gimana, uang sekolahnya berapa, dll. BACA SENDIRI YA DI LINK DI ATAS.

Nah, kalau di bawah ini banyak pertanyaan yang sifatnya memang yaaa berkaitan dengan prinsip pribadi dan keluarga. Makanya ini yang SAYA tanyakan lho ya. Jadi saya nggak bilang kalian HARUS tanyakan ini juga.



Tapi siapa tau jadi ide pertanyaan juga buat kalian kan? Kalau soal kriteria secara umum pernah saya tulis di sini, klik dulu: Bebe Mencari SD

Sebelum masuk ke pertanyaan, biasanya saya lihat dulu gedungnya. Ini nggak perlu ditanya sih tapi observasi sendiri aja. Biasanya yang diperhatikan:

1. Apakah sinar matahari masuk ke kelas?
2. Apakah kelasnya ber-AC? Apakah kelasnya pengap?
3. Apakah toiletnya kids friendly? (kalau kloset dewasa, minimal tinggi wastafel sesuai dengan tinggi anak)
4. Bagaimana mushola dan tempat wudhunya?
5. Di sekolah ada tamannya nggak? Ada area terbuka untuk lari-larian?
6. Ada kolam renangnya? Bersih apa nggak?
7. Kantin gimana? Jual apa aja? Sehat apa nggak?

Setelah observasi, ini pertanyaan yang saya ajukan saat survey SD. Maklum, masuk SD itu mahal, jangan sampai salah pilih.

Tes Masuk dan Uang Pangkal

8. Tes kompetensinya berupa apa? Apakah anak harus bisa baca tulis? Tanya sedetail mungkin di sini. Nggak bisa saya detailin sih karena tergantung jawabannya.
9. Sistem penerimaannya gimana?
10. Berapa kuota setiap tahun? Berapa kuota untuk anak “luar” yang nggak TK di situ?
11. Pendaftarannya dibuka sejak kapan? Akan dikabari kapan kalau diterima/tidak diterima?
12. Berapa uang pangkalnya? (biasanya langsung disodori kertas biaya sih) Tapi tetep baca baik-baik dan tanya apakah bayarannya bulanan atau per 3 bulan atau malah per tahun.
13. Tanya biaya ekskul, katering, antar jemput, dan tetek bengek lain.

Kurikulum dan Mata Pelajaran

14. Kurikulumnya apa? Certified apa nggak? Berapa pelajaran/guru yang certified? Kalau kurikulumnya nggak kita kenal, minta dijelaskan sebaik mungkin.
15. (Kalau Montessori), mixed age group nggak dalam satu kelas? Kalau iya, apakah dalam semua pelajaran atau hanya pelajaran tertentu?
16. Satu kelas berapa anak berapa teacher?
17. Mata pelajarannya apa aja di kelas 1-6? Ada kelas tambahan untuk anak yang nggak bisa mengikuti pelajaran?
18. Bahasa pengantarnya apa? 100% full Inggris atau masih bilingual? (banyak sekolah yang ngakunya full tapi kenyataannya bilingual)

Jam sekolah

19. Masuk jam berapa keluar jam berapa?
20. Ekskul kira-kira berapa jam?
21. Gimana proses antar jemput? Berapa lama toleransi jemput? Anak yang belum dijemput akan menunggu di mana? Siapa yang boleh jemput anak? (apa pake kartu apa gimana)

Kelas

22. Ada berapa kelas dalam satu angkatan?
23. Sistemnya moving class atau diam terus di kelas yang sama?
24. Di kelas anak boleh makan minum bebas atau harus izin dulu guru? Minum harus izin guru kaya kita waktu sekolah dulu rada sedih sih. Masa haus aja harus minum diem-diem.
25. Ada toilet di dalam kelas? Ada wastafel untuk cuci tangan?

Kenaikan kelas dan kelulusan

26. Gimana sistem penilaian untuk naik kelas?
27. Kebanyakan lulusannya ke SMP mana? Gimana hasil UN tahun lalu? (Ini bergantung kurikulum ya)
28. Boleh bolos berapa hari? Apakah kalau bolos ada pengurangan nilai?
29. Apakah pakai sistem ranking? Apa pakai sistem rewards untuk “anak berprestasi”? (Saya sih kesel denger sekolah anak temen yang ngasih reward ke anak yang datengnya paling pagi. POINNYA APA SIH ANAK KECIL HARUS DATENG PAGI KE SEKOLAH? Kan yang penting nggak telat!)

Bullying dan Masalah Lain

30. Bagaimana sekolah menghadapi bullying? Bagaimana menanggapi laporan anak yang mengaku dibully atau punya masalah dengan anak lain?

Agama dan Politik

31. Islamic valuenya gimana? Goalsnya apa?
32. Sekolahnya eksklusif muslim apa nggak?
33. Gimana sekolah ngajarin toleransi dan perbedaan?
34. Gimana posisi sekolah pada kondisi politik? (AKU NANYA BANGET SIH INI. Trauma liat sekolah swasta yang di spanduk ACARA SEKOLAH bawa-bawa politik waktu Pilkada DKI. BYE AJA.)

Lain-lain:

35. Ada upacara bendera nggak?
36. Ada ekskul apa aja?
37. Perpustakaannya gimana? Ada challenge baca buku nggak?
38. Menu katering siapa yang nentuin? Pake ahli gizi nggak?
39. Kalau ada kolam renang, kedalamannya berapa? Dipake kapan aja? Keamanannya gimana? Dibersihkan tiap berapa lama? (kalau cuma jadi sarang nyamuk kan rada kurang lucu)

Tanya testimoni

40. INI WAJIB SIH SEBISA MUNGKIN. Tanya testimoni orangtua siswa yang anaknya udah sekolah di sana. Pernah ada masalah nggak, ada yang nggak sreg nggak, koordinasi dengan pihak sekolah lancar apa nggak, dll.

WAW BANYAK. Maklum ya, akan 6 tahun banget lho di sana. Akan jadi first impression juga bagi anak, sekolah itu seru nggak sih? Salah satu janji saya ke Bebe banget soalnya “ibu akan carikan sekolah yang seru buat Xylo” HUHU KOK JADI EMOSYENEL. T_____T

Lagian kalau asal-asalan pilih SD dan menyesal ya, mau pindah juga nanti heboh lagi dong survey dan keluar uang pangkal lagi. Jadi pikirkan baik-baik!

-ast-




Sekolah dan Kelas Sosial

on
Thursday, May 24, 2018

Jadi sejak duluuuu sekali saya sering sekali denger orang ngomong soal mampu bayar sekolah tapi "nggak mampu sama kehidupan sosialnya" atau "sekolahnya sih murah, gaulnya yang mahal". Dulu kalau denger itu saya pasti mikir "halah ya udah nggak usah gaul sama ibu-ibunya ajalah kelar" dan "ya masa karena nggak mampu gaul jadi nggak mau sekolah di situ".

SUNGGUH PEMIKIRANKU TERLALU SEDERHANA.

Karena semakin dewasa diri ini, semakin sadar pula bahwa kok ternyata sekolah dan kelas sosial ini ada hubungannya ya? BENCIK. Dan ya sedih sih sebenernya.

T______T

Pemikiran ini mulai muncul setelah uang SD Bebe terkumpul super ngotot dalam waktu 3 tahun aja dari target 6 tahun. Kemudian JG bilang gini "ya kita jangan jadi berhenti nabung lah, kita tetep nabung aja. Siapa tau uang SD Bebe jadi bisa lebih banyak, jadi Bebe bisa SD di tempat yang lebih bagus lagi".

Di sini mungkin kalian menganggap kami shallow ya karena menganggap sekolah mahal = bagus. Ya pernyataan itu tidak selalu benar dan tidak selalu salah sih. Karena banyak juga anak yang sekolah mahal tapi kok gitu-gitu aja?

Tapi kan argumennya gampang, kalau udah di sekolah mahal dengan fasilitas segambreng, guru yang pintar dan mengayomi, dia gitu-gitu aja apalagi kalau dia di sekolah biasa? Sebaliknya kalau ada anak pinter di sekolah biasa, apa mungkin dia akan jauh lebih pinter di sekolah dengan fasilitas dan guru yang lebih? Logika aja ini maahhhhh.

Ya udah intinya kami agak-agak yeaayy bahagia karena ada kemungkinan Bebe bisa sekolah di tempat lebih bagus. Pilihan jadi lebih banyak dan lebih leluasa. Meskipun babay rencana liburan sampai entah kapan hahahaha. Ternyata nggak bisa tenang nabung liburan sebelum Bebe bener-bener pasti sekolah di mana. :(

(Baca juga: Kriteria SD untuk Bebe)

Sampai suatu hari saya nggak sengaja baca thread panjang di Twitter (yang tidak bisa saya temukan lagi sayangnya). Tentang seorang ibu orang US sih, dia curhat betapa dia berharap anaknya nggak usah diundang ke birthday party temen sekelas. Karena jangankan beli hadiah ultah, buat ongkos ke pestanya aja dia nggak punya.

Saya bacanya masih yang "wahhh kasiaannn" terus retweet karena sedih gitu. Tapi ya udah masih nggak mikirin amat. DAN KEMUDIAN KAMI NONTON VIDEO ULTAHNYA ANAK ARTIS YANG GEMAS. *tebak sendiri lol*

Di video itu si anak lucu ulang tahun di sekolah. Sekolahnya di sini nih deket rumah saya. International school dong ya, pengantarnya bahasa Inggris. Metode sih sama kaya sekolahnya Bebe, montessori. Tapi dia pake Reggio Emilia approach juga jadi ceritanya paket lengkap lah. Saya jadi penasaran juga berapa ya tuition fee-nya? Browsing sana-sini ternyata nggak semahal international school lain. Ya mahal tapi kalau dibanding yang lain ini lebih murah.

Tapi bahkan di international school yang "murah" itu aja, saya mencelos liat hadiah dari temen-temennya. Di situ saya baru ngerasa relate sama si ibu-ibu Twitter yang berharap nggak usah diundang aja ke ultah daripada bingung harus ngasih kado apa.

(Baca: Apakah Anak Perlu Preschool?)

Karena sebagai pecinta toko mainan dan wajib keliling toko mainan tiap ke mall, saya tau persis harga-harga kado itu. Semuanya jutaan HAHAHAHAHUHUHUHU. Atau ya mungkin ada kado-kado murah tapi tidak ditunjukkan dalam video ya siapa tau kan mari kita positive thinking lol.

Sekarang ambil tengahnya satu kado Rp 2juta. Sekelas ada 20 anak. Apakah dalam setahun saya harus punya budget Rp 40juta untuk beli kado DOANG? Kado buat ANAK ORANG pula? Nggak mungkin dong kita kasih mereka kado murah kalau pas anak kita ultah dia ngasihnya kado mahal?

*merunduk makin rendah seperti orang berilmu* *berilmu dan minder beda tipis*

Saya cerita sama JG kemudian kami berdua menghela napas. Ternyata ini yang dibilang orang sebagai "mampu bayarnya tapi nggak mampu gaulnya" dalam urusan memilih sekolah. Sedih banget.

via GIPHY

Sedih karena ngerasa ya gap-nya akan ada terus. Orang kaya makin pinter dan ya gedenya makin kaya. Yang kelas menengah kebanyakan ya stay di tengah, kebanyakan akan jadi karyawan si orang kaya. Yang di bawah ya lebih susah lagi ngejarnya, kecuali sangat sangat sangat pintar.

Itu baru urusan kado ultah dan katanya banyak ya sekolah yang melarang rayain ultah di sekolah. Tapi tetep aja, gimana urusan gaulnya si anak? Urusan temen-temennya liburan ke negara entah apa sementara ya kami kalau liburan ya nggak mampu bayar sekolah di situ. Urusan mainannya, urusan bajunya, urusan jajan dan makan di luarnya. HUHU.

Sekarang aja ada anak daycare-nya Bebe yang mobilnya Alphard. Si Bebe mempertanyakan loh: kenapa dia mobilnya besar sementara kita kecil? Anak 3 tahun bisa tau kalau mobil itu beda-beda. Sejujurnya saya sempet bingung jawabnya dan nanya sama temen kantor "anak lo pernah nanya gitu nggak? Enaknya dijawab apa?" Untungnya masih bisa dijawab "mobil itu yang penting bisa jalan dan ada AC-nya, kita cuma bertiga jadi mobil kecil gini cukup sekali".

Kebayang di umur 13 tahun pertanyaannya akan kaya apa kalau sekolah di tempat yang nggak sesuai kelas sosial.

T______T

Oh iya. Ada lho anak yang tidak peduli sama hal-hal kaya gini. Ada banget saya tau anak-anak yang nggak mikirin hal-hal ginian dan nggak peduli sama barang-barang kepunyaan temennya. TAPI YANG MIKIRIN JUGA ADA BANGET KAN. Dan kita nggak tau anak kita di golongan yang mana jadi ya apakah nggak sebaiknya memang pilih sekolah yang sesuai kelas sosial?

Pusing ya jadi orangtua. Saya langsung relate gitu sama Geum Jandi pas masuk Shinhwa High School. Dia sempet nggak mau kan karena takut sama pergaulannya, tapi orangtuanya ngotot karena ingin anaknya dapet yang terbaik, gratis pula. Orangtua di mana-mana ternyata memang sama, bahkan di drama Korea. *HALAH*

Jadi ya gitulah sharing hari ini. Tapi pemikiran kaya gini mungkin hanya muncul dari kami-kami yang mati-matian nabung buat sekolah anak sampai nggak punya apa-apa. Kalau yang nggak ngoyo mungkin nggak mikir gini ya. Entahlah.

Kalian tipe yang mana? Sekolah di mana-mana sama aja atau mati-matian cari sekolah "sempurna" kaya saya dan JG?

-ast-




Bebe Mencari SD

on
Wednesday, November 22, 2017

Kemarin saya sempet mikir kalau nyari preschool dan daycare aja saya survey sampai ke 7 tempat, apalagi cari SD ya? Pertimbangannya banyak juga karena pertama, masuknya mahal jadi sebisa mungkin kalau nggak ada kasus ya maunya nggak pindah sekolah dong. Kedua, bakalan 6 tahun dan akan menghabiskan masa kecil di sana. Jadi mau yang bener-bener sreg.

Ternyata yang harus dipikirin banyak juga ya. *YAEYALAH*

(Baca semua tentang daycare di sini ya!)

Saya akhirnya bikin Google Sheet dan di-share ke JG, nama sekolah, alamat, kurikulum, jarak dari rumah, uang pangkal, dan uang bulanan/tahunan. Sheet itu diisi dengan calon nama sekolah, sekolah yang nggak sreg nggak dimasukkan. Tiap kami sempat, kami diskusi dan browsing untuk melengkapi data-datanya, pros cons-nya, link-link blog yang pernah bahas, dan sebagainya.

Udah hampir setahun itu kayanya Google Sheet itu berjalan, masih tetep pusing juga hahahaha. Sharing aja yuk, sekalian mungkin ada kriteria yang saya kelewat. So far saya bikin kriteria kaya gini.

🏫 Lokasi dekat rumah

Iya dong ya, meskipun sekarang ke daycare pun Bebe bisa sekali jalan 1 jam, tapi makin deket makin okelaahhh. Maunya yang deket-deket aja. Jadi kami persempit pencarian ke Bandung Timur ATAU Bandung Barat. Karena rumah orangtua saya di Bandung Timur, rumah kami dan mertua di Bandung Barat lol.

Kalau Jakarta, prefernya Jakarta Barat, Pusat, dan Selatan. Meskipun saya masih galau apa Bebe mau sekolah di Bandung apa di Jakarta? Maunya sih di Bandung karena kayanya lebih kondusif aja gitu, nggak sepanas Jakarta dan yaaa, gimana ya. Lebih "humble" aja kayanya lingkungannya.

Plus Bandung harusnya nggak serusuh Jakarta ya soal urusan keberagaman, if you know what I mean. Jadi emang 80% berat ke Bandung sih. Tapi tetep kami bikin list Jakarta juga kok jadi masukan soal SD di Jakarta tetap siap diterima!

🏫 Sekolah umum

Bukan sekolah negeri dan sebisa mungkin sekolah umum (tidak berbasis agama apapun).

Maunya satu kelas nggak terlalu banyak muridnya sih biar fokus aja. Terus juga pengen ekskul masa kini kaya robotika atau sinematografi. Maklum anaknya mudah terpesona pada ekskul keren lol.

Ini gara-gara diceritain temen ada SD mahal di Jakarta (stralah tak perlu disebut namanya) yang ada ekskul sinematografi terus film pendeknya ditayangin di Blitz hiksss. Dari sutradara, penulis skenario, sampai pemainnya anak SD semua! Keren banget kan aku sungguh iri. -_____-

🏫 Kurikulum/Metode Pengajaran

Kurikulum bebas, nasional, nasional plus. IB/Cambridge bolehhh tapi SPP nya jangan mahal-mahal. Ada nggak ya? Hahahaha. Sedih amat.

Kalau bisa bilingual dan kalau bisaaaa banget full bahasa Inggris. Soalnya sadar diri nggak mampu bayarnya nih. Mentok ya udahlah ya pulang sekolah les atau di rumah jadi full bahasa Inggris. Tapi beneran sih maunya di sekolah juga pake bahasa Inggris gituuu, biar dari kecil akademik Inggrisnya bukan conversational. *APA SIH IBU, IBU KOK BANYAK MAU*

Nggak mensyaratkan anak bisa calistung juga meski melihat Bebe sekarang, kayanya dia akan bisa sih calistung sebelum masuk SD HAHAHAHA SUNGGUH IBU HALU. Soalnya ini Bebe baru 3 tahun udah minta belajar baca terus karena sebel liat ibunya baca timeline Twitter terus lol.

Montessori juga jadi nilai plus! Karena betah banget nih Bebe preschool montessori. Intinya pengen Bebe di sekolah yang nggak maksa anak duduk belajar jadi anaknya hepi di dalam kelas. Nggak mau juga ada sistem ranking dan terbukti lulusan bisa masuk ke SMP bagus. Yosh!

🏫 Bangunan

Jangan jelek-jelek amat lah, kalau bagus banget dan banyak pohon serta taman ya jadi nilai plus. Yang penting kamar mandi nggak jorok, ada wastafel dengan sabun untuk cuci tangan, dan mushola yang proper. Ini kok kaya ngomongin mall ya. LOL

Soalnya saya waktu SD mending nahan pipis daripada harus pipis di sekolah saking toiletnya jorok. Padahal sekolah saya mayan jauh harus naik angkot. Adik-adik saya SD deket rumah kalau mau pipis PULANG DULU KE RUMAH DONG. Makanya toilet itu penting banget huhu.

🏫 Lain-lain

Perpustakaan atau sekolah yang encourage membaca deh pokoknya. Ngerti akan kebutuhan anak yang unik dan beda-beda, jadi pendekatannya personal. Student oriented lah. Makanya paling enak ya montessori sih sebenernya maahh. Tapi cari-cari kok susah ya di Bandung? Di Jakarta kayanya banyak deh.

Karena masih SD saya rada gimana gitu kalau udah ada target akademik banget yang dikejar. SMP SMA baru deh nggak apa-apa. SD maunya masih rada “main”. Ya belajar, tapi nggak ngotot.

*PUSING KAN KALIAN SEMUA!*

Pusing dikit nggak apa-apa kok masih 3-4 tahun lagi tapi pengen netapin pilihan biar segalanya pasti. Pengen mulai dateng-dateng open house juga tapi JUGA pengen dateng pas lagi sekolah biasa biar liat anak-anak dan suasana belajarnya. Harus cuti banget eym?

Yang pengen banget dikunjungi di Bandung itu Semi Palar sama Kuntum Cemerlang kalau ke arah Barat, Gagas Ceria dan Mutiara Bunda kalau di Timur. Mutiara Bunda sekolah Islam sih emang, tapi saya sreg banget deh, jadi tetep akan survey dulu lah.

Buibu ada yang anaknya di sekolah-sekolah yang saya sebut itu? Komen atau DM Instagram dong mau tanya-tanya bangeeettt.

Thank you!

-ast-




Bebe Sekolah!

on
Wednesday, September 13, 2017

Hari ini hari kedelapan Bebe sekolah dan ya, saya cukup terharu sih sama perkembangannya. Iya, baru 8 hari udah kerasa beda!

Oke jadi daycare dan preschool Bebe ini konsepnya montessori. Nah, meskipun montessori itu lagi hype banget dan kaya diagung-agungkan semua ibu sampai pada niat #montessoridirumah, saya sendiri nggak jadi yang gremetan pengen banget Bebe sekolah montessori.

Pertama karena ya ini kan cuma preschool, saya sendiri jadinya belum punya goal apa-apa untuk Bebe. Yang penting dia bisa bergaul aja sama anak seumurannya karena di daycare lama kan dia main bener-bener sama anak kecil.

Terus kenapa akhirnya saya pilih preschool montessori?

Mmmm, nggak begitu. Preschool ini saya pilih bukan karena metode montessorinya, tapi karena daycare-nya bagus! Karena kan sebenernya preschool-nya mah sebentar banget ya, sehari cuma 2 jam. Sisanya kan justru dia main di daycarenya, jadi saya pilih karena sesuai dengan daycare yang saya mau.

Rumahnya luas, kena sinar matahari, ada playground luaaassss, mainan, sepeda, buku banyak banget, dan anak tidak selalu di kamar. Anak bebas ke mana pun. Lokasinya di perumahan sepi pula, jadi bisa naik sepeda di jalan depan rumah atau jalan-jalan ke taman. Beda sama daycare yang pernah saya review ini (KLIK DONG). Jadi kebetulan aja kalau metodenya montessori.

(Review daycare lama Bebe, 3 tahun loh di sini: Tweede Daycare Benhil)

🍎 Sosialisasi

Sejak awal kami cari preschool (sekitar bulan Juni), saya udah sering bilang ke Bebe kalau nanti dia akan pindah sekolah.

Dua minggu sebelumnya hari H pindah, sosialisasi makin gencar. Bahwa nanti temannya akan anak besar semua, setiap hari saya kasih kalimat-kalimat yang menyiratkan sekolah itu seru sekali. Dan dia memang belum liat sekolahnya sampai hari pertama.

"Main sama anak kecil kan nggak seru ya, Be? Nanti di sekolah, temannya anak besar semua loh!"

"Be, nanti gurunya bukan Kak Wina lagi, gurunya pintar loh. Nggak apa-apa kan ganti guru?"

"Be, sekolah Bebe besaaarrr sekali. Seru loh mainannya banyak, ada tenda dua, ada perosotan, banyak lah pokoknya"

Dan masih banyak lagi versi kalimat kaya gitu.

🍎 Hari pertama

Hari pertama yang galau siapa? Ibu dan appa tentu saja. Bebe sih semangat banget karena dia udah membayangkan sekolahnya seru. DAN UNTUNGNYA SERU!

Dia dateng masih pake baju tidur, saya langsung kenalin ke teachernya. Saya kasih liat bahwa ini loh rak bukunya, ini loh rak mainannya, ini loh ruang mainnya. Kemudian dia main sepeda. Saya tanya, mau liat kamar sama kamar mandinya dulu nggak? DIA MENGGELENG, SODARA-SODARA.

"Ibu dan appa boleh kerja?"

DIA MENGANGGUK, PEMIRSA.

Kemudian saya dan JG dicium dan bye kami berangkat deh ke kantor HAHAHAHA. Sungguh mudah. Nggak drama sama sekali sampai sekarang. Hari ketiga saya udah nggak anter, turun di kantor aja. Dia nggak nangis, nggak canggung atau apa. Semangat banget sampai sorenya nggak mau pulang.

Nah terus tiap hari kan dikirimin foto tuh sama missnya, hari pertama siang-siang liat foto kegiatan Bebe kok kayanya kalem amat ya. Saya forward ke group keluarga, adik saya bilang "kayanya masih kalem deh mbak, kaya yang pendiem".

Sorenya saya ngintip dulu pas jemput, ohhh pendiem bangeeettt! Dia lagi colek-colek temennya sambil bilang "aku bisa nyanyi robocar poli loh!" Kemudian dia nyanyi lagu robocar poli teriak-teriak sambil main piano plastik. Sungguh anakku pendiam, seperti ibu dan appanya. -_______-

Missnya juga nanya "bu, ini biasanya emang di daycare ya, mandiri banget nggak kaya anak baru" UHHH I'M SO PROUD HAHAHA.

🍎 Perubahan setelah sekolah

Hari pertama sekolah dia makan 3 kali sendiri dan habis semua! Makan bubur kacang ijo sendiri juga habis semua! Duh emang di rumah dan di daycare lama dimanja banget sih makan selalu disuapin. Seminggu ini baru sekali dia makannya nggak habis. Mungkin nggak suka, nggak apa-apa saya mah nggak pernah maksa hehehe.

Siang udah nggak pake diapers dan cuma ngompol sekali. Ganti baju sendiri. Sekarang apa-apa maunya sendiri gitu. Pas baca-baca di website sekolahnya, goalsnya itu ternyata emang anak mandiri. Aku terharu banget deh sumpah.

Udah seminggu juga nggak nonton YouTube dan pegang HP cuma weekend doang itu pun pake alarm 1 jam doang. Ini sih emang niat sayanya juga ya, tapi menyenangkan juga ya punya anak yang nggak terdistraksi HP itu. LOVE!

🍎 Ngapain aja di sekolah?

Di sekolahnya kegiatannya banyak banget. Di hari pertama aja dia belajar siklus hidup kodok (lengkap dengan alat bantu dari karet, YES KECEBONG KARET), main badminton, meres jeruk, main-mainan montessori, dan menggunting serta menempel kodok kertas.

Jadi tiap bulan ada tema-temanya gitu. Tiap hari ada jadwal pelajarannya juga. Seru lah pokoknya, saya sendiri takjub gitu wow ternyata Bebe bisa ya!

Lucunya pas ke taman, Bebe harus jalan sambil ngegandeng dua toddler gitu jadi belajar tanggung jawab ahahahaaha gemash. Mana dikirimin foto terus, mantengin cctv terus, terharu lah pokoknya.

🍎 Kok serius amat belajarnya?

Iya banyak yang khawatir kalau anak terlalu dini mulai belajar nanti katanya bosen sekolah pas gede. Saya memilih nggak percaya hahaha. Kalau nanti misal pas SD Bebe nggak mau sekolah ya ditanya kenapa nggak mau? Kalau emang nggak mau banget ya udah nggak usah sekolah HAHAHAHA.

Rich Chigga aja nggak sekolah kan, dia homeschooling 2 tahun doang terus sisanya nonton YouTube tiap hari. Dan sori, saya nggak terima debat soal Chigga ya. *anaknya lemah sama rapper* XD

Saya nggak masalah sih, ASAL KULIAH. Jadi ya nggak perlu sekolah formal nggak apa-apa, tapi harus kuliah. Tandanya harus ambil ujian persamaan atau IB kan (kalau mau kuliah di luar negeri). Terserah nggak mau SD, SMP, SMA tapi HARUS KULIAH. :)

*

Kekurangan sekolah Bebe ini cuma satu. JAUH BANGET DARI KANTOR DAN RUMAH. Deketnya dari kantor JG dan ya itu cukup bikin stres sih. Capek banget bisa 1,5 jam di jalan, dua kali lipat lebih lama dibanding dari daycare lama. Cuma karena bertiga di mobil ya udah ketawain ajalah. Toh puas juga sama sekolahnya.

So yaaa, I think that's all! Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

-ast-




Apakah Anak Perlu Preschool?

on
Wednesday, September 6, 2017
Ya, ini pertanyaan saya banget. Terutama karena saya nggak mau buru-buru pindah daycare. Makanya pas kebetulan kemarin jadwal psikolog anak, saya langsung tanya!


Daycare Bebe yang kemarin soalnya nyaman banget buat bayi sampai usia 3 tahunan. Karena memang nggak ada program preschool-nya. Ada kelas sih tiap hari 2 jam, cuma ya seputar baca buku, menggunting, menempel, mewarnai, dan kadang kegiatan motorik halus gitu. Nggak ada kurikulum atau goal khusus.

Kegalauan saya diperparah karena anak lain yang udah masuk usia 3 tahun juga, dipindahkan oleh orangtuanya ke daycare yang ada preschool-nya.

Emang harus ya anak sekolah di umur 3 tahun?

Kan masih kecil banget!

Menurut psikolog anak di daycare Bebe (namanya mbak Dianda btw hehe), bukan preschool-nya yang penting tapi kegiatan sehari-hari anak. Apakah mendukung untuk perkembangan motorik, kognitif, dan sosial?

Kalau anak hanya di rumah, tapi ibunya rajin main stimulasi motorik, belajar yang mendukung stimulasi kognitif, dan main dengan teman sebaya seperti tetangga untuk kebutuhan sosial, maka sebetulnya tidak perlu preschool. Di rumah aja cukup.

Untuk anak seperti Bebe yang di daycare, insya Allah, dua kebutuhan pertama terpenuhi. Yang saya khawatirkan justru yang ketiga, apakah tidak apa-apa Bebe bermain dengan anak yang lebih muda terus? Perlu nggak sih dia main dengan teman sebaya?

Surprisingly, mbak Dianda bilang PERLU. Teman seumuran perlu karena di usia 3 tahun, anak baru sadar kalau ia adalah bagian dari lingkungan sosial. Dia akan belajar interaksi yang berbeda dengan interaksi dia dengan anak yang lebih kecil.

Iya sih, dengan anak kecil itu Bebe cenderung meremehkan. "Dia kan masih kecil, ibu" atau "ah nggak mau, dia belum bisa ngomong" things like that. Nah kalau dengan teman sebaya mainnya memang lebih seru, bisa main role play atau main Lego sama-sama. Karena kemampuannya setara.

Kalau di rumah punya saudara kandung seperti adik gimana?

Sekali lagi, mbak Dianda bilang berbeda. Apalagi hubungan dengan adik biasanya dibumbui cemburu jadi akan berbeda dengan teman sebaya. Dan di antara adik atau kakak itu salah satu pasti jadi leader atau yang berkuasa, jadi ya memang sebaiknya anak punya teman main yang benar-benar seumuran. Maka preschool jadi jawaban.

Nah tapi kan saya dan JG anaknya kritis banget ya lol. Jadi JG tanya ke temen kuliahnya yang juga psikolog anak. Apakah anak perlu preschool dan bermain dengan teman sebaya?

Jawaban temennya JG? NGGAK PERLU-PERLU AMAT.

Hahahaha.

Menurut temennya JG, pendidikan usia 0-6 tahun itu nggak ada target apa-apa jadi masih bisa freestyle banget, yang penting menyediakan sebanyak mungkin kesempatan untuk dia eksplor segala sesuatu. Yang penting di usia 6 tahun, anak bisa percaya diri, kreatif, aktif, mandiri, dan terangsang rasa ingin tahunya.

"Untuk sekarang, bisa membersamainya bermain menyenangkan itu udah keren banget"

Gitu katanya. Jadi belum butuh teman sebaya amat asal orangtuanya perhatian.

Hmmm. Mari mikir sama-sama hahahahahaha. Berarti intinya bisa perlu atau tidak perlu tergantung kebutuhan.

Kalau ibunya ibu rumah tangga dan bisa selalu membersamai anak bermain dengan menyenangkan sih berarti oke aja nggak perlu preschool. Tapi kalau kaya saya yang kerja dan nggak sanggup harus bikin ini itu kaya ibu-ibu hebat lain, ya mending preschool/PAUD aja.

TERJAWAB YA BUIBUUUU!

Kalau belum mau preschool mah banyak-banyakin aktivitas di rumah aja. Modal ngeprint doang juga kayanya banyak ya di Pinterest mainan edukatif buat anak. Jangan lupa sore-sore keluar rumah dan main sama anak tetangga.

Bebe sih di rumah nggak punya temen main sama sekali makanya daycare yang ada preschool-nya jadi jawaban atas semua pertanyaan banget. Malem-malem tinggal quality time sama saya, baca buku atau mewarnai. Ah punya anak ternyata nggak ribet. *PLAK* *ANDA JANGAN BERBOHONG* *LOL*

Ya mau dipikirin ribetnya juga ribet banget lah bikin istigfar ahahaha. Mau dianggap simpel juga kok ya udah dibantu banget nih sama segala jasa daycare dan preschool. Tinggal GoJek doang nih harusnya bikin GoBaby, jasa langganan anter jemput bayi dan anak sekolah gitu hahaha. Aman jaya deh saya tinggal nunggu di kantor doang lol.

*di-judge ibu-ibu se-nusantara disuruh kembali ke rumah*

Oiya tambahan sedikit tentang milestone anak 3 tahun selain urusan sosial. Harus udah bisa lompat maju, lompat mundur, dan berdiri satu kaki! Bebe mah udah bisa banget ya, anaknya nggak bisa kayanya jalan dengan kalem tanpa dibumbui lari sambil lompat-lompat. Berdiri satu kaki juga bisa.

Kata mbak Dianda, ini akan berpengaruh sama perkembangan otaknya di masa depan. Anak yang gagal melompat saat balita, akan punya kesulitan berpikir atau kemampuan intelektual yang berbeda dibanding anak yang mampu melompat saat balita.

HMMM APAKAH AKU KURANG MELOMPAT YA SAAT KECIL SEHINGGA TIDAK BISA KULIAH DI AMERIKA?

Oke deh, demikian laporan psikolog kali ini. Konsul psikolog terakhir nih di daycare huhu. Tiga bulan ke depan semoga bisa share dengan psikolog di daycare baru ya!

Selamat hari Rabu!

-ast-

JANGAN LUPA IKUTAN GIVEAWAY AKU YA! HADIAHNYA BALANCE BIKE! INFO KLIK DI SINI!




#FAMILYTALK: Homeschooling, Yay or Nah?

on
Saturday, October 1, 2016

Kalau 20 tahun lalu (alias pas saya SD) terus saya atau ada temen saya bilang ke orang tuanya. “Bu, aku nggak mau sekolah ah!”. Hampir pasti si ibu menghela nafas kecewa atau ngamuk. Si anak akan dijudge sebagai anak pemalas dan (mungkin) juga dianggap bodoh.

Kalau zaman sekarang nggak ya ternyata. Pernyataan tidak mau sekolah bisa ditanggapi dengan pertanyaan serta pencarian minat dan bakat, kemudian homeschooling deh!

Baca punya Isti:

Kalau yang sering baca blog saya pasti taulah ya saya sih pro homeschooling dan sekolah full day. Beberapa kali saya juga bilang kalau saya nggak sanggup homeschooling. Tapi ternyata setelah baca banyak sekali pengalaman orang-orang yang homeschooling, kayanya saya sanggup deh. Hahahaha. Pede aja ya kan.

Ini jaga-jaga aja sih kalau Bebe ternyata nggak mau sekolah atau dia nggak bahagia di sekolah. Saya takut dia sekolah di bawah tekanan kan kasihan. Opsi sekolah full day tetap jadi opsi utama, dana pendidikannya tetap diusahakan bisa tepat waktu tepat jumlah. Tapi saya juga mencari dan belajar banyak soal homeschooling ini.

Apa yang bikin percaya diri untuk homeschooling?

Belum sih belum, belum 100% percaya diri sih. Tapi yang menarik dari konsep homeschooling ini adalah anak bisa belajar sesuai minat dan bakat dia. Soalnya saya ngalamin ini banget.

Saya dari kecil suka menulis. Suka menggambar tapi rasanya kurang bakat. Jadi anggap minat dan bakat saya menulis dan menggambar hanya minat saja (tidak atau kurang berbakat).

Karena ibu saya baik sekali, saya diarahkan sejak kecil untuk kuliah yang mendukung minat dan bakat saya. Ibu saya tidak marah kalau nilai saya kecil. Ibu bahkan tidak marah waktu nilai Fisika saya di rapot 4. Saya hanya disuruh les karena ibu takut saya tidak naik kelas.

(Baca: Full Day School Idaman)

Coba kalau saya tidak harus melewati semua pelajaran eksak itu. Coba kalau saya dari kecil menulis dan terus menggambar. Mungkin saya sekarang sudah jadi senior editor di BuzzFeed (LHOH KOK CEMEN). Mungkin sudah jadi senior editor di Huffington Post lah katakan. Atau sudah kerja dari rumah aja jualan desain di Creative Market atau Etsy. 

Sekarang nulis juga nanggung di blog doang lol. Desain juga masih panjang perjalanan karena kurang pengalaman. Saya nggak mau Bebe seperti itu.

Ada temen kantor saya yang jago banget gambar, namanya Sarah. Sarah ini emang desainer di kantor saya. Ini contoh gambarnya. Instagramnya posting gambar semua bisa dilihat di sini.


Gambarnya halusss banget padahal ga pake alat mahal-mahal. Pake bolpen biasa gitu hikssss. Terus saya tanya, dia belajar gambar dari umur berapa? Dia jawab dari umur 4 tahun! EMPAT TAHUN. Dia seumuran sama saya jadi dia sudah menggambar selama 24 tahun! Tanpa putus! Kuliah desain!

Jadinya wajar kan gambarnya halus banget? Pengalamannya 24 tahun loh!

Orang-orang kaya gini yang bikin saya menyesal. Kalau kemampuan belajar saya sama kaya dia, dengan minat tanpa bakat menggambar, dan saya baru mulai sekarang, saya baru akan bisa sehalus itu 24 tahun lagi. WHY GOD WHY.

Atau Valentino Rossi, *jangan kira saya ngerti yah, ini diceritain JG* dia di sekolah dicap anak "nakal" karena nggak pernah mau belajar. Tapi dia fokus satu hal yaitu balap, dia udah balap dari umur 4 tahun juga!

Nah, jadi intinya tugas saya sekarang adalah mencari minat dan bakat Bebe. Untuk dikembangkan sejak dini. Untuk menentukan nantinya dia perlu sekolah apa nggak. Soalnya kan kali aja ternyata Bebe suka belajar, ada loh ya orang yang hobinya memang belajar, belajar apapun dia suka. Ya udah kalau gitu mah sekolah formal aja.

Kalau nggak tahu bakatnya apa?

Ya dicari pelan-pelan. Kalau sampai masuk usia sekolah belum tau bakatnya apa, saya sih kayanya mau sekolah dulu aja. Bisa ada orang ketiga juga (guru, sekolah) yang bantu saya untuk nemuin minat dan bakatnya. Kalau di tengah-tengah mau berhenti karena sudah ketemu juga ya boleh.

*ngomong kaya gampang yah karena belum terjadi aja sih*

Kalau minat dan bakat berubah di tengah jalan?

Nah ini nih yang jadi pertanyaan beberapa orang. Minat dan bakat waktu kecil kan nggak mencerminkan pilihan saat dewasa yah, kalau berubah atau menyesal gimana?

Sungguh aku pun tak tahu hahahaha. Mungkin ya diasah lagi pelan-pelan, lagipula seumur hidup kan pencarian dan pembelajaran, jadi nggak apa-apa ya harusnya kalau di tengah jalan mau belajar hal baru.

Ada yang bisa bantu jawab kah untuk poin ini?

Kalau bingung mau kuliah di mana?

Kalau sampai lulus SMA belum nemu juga minat dan bakat gimana dong, kuliah di mana dong? Nah, ambillah jeda waktu setahun. Kasih masa tenggang dulu *macam provider telco* Magang atau jadi volunteer, lihat dunia lebih luas.

Dulu saya judge orang yang nunda kuliah dengan "hih sayang banget waktunya! keburu tua loh!". Sekarang mah wah, lebih sayang lagi kuliah hal yang nggak kita suka sih. Mending tunda dulu.

(Baca: Salah Jurusan Kuliah)

Asal jangan menunda tapi terus bobo bobo aja di rumah ya. Tunda tapi terus cari sebenernya apa yang dicari dalam hidup.

Kalau nggak mau kuliah?

Tergantung alasannya apa hahahaha. Karena kuliah itu mengubah seseorang banget, bukan cuma urusan susah cari kerja nantinya. Kalau tiba-tiba nggak mau kuliah karena ngeband sih no ya, kecuali bandnya sejak SMA udah go international gitu. Kalau tiba-tiba nggak mau kuliah karena mau bisnis misalnya, ya kuliahlah, ambil manajemen, bisnis, atau finance.

Apalagi ya. Huh sampai ngos-ngosan banget nulis ini.

Kalau ada yang kurang kabar-kabariii. Kalau ada pertanyaan, tulis komen. Kalau pertanyaannya menarik nanti aku edit postingan dan aku tambahin di sini.

Happy weekend!

-ast-






#FAMILYTALK: Full Day School Idaman Saya

on
Saturday, August 13, 2016

Masih heboh nggak sih ngomongin ini? Udah geser ya ke pak menteri bilang setuju pada sanksi fisik pada anak? Pak menteri ini ah, suka bikin galau ibu-ibu deh. T_____T

Tapi sebenernya pak menteri mau ngomong atau ga, saya sih udah niat biar Bebe sekolah full day hahahaha. Kayanya kalau ibu-ibu bekerja mah pada milih sekolah full day ya nggak sih? Lagian si Bebe dari 3 bulan keles sekolah full day alias daycare hahahahaha.

Baca punya Isti:

Meskipun gitu, saya juga kepikiran sama omongannya pak menteri. Kepikiran karena duh kok gini amat pendidikan di Indonesia? Bebe nggak usah sekolah formal aja kali ya?

Kemudian setelah baca berita itu saya langsung sibuk nyari tau tentang homeschooling. Padahal sebelumnya nggak pernah kepikiran. Cih, aku anaknya gampang panik.

Terus jadi tau soal banyak hal, kasih-kasih link ke JG, not bad yaaa. Nggak seperti yang saya bayangkan amat, salah satunya serem kalau saya harus ngajarin rumus fisika. Kan bisa panggil guru juga untuk pelajaran yang saya nggak mampu ajarkan, itu pun kalau mau ambil ijazah persamaan.

Kekurangan homeschooling ini adalah saya harus berhenti kerja. Yaiyalaahhh. Kuat nggak ya berhenti kerja? Saya suka kerjaaaaa. Tapi di satu sisi ngerasa meng-homeschooling-kan Bebe akan jadi tantangan tersendiri juga.

Tapi yah, itu opsi yang masih harus digoreng sampai matang *tempe keles*. So far opsi pertama masih sekolah dan itu pasti sekolah full day. Kenapa?

Ya biar ada yang dititipin aja. Jahat ya? Punya anak kok nggak mau ngurusnya malah di-subcon kan ke sekolah. Gagal lah saya mah jadi orangtua. Apalagi pake teori psikologi parenting masa kini, udalah rapotnya merah semua.

Maunya Bebe sekolah full day yang semacam daycare gitu malah. Ada jam bobo siang, dikasih makan, dikasih snack buah. Ya macam daycare untuk anak SD lah. Saya pulang kerja baru saya jemput. Ada ga sih SD kaya gitu? 

Kalau ada mau bangeettt. Kalau ga ada, berarti tetep harus mikirin opsi punya mbak dong di rumah untuk jagain Bebe sepulang sekolah. Karena tetep aja, meski namanya full day, pasti dia duluan pulang sekolah kan daripada saya pulang kerja. Hiks. Aku tak siap punya mbak.

Dan catatannya kalau mau sekolah full day, Bebe harus SUKA belajar. Tau kan ada anak suka belajar? Saya waktu kecil suka banget belajar. Tapi saya juga tau ada anak-anak yang nggak suka belajar. Anak-anak itu dulu saya labeli sebagai malas dan bodoh. Padahal sekarang setelah dipikir-pikir, kasihan mereka dipaksa belajar hal yang nggak mereka sukai.

Kalau Bebe suka belajar, jangankan mikirin sekolah full day MARI KITA NABUUNGGG DAN SET GOAL BIAR BISA MASUK INTERNATIONAL SCHOOL. Sekarang ngomong gini rasanya jauhhh sekali. Ya gimana, semurah-murahnya international school, sebulan SD aja bisa 8-9juta. Uang masuknya bisa 150juta. Tapi kan siapa tau ya nggak? Siapa tau dalam beberapa tahun ada keajaiban apa gitu? Nggak ada yang nggak mungkin, unicorn is real. :')

*ya meskipun tetep survey SD nasional plus sih lol*

Kalau Bebe ternyata lebih suka melukis? Menulis? Bermusik? Main gitar? Main game? Ya masa disuruh sekolah formal seharian kan kasihan. Maka kukuhkan tekad untuk homeschooling!

Kacaunya, kedua keputusan itu akan sama beratnya. Kalau mau sekolah bagus, we need to work our ass off biar bisa bayar sekolahnya. Kalau mau homeschooling, artinya saya keluar kerja. Whoaaa deg-degan sendiri mikirin keduanya lol.

Tapi itu kan sayaaaa. Kalau se-Indonesia harus full day school? Kenapa diharus-harusin sih? Satu opsi kan belum tentu cocok untuk semua orangtua dan anak. Ya bebasin ajalah, mau full day atau mau ga full day, yang penting anak sekolah dan belajar.

Ya kaannn. Lagian kalau semua anak sekolah full day, kasihan deh pasti akan tetap ada ibu-ibu ambisius yang akan tetep masukin anaknya les ini itu bahkan setelah sekolah full day. T_______T

Udah sih gitu aja. Anaknya suka baca buku? Nonton dong video buku favorit Bebe, ada di bawah postingan ini.

See you next week!

-ast-




#FAMILYTALK: Masuk SD Umur Berapa?

on
Saturday, July 30, 2016

Ibu-ibu zaman sekarang memang luar biasa ya. Ibu-ibu zaman dulu masukin anaknya SD kayanya pake feeling aja. “Oh 5 tahun udah mau SD anaknya, masukin deh” atau “ah tahun depan aja deh pas 7 tahun, anaknya belum mau SD soalnya”.

Zaman sekarang benar-benar diperhitungkan sisi psikologisnya, kemandiriannya, dan lain sebagainya maka 7 tahun dianggap waktu yang pas untuk masuk SD. Plus ada sekolah yang harus bisa calistung dulu pas masuk SD. Whoa whoa, panik abis.

Baca punya Isti di sini:

Saya sendiri masuk SD di umur 4 tahun 10 bulan. Belum 5 tahun pun. Nggak ada SD yang mau terima karena rata-rata minimal umurnya 6 tahun. Akhirnya ada satu SD yang mau terima karena saya dites baca tulis bisa, dites hitung bisa. Ya udah deh diterima.

Alasan ibu saya memasukkan saya ke SD di usia semuda itu karena beliau menganggap saya mampu. Saya juga bosan di TK. Plus range umur saya dan adik saya beda 3 tahun, kalau saya masuk SD tahun depannya, maka kami akan masuk sekolah bersama-sama terus. Saya ke SMA dia ke SMP, saya kuliah, dia ke SMA. Pusing bayarnya hahaha.

Dan dari kelas 1 sampai kelas 6 saya ranking satu terus. Saya sering jadi perwakilan sekolah untuk ikut lomba cerdas cermat. Setelah saya pikir-pikir sekarang, itu bukan sayanya yang pinter-pinter amat sih, tapi sekolahnya emang di sekolah kampung lol. Jadi kayanya kalau saya sekolah agak di kota dikit, nggak bakal ranking 1 hahahaha.

Tapi intinya saya bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Masuk SMP dan SMA negeri dan lulus SPMB. Semuanya smooth.

(Baca: Melarang Anak dengan Kata 'Jangan')

Satu hal, saya tidak bisa mengingat masa SD saya. Karena pas SD itu saya masih kecil. Saya hanya ingat nama beberapa teman. Saya tidak ingat kejadian apa-apa. Saya ingat kami pernah PERSAMI (perkemahan Sabtu-Minggu) di sekolah tapi saya tidak ingat saat PERSAMI itu kami melakukan apa. LUPA SEMUANYA.

Tapi saya ingat nama guru saya dari kelas 1 sampai kelas 6, saya ingat guru saya di kelas 5 punya anak laki-laki yang suka dibawa ke sekolah. Saya ingat guru saya itu kakak beradik dengan guru saya di kelas 6. Saya ingat guru agama dan guru olahraga saya. Saya ingat semua yang berhubungan dengan masa belajar saya. Saya baru sadar bahwa saya hanya mampu mengingat hal-hal yang saya anggap penting.

Apa karena saya masih kecil saat masuk SD jadi saya tidak bisa mengingat semuanya? Teori ibu saya sih gitu hahaha. Saya sendiri nggak tahu.

Nah tapi kalau dibilang gitu, para pakar ini bilang kita tidak bisa menyamakan anak-anak kita sekarang dengan kita zaman dulu. Saya dulu mampu masuk SD umur 4,5 tahun tapi anak saya belum tentu. Karena kurikulumnya beda, bebannya beda.Iya sih saya setuju. Saya sanggup menjalani SD usia segitu nggak berarti saya ketok palu bilang “ah Bebe pasti bisa juga kok”. Nggak lah, tiap anak kan beda-beda.

(Baca: Memilih Sekolah Anak)

Ada juga ibu-ibu yang nggak mau masukin anaknya ke SD umur 7 tahun karena ketuaan katanya. Hahahaha. Saya sih nggak apa-apa. Kasian sih emang kalau paling tua di kelas tapi kan gimana kalau anaknya belum sanggup masuk SD kenapa dipaksa sih ya kan.

Jadi saya nggak masalah Bebe masuk SD umur 6 atau 7 tahun. Tergantung kemampuan dianya aja nanti dan tergantung sekolah yang diincer, nerima nggak anak 6 tahun?

Anyway kalau lagi ngomongin ginian saya jadi takut banget masukin Bebe sekolah, pas UN pasti saya yang panik deh. :|

Kalian gimana? Nunggu anak 7 tahun atau semampunya anak aja?

Share yuukkk!

-ast-




Ini Tahap-tahap Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

on
Wednesday, March 9, 2016
mengapa-menyiapkan-dana-pendidikan-untuk-anak

WARNING: LONG POST.

Jadi postingan ini lahir karena kegelisahan melihat anak-anak magang dan fresh graduate di kantor KOK PINTER-PINTER BANGET? Aku resah banget bukan karena takut merasa tersaingi, nggak lah sis. Tapi resah mikirin nanti generasi Bebe gimana kompetisinya.

Anak-anak magang ini lahir di tahun 1995, ada bahkan yang lahir di 1998 (iya masih SMA) jadi mereka generasi Z. Kalau anak-anak fresh graduate lahir di 1993-1994, itungannya masih millennials tapi tipissss banget modelnya sama gen Z.

Terus curhat sama JG, dan yes JG pun setuju. Pola pikir generasi Z ini udah jauh di depan kita yang generasi Y/millennials (lahir 1981-1996). Gen Z ini levelnya beda, baru masuk kerja, diajarin bentar, langsung pinter. Bahasa Inggris udah bisa dari lahir, beberapa malah lancar juga Mandarin. Bisa problem solving, bisa kerja cepet, dan kreatif. Plus mereka tech savvy, nggak kenal istilah gaptek.





Tentang Memilih Sekolah Anak

on
Wednesday, August 12, 2015

Jadi di zaman serba kompetitif ini, saya sudah menyiapkan ancer-ancer sekolah buat Bebe. Si Bebe emang baru 1 tahun sih umurnya tapi untuk orang yang maunya riset mendalam, cukuplah ya 5-6 tahun untuk nyari sekolah. LOL.

Yang dicari SD sih sebenernya. Karena akan jadi sekolah pertama yang tanpa main dan Bebe akan menghabiskan 6 tahun di sana. Riset 6 tahun untuk sekolah 6 tahun, logis kan ya logis? *maksa* Untuk TK mah yaaa, gampanglah, toh cuma paling lama juga 2 tahun kan. Dan TK harus nyari yang ada daycarenya jadi pilihannya lebih sempit. Sudah ada beberapa nama TK jadi tinggal dipilih aja nanti kira-kira mau ke TK mana.

Bebe rencananya SD mau di Bandung. Jadi browsingnya udah sekolah di sekitaran Bandung.