-->

Image Slider

Mendarat dari Apartemen

on
Monday, August 9, 2021


Jakarta, 8 Agustus 2021. 22:43

(YAILAH BANYAK GAYA NI POSTINGAN DIPAKEIN TANGGAL SEGALA. Nggak apa-apalah, rada emosyienel soalnya nulisnya nih)

Iya soalnya saya nulis ini di kamar baru, bukan baru bikin tapi baru ditempati 3 malam. Rasanya surreal, kok bisa ya di Jakarta menempati kamar sebesar ini, rumah seluas ini, meski statusnya masih ngontrak.

Bener deh, dulu bahkan nggak terbayang sama sekali bisa menyewa rumah yang bukan rumah petakan. Meski rumah petakan pertama kami juga nggak petak-petak amat sih, ada garasinya. Cuma tetep aja berupa satu rumah besar yang dibuat jadi 3 rumah. Satu kamar, serba sempit, mana pengap :’)

Sekarang, 8 tahun kemudian, bisa ternyata ya menempati rumah betulan. Rumah yang bisa dibilang seukuran rumah ortu saya di Bandung. Halamannya lebih luas malah. Bukan rumah millennial yang identik dengan kecil, mini, simpel cenah padahal mampunya dan yang tersedianya cuma itu.

Jadi bukannya millennials nggak mau beli rumah seukuran rumah boomers, tapi ya mahal hadeh, millennials harus stop ngopi 250 tahun baru rumahnya kebeli. Asumsi beli kopi segelas 80ribu, 20 hari sebulan, dan harga rumahnya 5 miliar (lol beneran diitung).

Anyway, yang bikin sentimentil nan emosyienel adalah twit yang usianya hampir 10 tahun ini HAHAHAHAHA.



Tadi sama JG nyicil beberes apartemen lagi kan, pindahan bertahap soalnya biar nggak capek. Pas menuju rumah, macet terus kami ketawa sendiri “BISA-BISANYA SIH KITA STUCK DI AREA INI” :’))))

Kaya dulu di situ ada Sevel tempat nongkrong sama teman-temanku (yang juga teman-teman JG), terus ada tukang soto yang mana kalau sekarang diliat-liat kok jorse ya nyahahahaha, gang demi gang itu dulu ada temen yang kost/ngontrak di situ, dan malah kejadian Pajero Sport nyungsep tuh persis di belokan rumah sekarang hahahahaha

Jalan yang sekarang dilalui sehari-hari adalah jalan yang sama yang dilalui saat saya pertama kali datang ke Jakarta. Dulu pake Google Maps di Blackberry, sekarang jalan-jalan kecilnya juga udah hafal. Dulu naik taksi, sekarang punya mobil sendiri. Dulu ramean segeng, sekarang bertiga :’)))

JAKARTA, TERIMA KASIH LOH SUDAH SEBEGITU PUSHY PADA KAMI! We become (and always try to be) the better version of ourselves. You provide comfort but at the same time, you never let us to stay in the comfort zone.

Titik 0 kami dimulai di Jaksel, sempat lompat ke Jakbar di mana ketemu banyak sekali teman menyenangkan yang masih berteman sampai detik ini, lompat lagi ke Jaksel dan kembali di area yang sama. Kembali ke titik 0 dengan kondisi yang sudah jauh berbeda. Mulai hari-hari baru lagi di sini dengan target hidup yang sudah juga jauh berbeda.

We’re blessed. Nggak berhenti bersyukur. Dulu pas di Jakbar mikirin banget gimana ya Bebe bisa SD di tempat yang sekarang, kok tau-tau dapet kerja di sekitar sini sih. Sampai bisa balik lagi ke Jaksel. Lagi-lagi sangat bersyukur.

Dan kalau diliat-liat serta dirasa-rasa, kami kayanya cocok dengan hawa daerah sini LOL. Dulu di Jaksel sih pas masih muda happy-go-lucky nggak mikirin jadi dewasa pokoknya cuma tau kerja dan ngabisin uang. Jakbar menempa kami dengan berbagai tantangan hidup: Punya bayi, anter jemput daycare sempat pakai motor, struggling belajar financial planning dari 0, sampai hustling jagain page views blog ini karena sebagian uang dulu dihasilkan dari sini.

Menulis malam-malam seperti ini jadi ritual rutin. Yang udah nggak pernah lagi dilakukan karena ngantuk atuhlah. Tapi tanpa pernah di situ, kami nggak di sini. Tanpa pernah struggling belanja aja harus ke pasar dengan budget yang pas-pasan banget, kami nggak di sini. Tanpa pernah dinyamukin di teras daycare karena JG lembur dan taksol terlalu mahal, kami nggak di sini. Tanpa semua kesulitan yang pernah dilalui dulu, kami nggak di sini :’)

Yang seru (seru menurut saya sih), kami bisa di sini karena kami menjaga gaya hidup selama 8 tahun ini. Mobil udah ganti meski tetap tua, harga tas/sepatu/baju masih sama, harga sekolah Bebe malah jadi berkurang dibanding daycare sehingga budgetnya bisa untuk dia les, makanan agak lebih mahal tapi tetep nggak jomplang, tetep nggak liburan (ya pandemi), dan pada akhirnya sekarang memutuskan “invest” ke rumah yang lebih besar. Untuk pertama kalinya harga kontrakan kami naik banyak hahahaha

Karena kemarin tuh harga kontrakan kami masih sama lho seperti 8 tahun lalu. Bayangkan 8 tahun jagain gaya hidup, orang lain rumahnya udah keren-keren banget, mobilnya juga. Liburan udah ke mana-mana, lah kami kok di sini-sini aja. Jangankan beli rumah, beli air fryer aja mikirrrr ni listrik bakal naik banyak nggak ya? Hahahaha. Belinya mah mampu, bayar listriknya yang males kalau jadi nambah. Jadi nggak beli deh lol.

Ya udah itu aja sih. Kaya utang cerita di blog kalau pindah rumah karena biasanya kan selalu cerita. Banyak jetlag pula nih dari apartemen yang serba ada ke rumah yang serba sendiri.

  • Bingung cari tukang pipa karena ada bocor. Nggak bisa telepon engineer ya? Hahaha.
  • Bingung kok ATM nggak ada di halaman rumah ya? HAHAHA. Stres harus bayar ongkir orang yang anter rak dan kami nggak punya cash. Pantas orang-orang pada punya motor lol.
  • Isi listrik pake token lagi. Adegan lupa gimana sih isi token? Main beli-beli aja kok listriknya nggak masuk ya? OH HARUS DIMASUKIN MANUAL ANGKANYA MAAP :')))
  • Nggak ada security urusin paket.
  • Deg-degan perkara takut mati listrik dan air yang tak pernah terjadi di apartemen.
  • Nervous menghadapi hewan-hewan di rumah (ya semut ya nyamuk ya kecoa ya cicak) karena di apartemen tidak ada.

Tapi bersyukur deh dapet provider wifi yang ok (lebih kenceng dari apartemen!) sehingga berkurang satu kestresan rumah tangga di mana seisi rumah work dan school from home. Beneran deh sebelum kami DP ni rumah, saya gerilya dulu nyari wifi yang testimoninya bagus dan nggak dibully rakyat Twitter hahahaha. Kalau nggak dapet beneran niat ganti rumah karena ya lagi begini wifi itu kebutuhan primer lah. Mending survey ulang rumah lagi dibanding suka rumahnya tapi wifinya elek (elek media komputindo? HUHU MAAF).

Beruntung juga nempatin rumah yang sangat sangat diurus sampai dinding bersih, lantai nggak kotor, teralis berdebu dikit tapi nggak parah, ya rumah yang terawat lah bukan yang jorse seperti tukang soto (lah dibawa lagi tu tukang soto). Pemilik rumah juga helpful banget jadi kami nggak sungkan untuk tanya-tanya.

Demikianlah, doakan kami semoga betah ya!

-ast-







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Titik Nol

on
Saturday, June 19, 2021

Ada yang sudah nonton Ali & Ratu Ratu Queens? Kalau belum dan nggak mau kena spoiler jangan lanjut baca ya!


(Sepertinya saya harus nanya pada mbak Gina S. Noer kenapa menulis Ratu Ratu dalam Ali & Ratu Ratu Queens itu nggak pakai tanda hubung/hypen/strip? Ratu-Ratu dong harusnya bukan Ratu Ratu? ASLI GEMES APA ARTI DI BALIKNYA? HAHA MAAFKAN).


Saya menangis nonton film ini dari awal sampai akhir. Bukan, bukan karena memikirkan Ali tapi justru memikirkan Mia. Betapa dia pasti terjebak di dalam satu persimpangan jalan yang yakinnnn, dialami banyak ibu. Mimpi sejak lama atau anak dan keluarga?


Kalau orang yang positive vibes only biasanya bilang “bisa keduanya kok, tenang aja” LOL MASA SIH? YAKIN? :))))


Kalau saya nggak berani bilang “tenang aja pasti bisa keduanya” meski juga tidak akan bilang “udah kubur aja mimpinya, sekarang fokusmu anak dan keluarga”.


Tidak berani terlalu positif tapi juga tidak perlu terlalu optimis. Di tengah-tengah saja. 



Sebabnya kalau ada satu hal yang harus pelan-pelan direlakan saat punya anak adalah menyadari bahwa kamu bukan sepenuhnya milikmu lagi.


Bahwa ada hak anakmu di sana, bahwa ada hak suamimu di sana, dan setelah itu biasanya kita jadi melupakan bahwa ada hak dirimu sendiri juga yang memang sejak awal ada di sana. Praktiknya, ini sulit. Sangat sangat sulit.


Belum lagi tuntutan lingkungan tentang ibu ideal adalah ibu yang selalu ada bersama anaknya. Tidak peduli apakah si ibu tetap menyalakan mimpinya atau tidak. Tidak peduli meski di rumah yang sama, sang anak dibersamai maksimal atau tidak. Yang penting ibunya ada!


*


Selesai nonton ini saya jadi merenung *lah nonton apa aja bukannya jadi merenung? :))))* 


Titik Mia memutuskan untuk pergi padahal anaknya masih kecil adalah titik nol. Ia memutuskan untuk bergerak, kembali mengejar mimpi. It’s a now or never situation.


Dia semakin tua, Ali semakin besar, dan semakin besar Ali semakin mungkin ia melarang ibunya pergi. Semakin tua Mia, semakin mungkin ia jadi melupakan mimpinya atau menyadari bahwa sudah terlambat, sudah bukan waktunya lagi.


Saya pernah ada di titik nol itu. *SORI EMANG BLOG INI BUAT CERITA PRIBADI HAHAHA*


Grafik kebahagiaannya kurang lebih seperti ini.


Bingung pada blogspot baru nih kenapa sih foto udah hi res pun setelah di-upload jadi butek gini ih


TIDAK PERNAH sedikitpun terbersit dalam pikiran saya akan resign dari kantor. Saya selalu ingin bekerja. Ya gara-gara The Devil Wears Prada sih, saya selalu membayangkan saya adalah perempuan bekerja yang sekarang di-stereotype-kan sebagai mbak-mbak SCBD. Mbak-mbak kantoran.


Lupa kuliahnya Jurnalistik, walhasil bukan jadi mbak-mbak SCBD tapi mbak-mbak Buncit Raya naik turun taksi wawancara artis Korea LOL. Ya yang penting kerjalah! Saya punya rencana karier, ingin jadi apa dalam sekian lama. Ingin kerja di mana. Ingin kerja di perusahaan seperti apa.


Sampai menikah dan punya anak. Tiba-tiba dunia jadi jungkir balik. Karier yang dulu rasanya mudah dicapai kini jadi perlu banyak pertimbangan. Kantor yang dulu jadi mimpi tiba-tiba jadi mustahil digapai lagi. Terutama bagi saya yang ingin anak diurus sebisa mungkin dengan ideal.


Saya merelakan mimpi. Saya tidak mau lagi dihantui “coba kalau”. Saya tidak mau hidup dalam penyesalan dan menua dengan menyimpan “dendam” pada anak bahwa saya berkorban.


Saya berdamai untuk semua rencana yang mungkin tertunda atau malah memang harus menguap begitu saja. Tidak mau menyesali yang sudah jadi kenyataan, belajar melepaskan apa yang kita inginkan dan merelakan apa-apa yang tidak pernah kejadian.


Belajar bahwa ketika apa yang kita usahakan nggak bisa jadi nyata, mungkin memang sejak awal itu bukan untuk kita.


Belajar bahwa apa yang kita hadapi sekarang adalah konsekuensi dari berbagai pilihan kita di masa lalu dan tentu, dulu pun sudah dilalui dengan berbagai pertimbangan.


Saya membuat mimpi baru. Setelah jatuh ke bawah, merasa tidak punya apa-apa, merasa gagal, merasa tidak mungkin lagi bermimpi saya merangkak lagi. Belajar hal baru, berkenalan dengan komunitas baru, menemukan passion baru. Sampai akhirnya saya di titik nol lagi, siap untuk semangat lagi, siap untuk mengejar mimpi-mimpi baru lagi.


Itu saya. Saya MEMILIH untuk mencari mimpi baru. Mia tidak dan itu tidak apa-apa!


Mia (dan mungkin banyak di antara kalian) memilih melanjutkan mimpi lama. Yang mungkin terkubur karena harus menyusui, terabaikan karena anak tantrum dan berbagai drama balita, tapi tetap ada di sana. Ingin dikejar karena kalau tidak sekarang kapan lagi? 


Kalau pun dia di rumah apakah dia akan fokus membesarkan anak dengan baik? 


Iya pasti akan banyak penghakiman, tapi lebih baik dihakimi daripada menyesal seumur hidup. Lebih baik mencoba dibanding saat tua jadi menyesal dan hanya bisa bilang pada anak “aku berkorban banyak hal untukmu”. Lebih baik pergi sejenak dan tahu ia mencoba dibanding sampai tua menyadari ia kehilangan diri sendiri karena tidak memberi kesempatan pada mimpi.


Beda lainnya adalah saya didukung suami atas apapun pilihan saya. Mia tidak dan itulah sumber masalah sebenarnya.


Suaminya tidak rela Mia pergi mengejar mimpi, maka setelah 6 bulan ia bahkan tidak peduli bagaimana perasaan Mia, yang penting kalau gagal pulang. Jika ia mendukung maka mereka akan mencari jalan tengah. Bukan menceraikan begitu saja bahkan sebelum sempat bertemu lagi. Bukan menutup komunikasi Mia dengan Ali.


Itu sumber masalah utamanya. Kamu menikah dengan orang yang tidak sepaham denganmu melihat dunia. Kamu menikah dengan orang yang tidak menyadari bahwa setiap individu berhak punya mimpi, meskipun ia seorang ibu.


Beda prinsip. 


Padahal sama prinsip saja membesarkan anak itu tidak mudah apalagi beda, kan? Tetap banyak mimpi yang harus ditunda untuk nanti dikejar ulang atau direlakan untuk selamanya, Yang mana saja, yang jelas lakukan dengan sadar. Lakukan dengan paham konsekuensi dari segalanya. 


Itu saja.


-ast- 







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Yang Tidak Dirindukan dari Pra-Pandemi

on
Monday, May 17, 2021

Beberapa hari lalu, saat Lebaran, saya melihat Arthur C. Brooks posting di Instagram tentang tulisan terbarunya A Once-in-a-Lifetime Chance to Start Over. Dua bulan belakangan, saya memang meluangkan waktu untuk mendengarkan podcast Arthur di Spotify dan ya banyak tercerahkan tentang happiness dari sisi seorang ekonom.


Tapi ya sudah, biasanya setelah dengar podcast mentok bahas bareng JG, tapi kali ini tulisannya bikin saya ingin menulis satu daftar tentang apa yang tidak dirindukan dari pandemi. TERNYATA ADA YA, KOK BISA AHAHAHA.


Selama ini kita selalu bilang “kangen sebelum pandemi bisa …” sehingga kita rasanya selalu terjebak di masa itu. Padahal entah kapan bisa kembali dan entah, apakah memang masa itu bisa kembali? Kan belum tentu :)))


Jadi daripada membuang waktu untuk mengingat masa-masa yang (ok untuk sementara) tinggal kenangan, mari kita tulis, apa aja sih hal-hal yang nggak saya rindukan dari masa pra-pandemi?


Kerja dari kantor setiap hari


Well ok, kantor terakhir saya dulu sebelum pandemi pun tidak strict mengharuskan setiap hari datang ke kantor sih. Asal kerjaan selesai ya sudah. Tapi dulu ya tiap hari ke kantor kecuali memang ada hal urgent yang membuat kami harus kerja dari luar. Iya saya kangen interaksi di kantor, makan siang bareng, jajan sore, nongkrong pulang kantor atau nonton konser bareng TAPI kayanya nggak usah tiap hari kali ya LOL. Seminggu 2-3 kali cukuplah, sisanya di rumah aja. Kenapa? 


Karena pergi ke kantor itu menyebabkan terjadi hal-hal di bawah ini yang terus terang saya nggak rindukan sama sekali, yaitu …


Macet


Gila apa gimana ya saya dulu kok hampir nggak pernah ngeluh sama macet! :))) Saya termasuk orang yang nggak cranky amat kalau macet kecuali ya kalau ada kasus gitu lah misal Senayan - Slipi 4 jam gitu *PERNAH TERJADI* tapi kalau macet 1 jam padahal kalau lancar harusnya 15 menit gitu mah ya udalah. Mungkin karena nggak nyetir jadi macet ya udah, toh di mobil, dingin. Bisa sambil nonton Netflix atau IG story. Bisa sambil ngelamun, bisa ngobrol sama driver taksolnya. KALEM BANGET, CHILL.


Sekarang ya ampun, cuma keluar bentar dikasih macet rasanya ih stres banget. Dulu bisa-bisanya sehari ke kantor, ke tempat liputan, abis itu jemput Bebe, abis itu sama Bebe ke kantor JG, abis itu makan malem janjian sama orang. Ganti-gantian tergantung situasi dan suasana hati kadang ojol kadang taksol. APAKAH TIDAK LELAH, BUND? Polusi pula aduh.


Iya seru emang dulu juga rasanya biasa aja tapi kalau bisa milih sih kayanya kok nggak perlu gitu yaa ahahaha. Kalau di rumah aja bisa kerja produktif kenapa harus menerjang macet sih? Karena ini ngaruh ke yang tidak dirindukan berikutnya …


Bertengkar karena capek


Setahun lebih pandemi kayanya saya dan JG cuma berantem sekali? Apa malah nggak sama sekali? Wah, untuk ukuran saya yang simpan chat sejak iPhone 6 tahun 2015 sampai sekarang terus backup-restore untuk bisa membuktikan sekarang “DULU YA KAMU PERNAH …” LOL IYA UNTUK UKURAN ANAK MENDENDAM, saya nggak inget kapan kami terakhir bertengkar. Kenapa? Karena dulu berantem itu pasti karena capek dan lapar.


Sampai rumah, makanan belum ada karena harus nyiapin dulu sama-sama, lapar, capek abis macet, saya PMS, udahlah pasti berantem. Nggak sering tapi ya nggak mungkin sama sekali setahun juga nggak berantem. Minimal sebulan sekali ada lah naikin oktaf LOL. Kalau sekarang chill, rumah dingin ada AC, wifi lancar, makanan dikirim mertua seminggu sekali jadi nggak perlu masak, mau beli apa aja di bawah apartemen ada, apa yang mau dipertengkarkan? 


Ini juga sih yang bikin saya nggak gila setahun di rumah. Kami ke mall beberapa kali, Bebe ganti kacamata, dan Bebe beli sandal dan sepatu yang kekecilan. Tapi ya cuma dateng, beli, pulang. Sisanya di rumah aja. Bisa gini, bisa nggak gila, karena mau apa lagi sih? Di rumah bareng keluarga yang saya sayang sekali, kami nggak punya alasan untuk nggak betah di rumah. Sampai-sampai setahun berlalu aja rasanya ya udah, kok nggak butuh ya ke mall hampir tiap hari kaya dulu? Hidup rasanya jadi lebih tenang.


Juga nggak stres karena setahun ini nggak …


FLU


Dulu sebelum operasi amandel saya bisa sebulan sekali flu, setelah operasi, ya setahun sekali pasti adalah flu gitu. Apalagi si Bebe, batuk pilek setahun 2 kali mah ada lah pasti ketularan anak lain di daycare. LOH INI SETAHUN NGGAK ADA YANG SAKIT SAMA SEKALI! Itulah gunanya pakai masker dan cuci tangan, bunda!

Karena ya meski saya ngakunya di rumah aja tapi kan tetep turun dari unit apartemen pakai lift yang dipakai bersama ribuan rakyat lainnya. Ke supermarket di bawah aja itungannya mall kan tetep meski kecil banget. 


Ini juga sebabnya saya nggak mau ambil risiko ketemuan sama orang. Takutnya selama ini bukan beruntung bisa nggak kena Covid tapi ya emang nggak ketemu orang lain ahahaha. Ya udah di rumah aja menikmati segala-gala dengan lebih lambat. Ini juga yang nggak dikangenin nih …


Multitasking dan fast-paced life


Dulu ya, saya pakai skincare itu gini: Selesai mandi masih pakai handuk langsung pakai toner, nunggu toner meresap pakai bra, abis itu pakai serum, lanjut pilih baju sambil tunggu serum meresap, sambil pilih jilbab tunggu moisturizer meresap terus aja disambi yang lain sampai akhirnya bisa sampai step sunscreen. MANA BISA DUDUK SANTAI NUNGGU SEMUA MERESAP HAHHH? NGGAK SEMPET! Waktu Bebe bayi malah skincare-nya pakai di mobil lol stres.


Nggak usah ceramahin manajemen waktu ya, kami punya balita, tanpa mbak dan nanny, tanpa ortu dan mertua, tanpa bantuan sama sekali dan punya full time job plus side job. Kalau nggak bisa manage waktu sih ya mustahil bisa survive. Justru itulah cara saya manage waktu. Semua multitasking. Skincare sambil pakai baju, sarapan sambil kerja, dan sambil sambil lainnya yang sebetulnya nggak perlu.


Dulu mikirnya gitu padahal ternyata ya saya harus begitu karena ke mana-mana harus memperhitungkan waktu 1,5 jam karena takut telat. Di GMaps 30 menit maka pergi 1 jam sebelum, di GMaps 1 jam maka pergi 1,5 jam sebelum. Sekarang? Enak bangettt pakai skincare bisa mindful, santai sekali, nggak diburu-buru waktu. Semua bisa dilakukan single tasking. Praktik mindfulness jadi lebih gampang dan nggak menakutkan lagi :)


TERAKHIR …


Nggak nonton drakor adalah yang tidak dirindukan dari pandemi HAHAHAHA WELCOME BACK TO KOREAN ENTERTAINMENT!


Terakhir Koreaan itu pas Bebe lahir, saya baru nerbitin buku Oppa Oppa. Abis itu blas cuma nonton konser G-Dragon sekali, nggak nonton drakor apalagi variety show. Nonton konsernya malah lokal terus. Sekarang karena senggang jadinya bisa nonton lagi dan sungguh menyenangkan sekali!


Apalagi sekarang JG juga jadi nonton terus huhu quality time kami ya nonton drakor bareng. Tidak bareng ya tidak nonton #prinsip. Apalagi kalau drakornya diskusi-able gitu ah senanglah nonton drakor bersama tuh hahaha. Awal pandemi kami sempet tuh berpisah jalan LOL. JG maunya nonton Itaewon Class dulu, saya Fight for My Way dulu. LAH NGGAK SERU. Abis itu kebut tukeran, saya nonton IC, JG FFMW. Setelah itu bareng terus biar bisa diskusi dan gemes sama-sama HAHAHA.


Wah, panjang banget ya hahahahaha ya udalah bodo amat. Kalau kalian baca sampai sini wowww terima kasih ya! Semoga kalian pun punya hal-hal yang nggak dirindukan dari masa pra-pandemi jadi bisa menjalani hari-hari pandemi ini dengan penuh syukur dan sadar penuh.


Ayo buat daftarnya sendiri!


-ast-








LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Mitos dan Fakta Seputar Vaksin

on
Sunday, May 2, 2021

Ngomongin vaksin zaman sekarang itu sensitif banget ya padahal vaksin terbukti menyelamatkan jutaan jiwa. Eh tapi sebentar deh, kalian udah paham belum sih bedanya vaksin dan imunisasi?


Vaksin: Proses memasukkan vaksin ke dalam tubuh via injeksi atau oral.

Imunisasi: Proses di dalam tubuh membentuk antibodi. 


Pada akhirnya kedua istilah ini sering dipertukarkan dalam keseharian dan ya udalah yang penting sama-sama paham kan hahahaha.


Kenapa tiba-tiba bahas vaksin, karena Jumat lalu saya hadir di event Kenapa Harus Vaksin World Immunization Week 2021 Webinar dengan tema "101 Vaksinasi: Kupas Tuntas Vaksinasi Anak" bersama Kenapa Harus Vaksin (@kenapaharusvaksin), theAsianparent Indonesia, Sisy Prescilia, dan dr. Attila Dewanti, SpA(K) dan merasa dicerahkan kembali soal berbagai mitos dan fakta seputar vaksin.


Apa aja sih mitos seputar vaksin dan gimana faktanya?


Mitos: Vaksin hanya melindungi diri sendiri


Faktanya, vaksin bukan hanya melindungi diri sendiri tapi juga melindungi orang lain! Karena ketika kita divaksin, kita tidak berpotensi menularkan penyakit pada orang di sekitar kita.


Data juga bicara demikian. Vaksin lengkap bisa mencegah lebih dari 26 penyakit dan 2-3juta kematian tiap tahun bisa dicegah dengan vaksin. Ketika cakupan imunisasi secara global diperluas, vaksin bisa menyelamatkan 1,5juta orang lagi setiap tahun.


Inget nggak sih outbreak difteri beberapa tahun lalu? Nah itu karena 65% orang nggak vaksin DPT lengkap. Ya melindungi diri sendiri aja nggak bisa apalagi saling melindungi dengan orang sekitar, outbreak deh.



Vaksin juga bisa menghindari komplikasi penyakit serius. Misal flu, orang yang sudah vaksin influenza punya risiko lebih rendah terkena komplikasi seperti pneumonia atau gangguan sistem saraf pusat.


Mitos: Vaksin gratis lebih tidak efektif dibanding vaksin berbayar.


Faktanya, menurut dr. Attila efektivitas vaksin yang gratis maupun yang berbayar itu sama saja. Vaksin di posyandu atau di rumah sakit juga sama saja yang penting itu vaksin lengkap, sesuai jadwal, dan dengan urutan yang benar sesuai jadwal vaksin dari IDAI.



Bedanya yang gratis disubsidi pemerintah, yang bayar tidak disubsidi. Pun bisa berbeda pula dari jenisnya. Seperti vaksin DPT yang menyebabkan demam itu karena jenisnya whole cell di mana pembuatannya pakai kuman yang dilemahkan. Namun ada juga yang aseluler, di mana selnya saja yang diambil dan tidak semua kuman masuk ke dalam vaksin sehingga menurunkan risiko anak demam. Keduanya tetap merupakan vaksin aman.


Kalau pun anak demam pasca vaksin, itu wajar ya! Biasanya demam terjadi dalam 24-36 jam, lewat itu sebaiknya diperiksa ke dokter karena khawatir ada penyakit lain, bukan disebabkan vaksinnya!


Mitos: Karena pandemi, jadwal vaksin anak boleh ditunda.


Faktanya: TIDAKKKK! Jangan sampai karena takut pandemi (yang entah akan berakhir kapan) kita jadi terkena risiko penyakit lain yang sebetulnya bisa dicegah dengan vaksin ya!



Jadi baik vaksin untuk bayi, vaksin untuk balita, maupun vaksin tambahan atau vaksin booster TETAP diberikan sesuai jadwal IDAI. Bagaimana kalau terlanjur terlewat jadwal? Misal karena PSBB atau alasan lain?


IDAI menyarankan imunisasi kejar dan imunisasi ganda, yaitu vaksin beberapa dalam waktu yang sama sekaligus. Nggak masalah dan aman ya! Selama dikonsultasikan pada dokter tentunya.


Mitos: Vaksin yang sama lebih dari sekali itu berbahaya.


Faktanya menurut dr. Attila ketika orangtua ragu anaknya sudah divaksin atau belum, sebaiknya ya diulang saja karena kalau pun sebelumnya sudah pernah, sisa vaksinnya akan dibuang oleh tubuh. Tidak ada bukti pemberian vaksin akan merugikan penerima yang sudah vaksin dan vaksin tidak akan membuat penyakit bertambah parah.



Bonus: Tips Vaksin Aman Saat pandemi


Nah saya yakin sih banyak yang sebetulnya mau vaksin tapi khawatir duh ke rumah sakit lagi pandemi gini aman nggak ya? Ini tipsnya:


Cari fasilitas kesehatan yang memisahkan anak sakit dengan anak sehat. Rumah sakit ibu dan anak tentu bisa dibilang lebih aman dibanding rumah sakit umum.


Buat janji kedatangan dan datang tepat waktu. Kalau masih ada waktu menunggu, pertimbangkan menunggu di mobil.


Konsultasikan pada dokter tentang imunisasi kejar & imunisasi ganda, siapa tahu ada yang bisa diberikan sekaligus karena waktunya berdekatan. Bisa mengurangi waktu ke RS, kan.


Opsi lain, cari tempat vaksin yang bisa vaksin di rumah sehingga tidak perlu ke rumah sakit. 



Terjawab ya berbagai mitos seputar vaksin! Semoga bermanfaat!


-ast- 







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Perawatan dan Biaya LASIK ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center

on
Friday, April 16, 2021

Ini adalah lanjutan dari artikel ini: Pengalaman LASIK Mata ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center. Baca postingan sebelumnya untuk cerita screening dan proses LASIK nya ya! Sekarang kita akan bahas perawatan dan biaya LASIK ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center


2 hari pasca LASIK udah naik ATV ahahahaha


Sampai rumah sekitar jam setengah 3, saya tidur 3 jam dengan kondisi mata berair terus. Kalau tidur, matanya dikasih penutup mata gitu untuk menjaga biar nggak kucek mata. Karena beneran pengen kucek banget kaya kelilipan debu besar terus debunya nyangkut di sana nggak mau keluar nggak peduli seberapa banyak air mata keluar :’)


Kepanikan melanda, duh kok pede banget besok udah bikin jadwal syuting, weekend-nya udah booking tempat glamping pula, apa bisa? Apa ini mata akan berair lama gini? Saya akhirnya memberanikan diri untuk BERDIRI dan mulai jalan-jalan. Eh kok matanya jadi nggak berair, jangan-jangan dari tadi berair karena nggak dicoba dipake gitu.


Penutup mata yang dipakai saat tidur.



Lalu saya waslap muka dan mandi (mandi biasa aja cuma pake kacamata renang karena masih ngeri air masuk LOL). tapi jadi seger banget dan mencoba beraktivitas, mayan ya biasa aja ternyata cuma nggak bisa liat layar aja. TV gitu nggak sanggup karena silau. HP  juga udalah saya bertekad untuk nggak liat layar sama sekali sampai besok paginya. Soalnya kalau kata dokternya, kalau udah ngerasa bisa, boleh aja liat layar setelah 3 jam dengan catatan istirahat tiap 20 menit. Ah tapi  emang mau ngapain sih. Apa yang begitu urgent sampai harus liat layar terus kan. NGGAK ADA :)))


Perawatan pasca LASIK ReLEx® SMILE 


Sore itu juga saya minta tolong ibu untuk rebusin telor agak banyak karena dokter bilang harus banyak minum protein biar cepet sehat. Sehari makan 2 butir. 


Mata nggak boleh kena air seminggu apalagi air sabun ya. Nggak boleh kena air bukan berarti nggak boleh cuci muka. Pas awal saya cuci muka pakai waslap basah tapi hari berikutnya udah berani cuci muka biasa pelan-pelan.


Caranya,  siapin handuk di jangkauan tangan dan cuci muka pakai air diusap pelan pakai tangan. Jangan lupa merem banget maksimal gitu untuk mastiin air nggak masuk mata, lalu ambil handuk, keringkan dulu muka baru buka lagi matanya. Jadi wudhu tuh BISA BANGET YA! Boleh kok.


Kalau mandi, area mata dibersihinnya pake waslap, abis itu pakai kacamata renang, baru deh cuci muka pakai facial wash. Selama keramas dan proses mandi juga pakai kacamata renang untuk make sure aja nggak kecipratan air sabun. Btw ini saya ngarang sendiri ya pake kacamata renang nggak disuruh dokter tapi ya works ahahahaha.


Selain perkara air, juga dikasih tetes mata 3 macem. Yang 1 ditetes 1 jam sekali, yang 2 lagi 3 jam sekali. Harus rajin pake biar cepet normal lagi matanya. Malamnya tidur aman jaya, nyenyak nggak ada masalah apa-apa. Udah nggak sakit, udah nggak berair.


Obat tetes matanya.


Saya juga dikasih goggles gitu untuk dipake keluar rumah biar matanya nggak kena debu.


Hari berikutnya


BANGUN TIDUR BUKA MATA BISA MELIHAAATTTT AAAKKKKKK!


Saya ngerasa ini mata udah normal 100% dan coba buka HP. Wah jelas banget huhu terharu. 


Pagi ini jadwal konsul lagi ke dokter dan sepanjang jalan masih pakai sunglasses soalnya masih silau tapi saya baca semua hal di jalan dan kebaca semua :’)))))


Nyampe Bandung Eye Center, dites lagi dan keliatan semua dong SEMUAAAA! Padahal hari sebelumnya, huruf paling besar aja nggak kelihatan sama sekali. Kurang lebih ginilah hari sebelumnya vs setelah LASIK. Iya sebelum LASIK dengan jarak yang sama cuma keliatan bayangan item aja boro-boro hurufnya. :))))



Seburem itu emang, jarak pandang selama ini cuma sejengkal :’)


Kata dokter, mata kanan udah 100% normal dan mata kiri masih 90%. Kerasa mata kanan tuh emang normal aja gitu sementara yang kiri masih ganjel.


Dari BEC ke studio untuk syuting dan lancar. Udah nggak sesilau itu meski selama di jalan rasanya pengen lepas soft lens padahal kan nggak pake HAHAHA. Iya feelnya tuh kaya kamu pake soft lens kelamaan, nggak bawa tetes mata, tapi mau lepas juga nggak bawa case soft lensnya. Tau kan rasanya, pegel gitu. Rasanya persis sama. Ini yang kiri doang ya, yang kanan tuh senormalnya mata deh.


Besoknya udah glamping, naik ATV, main high rope dan baik-baik aja, udah nggak berair, udah nggak silau tapi masih ngurangin main HP. Saya masih pengen istirahat maksimal 3 hari biar cepet sehat aja. Masih makan telor rebus 2 butir sehari juga.



Main high rope tanpa kacamataaaa!


Udah mulai bales-balesin chat tapi belum kembali bikin konten dan belum buka laptop. Udah nemenin Xylo main Minecraft meski cuma 20 menit. Tidur masih pakai penutup mata, keluar masih pakai goggles karena saya ngerasa ini lancar banget semuanya jangan sampai deh karena kelilipan terus jadi infeksi atau apalah.


LALU SUDAH. Senin udah normal aja gitu. Seminggu kemudian (kemarin) udah pakai eyeliner. Satu hal yang saya sadari, kayanya cepat sembuh karena di Bandung nggak kena AC sama sekali kecuali di mobil. Lalu glamping juga liat yang ijo-ijo kan jadi seger banget. Soalnya nyampe Jakarta, kena AC seharian matanya berasa jadi kering lagi gitu. Akhirnya diatur deh AC nya dinyala-matiin biar matanya enakan lagi.


Kata orang matanya baru, saya lebih ke punya badan dan wajah baru. Karena selama ini cuma bisa lihat wajah dan badan sendiri dari jarak jauh kalau difoto aja. Bercermin tuh deket banget ke cermin sampai pake eyeliner selalu mentok. Iya sih pakai soft lens, tapi soft lens kan cuma bantu minus aja, silindernya tetap ada jadi tetap berbayang. Baru ngeh oh gini rasanya bercermin tanpa kacamata dari jarak jauh :’))))


Biaya LASIK Mata ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center


Ini yang paling dittunggu:


Harga LASIK Mata ReLEx® SMILE: Rp.32.800.000

Diskon jadi: Rp. 31.750.000


Untuk 2 mata. Sudah termasuk pemeriksaan screening awal LASIK, laboratorium, obat setelah tindakan

dan free kontrol 1x setelah tindakan.


Menurut aku ini yang paling terjangkau sih biayanya dibanding di Jakarta. Rata-rata di Jakarta itu Rp 38juta dan belum sama screening. Padahal alatnya sama aja. Ya apa sih yang lebih mahal di Bandung dibanding di Jakarta ya kan ahahahaha.


Apakah worth it? BANGET! Karena bener-bener enak hidup nggak pake kacamata apalagi kaya saya yang kacamata tuh udah nggak nyangkut saking lensanya berat. Ya minus 7 gimana sih, udah pake lensa yang dipertipis aja tetep merosot.


Kacamata tebalku :')


Dan ini PERMANEN ya! Menurut dokter Erna, LASIK itu adalah tindakan permanen kecuali kamu LASIK-nya di umur 18 tahun biasanya masih tumbuh matanya jadi bisa nambah minusnya. Tapi kalau di atas 22 tahun, minusnya nggak akan balik lagi. Kalau pun ada minus, tandanya bersisa saat tindakan, bukan karena kembali lagi. Itu pun paling seperempat atau setengah dan nggak akan nambah lagi sama sekali.


BEGITULAHHH. Demikian cerita saya LASIK mata dengan metode ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center. Yang mau tanya-tanya boleh banget telepon dulu.


Bandung Eye Center

Jl. Buah Batu No.147

(022) 73514682


Kalau dari luar kota pun bisa banget LASIK di sini, nanti kontrolnya di kota asal. Puas banget sama layanannya BEC, tempatnya bagus, protokol oke, ruang tunggu sofa berjauhan jadi social distancing (bukan cuma dikasih x), dan semuanya ramah banget jadi bikin tenang. Karena ini rumah sakit mata (bukan klinik) jadi ada UGD dan Sunday Clinic-nya juga, hari Minggu kalau ada urgent sakit mata bisa deh ke BEC.


Bersama dr. Erna dan tim BEC yang helpful banget!


Semoga yang mau LASIK juga dilancarkan ya!


-ast-








LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Pengalaman LASIK Mata ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center

AKHIRNYA LASIK GAESSSS!


Jadi saya tuh mau LASIK dari entah 2 tahun lalu kali ya. Udah ada uangnya, udah ke dokter mata dan tanya-tanya, tapi belum ada momen ok kita jadwalkan gitu karena apa? Karena ini mata minus 7 silinder 2, pakai kacamata udah 22 tahun, annisast itu ya pake kacamata! LASIK akan mengubah hidup sepenuhnya dan jadinya maju mundur karena apakah perlu perubahan dalam hidup?


Tapi saya survei terus ke beberapa RS, subscribe newsletter RS-RS mata di Jakarta karena mereka tuh sering kasih info diskon lewat newsletter gitu. Brosur-brosur kusimpan rapi, udah sering banget baca pengalaman atau nonton YouTube orang yang LASIK sampai hafal prosedurnya hahaha. Tinggal go aja sebenernya.


EH PANDEMI! MATA XYLO MINUSNYA JADI 4,5! Lalu mellow banget kasian Xylo kalau pakai kacamata sendiri di rumah huhu akhirnya saya buanglah semua brosur itu, unsubscribe semua newsletter RS, memutuskan kalau Xylo pakai kacamata maka saya juga :’((((



Pencerahan datang dari Xylo ternyata bisa Ortho-K (googling LOL) intinya dia siang bisa lepas kacamata sama sekali! Ok langsung ke dokter untuk ukur mata, pesan, bayar, dan seharusnya si Ortho-K datang bulan ini. Di saat yang bersamaan, Bandung Eye Center nawarin saya untuk LASIK di sana ya ampun huhu terharu :’)


Buat kalian yang bukan orang Bandung mungkin nggak tahu Bandung Eye Center ya, jadi BEC itu dulu Klinik Mata di Jalan Sumatera nah tapi di tahun 2017 dia bikin gedung baru di Jalan Buah Batu 147. Iyaaa, Buah Batu yang tempat jajan segala rupa itu. Saya sih tau karena emang deket rumah, sepupu juga urus matanya di sini, ada beberapa temen juga yang udah pernah LASIK di BEC jadi udah terpercaya lah ya. Tanya sana-sini pada rekomennya dr. Erna Tjahjaningtyas, Sp.M(K) dan nggak menyesal sama sekali karena dokternya manis menenangkan. Sungguh luvly.


Persiapan Awal


Pertama tentu kamu harus ketemu dokternya dulu (yaiyaaa) tapi untuk menghemat energi dan nggak bolak-balik intinya sebelum LASIK kamu harus:


  • Lepas soft lens minimal 2 minggu (nggak boleh pakai sama sekali meski cuma sebentar!) dan hard lens minimal 4 minggu.
  • Sehari sebelum nggak boleh makeup mata.
  • Sehari sebelum nggak boleh kurang tidur, tidur cukup!


Lalu ketemu dokternya dan menentukan mau pakai metode apa? Ini kamu konsultasikan sama dokter tapi sebetulnya bisa pilih sendiri ya cocoknya yang mana. Ada beberapa metode LASIK, nama di tiap RS bisa beda tapi intinya:


  • Dengan flap. Jadi kornea kamu dilipat, lenticule diambil, lalu kornea dikembalikan seperti semua.
  • Tanpa flap. Kornea kamu nggak dilipat, cuma dibuat sobekan kecil 2-4 mm, lenticule diambil, selesai. Aku pilih ini, nama metodenya ReLEx® SMILE.


ReLEx® SMILE (katanya dan ternyata memang iya!) ini metode paling cepat, nggak sakit karena sayatannya kecil, otomatis pemulihannya cepat. Terus karena di kornea nggak dibuat flap (lipatan) jadi risiko komplikasi lebih rendah.


Screening


Setelah itu, ada screening dulu untuk menentukan kamu bisa LASIK nggak? Jujur di sini aku deg-degan banget karena kalau nggak bisa YA NGGAK JADI HAHAHAHA. Selain screening juga tes darah dan swab antigen karena lagi pandemi.


Saat screening, yang dicek itu minusnya tentu saja karena untuk ReLEx® SMILE ini biar minusnya 0 banget itu maksimal minus 12 silinder 4. Lalu juga cek retina, tekanan bola mata, dan ketebalan kornea.


Ketebalan kornea ini sangat menentukan karena saat tindakan itu ada bagian kornea yang diambil, nah kalau kornea kurang tebel apanya yang mau diambil? Kalaupun bisa nanti korneanya akan jadi tipis banget dan rawan meletus kaya balon (ini analogi dokternya ahahahaha aku hanya meniru LOL).


Syukurlah setelah dites ternyata kornea saya tebal dan aman untuk LASIK. YAYYYY! Di titik ini saya udah bener-bener hepi pengen lompat-lompat saking senengnya!



Semua proses ini bisa dilakukan dalam 1 hari. Jadi kalau kamu kerja, kamu bisa cuti 2 hari Kamis dan Jumat. Tapi sebelumnya kamu telepon dulu untuk bikin janji ya! Bikin janji dulu sebelum cuti lol kali ajaaa ada yang pede banget udah cuti padahal lalu dokternya penuh HAHA.


Kamis kamu konsul dokter, screening, dan LASIK.

Jumat konsul dokter 1 hari setelah LASIK.


Sabtu Minggu istirahat (ya kasian amat masa Sabtu Minggu kerja jugaaa), Senin udah bisa kerja lagi normal bener-bener normal banget magic! 


Tindakan ReLEx® SMILE


Di teras ruang operasi (halah apa dong namanya), saya diminta ganti baju operasi, pakai hair cap, dan ganti masker. Iya karena lagi pandemi, masker bener-bener nggak dilepas sama sekali lho dari screening sampai tindakan.


Di dalam, ada sofa untuk nunggu, dijelaskan nanti tindakannya seperti apa, lalu kedua mata ditetes antibiotik, ditetes anestesi 3x dengan jeda beberapa menit, dibersihkan pakai betadine, dan siap deh masuk ruang operasi.


Ruangannya dingin (tapi dikasih selimut kok), dan kita sepenuhnya dalam kondisi sadar ya. Nggak disedasi sama sekali jadi cuma mata aja yang dikasih anestesi. 



Saya diminta tidur, sebelah mata ditutup, doa bersama, mulai deh mata kanan duluan. JG dari luar video dan satu mata itu prosesnya  nggak lebih dari 3 menit! Pertama matanya di-laser 24 detik, saya sih cuma diminta fokus lihat titik cahaya hijau gitu. Setelahnya laser diangkat, lenticulenya diambil, ini agak kurang nyaman karena bola mata kaya dielus-elus tapi ya tetep fokus aja ke si titik hijau terus selesai deh! Nggak sakit sedikit pun! Setelah itu mata kiri lewat proses yang sama dan selesai. Cepet banget!


Saya sih nggak deg-degan sama sekali, tenang karena dokternya juga menenangkan banget. Beneran deh meditasi ternyata bantu banget dari perkara cabut gigi sampai LASIK. Terakhir saya harus cabut 2 gigi bungsu juga sepanjang 2 jam lebih prosesnya ya atur nafas aja dan tarik pikiran untuk di sini dan kini, nggak ngelantur ke mana-mana.


Ini juga sama, tapi saya nafasnya hati-hati banget karena pas coba tarik nafas panjang sama dokter dibilang jangan gerak LOL. Iya juga narik nafas panjang otomatis kepala gerak dikit kan. Tapi ya dibanding cabut gigi bungsu, ini nggak sakit sama sekali. 100% lebih sakit cabut gigi, lebih nggak nyaman, ini mah kalem banget lah.



Keluar ruang operasi, pandangan masih agak blur tapi nggal blur minus 7 banget. Diperiksa lagi di situ, ganti baju dan langsung pake kacamata item (saya sengaja bawa dari rumah) karena semua rasanya silau banget. Lalu ke apotek, dikasih obat dan penutup mata, udah deh pulang.


Di jalan saya takut sakit dan memang dikasih Mefinal 2 tablet kan, khawatir anestesi ilang bakal perih jadi saya minum dulu aja.


Di mobil nggak bisa buka mata karena super duper silau banget padahal udah pake sunglasses. Nyampe rumah langsung tidur 3 jam dan berair terus gitu matanya.


Mulai panik duh kok pede banget besok udah bikin jadwal syuting, weekend-nya udah booking tempat glamping pula, apa bisa? Apa mataku akan berair lama gini?


Karena udah kepanjangan, lanjut di part 2 ya! Perawatan setelah LASIK, biaya, dan apakah hasilnya permanen? Baca di sini:


Perawatan dan Biaya LASIK ReLEx® SMILE di Bandung Eye Center


Nonton videonya juga ya!


-ast-










LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Bebe ke Dokter Mata (3)

on
Wednesday, March 17, 2021


Baca dulu part 1 dan 2 nya ya biar nyambung.


Bebe ke Dokter Mata: Part 1 | Part 2


Pengalaman Periksa Mata Anak dengan dr. dr. Florence M. Manurung, SpM(K) di JEC Menteng.


Hari itu, hari pertama Bebe ke dokter mata, saya ada webinar jadi ini pengalaman JG dan Bebe hahahaha.


Rada bersyukur saya nggak ikut karena Bebe sama saya tuh kan modenya langsung bayi ya, gampang nangis, lemah, leuleus, segala pake nangis pokoknya. Kalau sama appa tuh kuat, nggak gampang nangis, nggak manja, nggak minta gendong HAHA.


Urutannya gini kalau mau ke JEC saat Covid. 


1. Bikin janji via WhatsApp JEC di nomor +62 877-2922-1000 (JEC cabang manapun bisa bikin janji di WA ini).

2. Download aplikasi JEC, sign up, isi screening Covid di sini. Screening berlaku 12 jam jadi isinya sebelum pergi aja, cepet kok.

3. Dateng ke sana, lihat hasil screening, ganti masker dengan yang disediakan. Boleh pakai masker dobel dengan kain tapi masker medisnya di dalem, masker kain di luar. Please nurut ya karena dokter mata tuh risiko tinggi tertular Covid huhu repot banget kan kalau pada sakit, udah mah cuma dikit dokter mata tuh.


Masuk, registrasi standar rumah sakit lalu ke BDR (Basic Diagnostic Room), periksa mata kaya di optik cuma lebih lengkap. Diperiksa pakai alat (ya ngeliat balon udara itu), lalu periksa manual (sebut huruf), kalau dewasa (saya akhirnya ikut periksa di kunjungan ketiga) diperiksa tekanan mata. Disemprot pakai udara gitu. Kalau anak, diperiksa ininya di dalem sama dokter.


PLEASE NOTE YA INI:


KALAU MATA KALIAN ATAU SUAMI MINUS, BAWA ANAK KE DOKTER MATA YA! Plis jangan bawa ke optik doang karena hasil dari dokter mata itu lebih spesifik sehingga anak bisa pakai kacamata yang bikin dia liat 100% bagus.


Karena pengalamanku seumur hidup pakai kacamata hanya periksa di optik, optik tuh suka nurunin hasil kita dengan alasan “nanti pusing” atau “ketinggian ini, terlalu terang nggak?” gitu kan? Padahal mungkin hasil pemeriksaan di optik NGGAK PRESISI jadi kamu pusing. Karena kacamata itu harus 100% clear and crisp alias harus presisi jadi mata kamu nggak cepat lelah.


Kata dokternya, datang ke optik untuk periksa mata itu selevel dengan datang ke tukang gigi saat sakit gigi. YA BENER SIH HUHU SUNGGUH MERASA BODOH :( Padahal kami apa-apa ke dokter banget cuma entahlah sotoy atas mata karena merasa saya seumur hidup berkacamata.


*


Dari BDR, muncul kan hasil untuk acuan pemeriksaan dokter. Lalu dicek ulang sama dokter. Ini namanya pemeriksaan subjektif ya. Karena ya kita percaya aja sama anak (ini kondisi anaknya udah bisa baca dan udah paham, kalau bayi aku nggak ngerti).


Jadi Bebe diminta lihat lagi huruf sampai 100% terlihat jelas. Dari jejeran 5 huruf paling kecil, harus bisa bener jawab 3. Abis itu disemprot tekanan mata untuk cek glaukoma cmiiw plis ini hanya mengandalkan ingatan JG, googling sih bener maafkan hahaha.


Setelah itu, keluar lagi dari ruangan dokter, kembali ke BDR dan ditetes matanya biar pupilnya membesar. INI PERIH KATANYA. Nangisss sampai pas mata sebelah kan dia nggak tau kalau seperih itu ya, masih santai mau ditetes. Pas mata sebelahnya NGGAK MAU BUKA MATA HAHAHAHA.


Ya udah dengan berbagai bujukan JG (YAY!) akhirnya mau. Lalu dipakein kacamata kaya di optik, ruangan digelapin, mata ditembak cahaya, dan matanya diperiksa dengan alat … YA NGGAK TAU ATUHLAH NAMANYA APA HAHAHAHA. Intinya kita tuh nggak bisa percaya gitu aja sama anak 6 tahun untuk bilang semua huruf clear and crisp kan, jadi diperiksa ulang secara objektif gitu. Kalau orang dewasa bilang ok clear itu ya otaknya udah ngong lah ya yang clear itu kaya apa, yang berbayang itu kaya apa, kalau anak-anak judgment mereka masih sulit dipercaya.


Keluarlah hasil pemeriksaan dari dokter dan ya beda sama optik. Nggak jauh masih di minus 3,5 tapi perintilan yang lainnya beda (silindris, dll), tapi ya harus diganti lagi lensa yang baru diganti belum seminggu itu hehehehe. 


Disuruh dateng lagi 4 bulan kemudian.


4 bulan kemudian yaitu bulan lalu minusnya jadi 4,5. Dalam 4 bulan naik minus 1. Apa kabar teori ibu 20 tahun naik minus 4? :’) Dokter mengingatkan kalau naik minus itu ya wajar lagi pandemi begini. Wajar sih wajar dok tapi nggak 4,5 juga kaliii. Lelah akutuh. 


Akhirnya dokter menyarankan dua opsi. Pakai tetes mata TANPA PUTUS selama 2 tahun untuk nahan minusnya atau pakai Ortho-K, hard lens yang dipakai setiap hari saat tidur malam untuk nahan pertumbuhan mata dan siangnya mata jadi normal!


Kami pilih Ortho-K, sudah 2x ke dokter spesialisnya, sudah fitting, tapi masih PO selama 6 minggu. Lihat testimoni anak-anak lain di YouTube sih bener-bener siang mereka nggak butuh kacamata sama sekali. Solusi banget sih menurutku jadi bisa bebas kacamata meski siang doang sambil nunggu cukup umur untuk lasik.


Demikian cerita minus mata. Lanjut nanti pengalaman Ortho-K ya!


-ast-

 







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Bebe ke Dokter Mata (2)

on
Tuesday, March 16, 2021
pengalaman ke dokter mata anak


MAAF GUYS UDAH MAU 2 TAHUN BARU UPDATE LOL. Jadi ini akan panjang dan akan langsung ada part 3 ya!


Bebe ke Dokter Mata: Part 1 | Part 3


Rada hectic ya dunia permataan anak karena Corona terus saking ~yah gimana lagi yhaaa~ jadi males update blog huhu padahal penting lagi untuk dibaca ulang di masa depan.


Okelah aku gali berbagai info setahun ke belakang karena sejak blogpost itu, Bebe udah 4 kali lagi ke dokter mata :)))))


PANDEMI DAN MATA BEBE


Pandemi mau ngapain lagi sih kalau nggak ngurusin gadget? Iya tau banyak ortu yang masih sanggup anaknya no gadget saat pandemi tapi tentu itu bukan aku :’)


Ya saya kan masih kerja, JG juga kerja, Bebe sama siapa kalau bukan sama Ryan? :’)



Ditambah sekolah aja sehari itu dari jam 8.30 - 14.30. Ada 2 kali break masing-masing 30 menit dan 1 lunch break. Bebe baru boleh main game jam 5 sampai saya dan JG selesai makan malam.


Intinya ni anak dari umur 0-5 tahun cuma ketemu screen saat weekend, JADI BERJAM-JAM SETIAP HARI KARENA PANDEMI! Bukan main atau nonton tapi juga kan sekolahnya di screen! *KESAL*


Oktober 2020


Bulan Oktober, hadir 1 email dari sekolah Bebe, tentang Kuesioner Skrining Kesehatan Anak Usia Sekolah. Di emailnya ada “Note: Dalam pengisian kusioner, mohon membaca petunjuknya sebelum mengisi.” Dikasih deadline 2 minggu untuk isi.


Dalam hatiku ya apalah sih notenya emang sesusah apa mengisi tentang kesehatan anak, dikasih waktu 2 minggu pula. LAH TERNYATA SUSAH MONANGESSSS. Sampai segala gigi harus difoto dari berbagai angle ya ampun stres.


Nah tentu ada kesehatan mata juga kan. Ditanya apa pake kacamata kah, punya kelainan mata kah, dll. Salah satunya, anak diminta menyebut jumlah jari ortu dari jarak 5 meter. Bebe dengan kacamatanya … nggak bisa jawab. MULAI PANIK DONG.


Karena seperti yang kusebut di blogpost pertama, minus 1 di umur 5 ya wajar karena mikirnya saya pun minus 2,5 di umur 10, sekarang umur 32 minusnya 7. Jadi dalam 20 tahun rata-rata naik minus 4 lah ya.


Kalau Bebe kaya saya plek, maka 20 tahun kemudian di umur 25 (asumsi minus 1 di umur 5) minusnya akan hanya kurleb 5, not bad kan? TAPI KOK BARU UMUR 6 UDAH NGGAK BISA LIHAT PAKAI KACAMATA YANG BELUM SETAHUN?


HUHU.


Nah di sini kesalahanku yaitu ketika minus terasa naik, yang dilakukan pertama kali apa? JELAS BUKAN KE DOKTER MATA TAPI KE OPTIK.


Seumur hidup ke dokter mata cuma ya tahun lalu itu bareng Bebe. Sebelumnya BELUM PERNAH :))))


via GIPHY


Saya udah pakai kacamata dari kelas 6 SD dan kalau kacamata nggak enak tuh ya ke optik. Ke ABC Optik di sebelah Toko Sami Jaya di Jalan ABC, haloh wargi Bandung, ring a bell? :')


Sampai detik ini masih kebayang itu toko, gelap-gelapnya, pengap-pengapnya, dengan ruangan tes mata di balik jam kayu besar. Kursinya aja masih inget banget YA GIMANA BERTAHUN-TAHUN PERIKSA DI SANA!


Cuslah kami ke Owl Kokas karena kacamata Bebe emang Owl dan nyaman banget. Diperiksa wah minusnya jadi 3,5 T_______T


Dibikinlah lensa baru tapi tetap nggak enak hati karena kok bisa dari 0-5 tahun minus cuma 1 tapi dikasih 6 bulan pandemi minusnya jadi 3,5. Gimana nggak kesal sama gen sendiri?


Langsung memutuskan udalah tetep ke dokter mata juga. Jadi ganti lensa iya, ke dokter mata iya (ngapain coba dipikir-pikir ya, mending ganti lensa setelah ke dokter mata aja).


Langsung cus bikin janji dengan dr. Florence M. Manurung, SpM(K). Ternyata pandemi gini sepi dan langsung dapet jadwal di weekend berikutnya.


Iya dr. Florence ini adalah dokter anak yang saya tulis juga di bawah blogpost pertama. Cuma waktu itu mundur karena antrinya SEBULAN untuk bisa bikin janji sama dr. Florence. Mikirnya (INGAT INI PEMIKIRAN SEBELUM PANDEMI) ya udalah toh udah ke dokter mata, anaknya udah nyaman pake kacamata, nanti-nanti lagi aja ke dokter mata anaknya.


Ya failed banget lah ukuran optik karena pada akhirnya ganti lensa lagi HAHAHAHA ZONK :)))


Lanjut ke part 3!


-ast-








LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Satu Bulan Resign

on
Wednesday, March 10, 2021


After 10 years of being a devoted employee, for once I feel liberated from the continuous stress of deadlines. Liberated is a strong word, I know, but as a true strategist (a.k.a. always have plan A to Z), having no stable earnings terrifies me.

Hari ini satu bulan yang lalu, hari pertama saya diam di rumah dan tidak terikat perusahaan mana pun sebagai karyawan.

Sebelumnya bener-bener nggak pernah kebayang sih saya berhenti kerja. Saya tipe orang yang bahkan nggak kepikiran pensiun karena nggak pernah bisa membayangkan diam di rumah tanpa kerja. Jadi ketika memutuskan ok resign, rasanya campur aduk.

Di satu sisi excited karena akhirnya saya bisa fokus jadi content creator dan speaker. Satu hal (dua hal sih LOL) yang selama ini dilakukan sebagai pekerjaan sampingan namun sebetulnya penghasilannya lebih besar dari gaji.

Mikirnya: Ya kalau sampingan aja gede, apalagi kalau jadi yang utama? IYA DONG LOGIKANYA GITU.

Tapi saya kan perencana banget dan rencana akan lebih gampang dijalankan kalau ada kepastian. Gaji adalah kepastian, tanpa gaji, gimana rencana saya? Apakah bisa tetap berjalan?

Jadi sejak Agustus 2020 saya mulai berencana. Mau ngapain aja jadi content creator? Mau bikin kelas apa aja? Pusinglah pokoknya hahahaha. Tapi ya udah soalnya perkara jadi full time content creator atau tetep kerja ini kaya ayam vs telor mana yang duluan?

Kalau content creator jadi sampingan, selamanya jadi sampingan. Mau bikin konten tiap hari pun nggak maksimal karena ya udah stres duluan sama deadline kantor. Mau nggak bikin tiap hari, ya nggak growing, segitu-gitu aja deh followersnya.

Sementara jumlah followers dan engagement itu ya ngaruh banget sama kepercayaan brand jadi gimana. Muter terus itu. Ambil risiko resign meski followers belum jutaan tapi bisa dikejar, atau nggak ambil risiko resign tapi followers makin lama naiknya?

RUMINATING. Mikirin satu hal terus menerus tanpa coba cari jalan keluar.

Sampai kantor bikin kebijaksanaan WFO jadi ok inilah trigger utamaku LOL. Tolonglah, WFH + SFH aja menangys ini lagi WFO + SFH. Bye people! :))))

Ketika bilang resign, Bebe sebel karena dia senang main di kantor. Katanya bingung mau main pingpong di mana karena saya resign. Macam ikut tiap hari ke kantor dan main pingpong aja dia.

JG malah excited karena katanya ya udalah ya mending kerja kaya gini, bisa tidur siang HAHA. Impian para corporate slave banget bisa tidur siang LOL.

Jadi satu bulan ini ngapain aja? Sebenernya ragu sih mau excited karena katanya dua bulan pertama masih honeymoon period lol. Tapi yang jelas saya lebih tenang. Lebih nggak sibuk karena sibuk buat saya hanya jadi salah satu tanda untuk stres.

Kapan pun Bebe minta bantuan sekolah, saya nggak stres lagi karena ya tinggal aja dulu kerjaan saya sekarang, toh deadlinenya diri sendiri. Tapi tetep sih beberapa kali (MAYAN SERING DENG LOL) dia juga diabaikan karena saya ada back to back meeting seharian. Ya minimal nggak setiap hari banget diabaikannya :)))

Saya juga bangun pagi lebih tenang dan nggak stres lagi, dulu rasanya selalu kaya dikejar-kejar sesuatu. Bisa bikin sarapan dan sarapan dengan tenang tuh surga banget HUHU.

Lalu bikin konten setiap hari dan mulai kerasa IG growth-nya lebih tinggi dari sebelumnya. YouTube pun hampir 1000 followers huhu senang. Bisa gambar di TikTok juga bikin tenang. Job … alhamdulillah ada dan udah bisa nutup gaji yang hilang sampai bulan April :’)

Saya nggak tahu akan lancar kaya gini sampai kapan jadi hidup bener-bener irit hahaha. Padahal penghasilan masih sama, tapi ada sense bahwa ini penghasilan tidak tetep jadi ngirit banget. Ada perasaan bahwa bisa jadi bulan Mei nggak ada sama sekali jadi sekarang harus ngirit hahaha.

Pun, saya nggak akan gengsi kalau pun harus kerja lagi karena misal suatu hari uangnya kurang hahahaha. Realistis aja ya, sekarang cukup, dana darurat cukup, kalau nggak cukup lagi ya kerja lagi dong.

Udah sih gitu aja update kehidupanku. Ayo dong subscribe aku di YouTube, follow aku di IG, TikTok dan Twitter. See you!

Subscriber isn't important, ibu. Making money is more important. -- Bebe, 6 tahun.


-ast-







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

2020

on
Friday, January 1, 2021


2020 akhirnya berlalu dan kalau dikenang gini nggak terlalu menyedihkan ternyata. 


Sebelum nulis ini baca ulang dulu blogpost rekap 2019 dan wah hectic banget 2019-nya! 2020 juga hectic dengan adegan yang beda hahahahaha.


Gimana ya, saya tuh termasuk yang pas awal Coronces di Wuhan (kayanya beritanya ke sini di bulan Januari kan ya?) tipe yang “halah kaya flu doang nggak sih bakalan sembuh sendiri” asli yang ngeremehin gitu astaga untung bukan Menkes atau presiden. 


Jadi ya slow aja. Resolusi punya, rencananya mau ambil kelas waris sama NLP, mau lanjut belajar mindfulness juga. Karena di antara kesibukan 2019 tuh saya emang niat belajar mindful jadi bisa-bisanya pas weekend naik grab sendiri ke studio untuk belajar meditasi wah gila banget kan. Saya yang ngomong mulu ini belajar diam 5 jam itu apa coba namanya kalau bukan persiapan pandemi? HAH!


Nulis ini sambil cek kalender selama 2020 dan jadi pengen rekap, ngapain aja setahun ini di waktu yang katanya disuruh pause?


Januari masih jadi speaker di event gede, di panggung, di Gandaria City. Masih sharing sama temen-temen mahasiswa LSPR. OFFLINE semua tentu ya gila dalam 10 bulan konsep sharing berubah gini jadi live IG dan webinar. Dari yang dandan tuh terkonsep dari jilbab, makeup, baju sampai sepatu jadi cuma baju jilbab + makeup doang. Bawahnya celana piyama, boro-boro sepatu.


Masih meet & greet sama Spongebob dan Patrick di Kokas, masih liputan dan wawancara. Masih ketemu dr. Meta Hanindita dan curhat berat badan Bebe lalu dimulailah perjalanan target naikin berat badan yang sungguh dimudahkan dengan pandemi ini. 


Februari di kantor masih persiapan x Beauty (yang tentu batal semua), masih nobar dan persiapan event-event kantor lah pokoknya. 


EH MARET KOK CUMA 2 MINGGU LOL.


Momen itu juga bisa disyukuri banget sih karena dari akhir 2019 Bebe tuh berkali-kali bilang mau dijemput nini ke sekolah. Tapi ibu sayanya seboookkkk banget sampai akhirnya baru bisa dateng tanggal 13 Maret dan jemput ke sekolah.


Tanggal 14 Maret masih jalan-jalan ke IKEA terus rencananya Senin pagi mau nganter dulu Bebe ke sekolah terus langsung cus pake travel ke Bandung. EH LOCKDOWN. Pulanglah hari Minggu langsung karena waktu itu mikirnya takut bener-bener lockdown kaya di luar negeri yang sama sekali nggak boleh ke luar rumah. NAIF BANGET YA LOL. Lupa andaaa hidup di negara dunia ketiga :)))


Meski awalnya meremehkan, pas lockdown pertama kali di Maret itu saya udah nggak ada niatan melanggar peraturan loh! Apalagi menganggap konspirasi yada yada. Nggak pernah terbersit sedikitpun kalau Covid tidak nyata kaya yang diributin orang-orang. Saya malah gelisah karena kemarinnya ke IKEA kan ketemu banyak orang ya duh takut banget. :(


Tapi namanya manusia itu kemampuan bertahan hidupnya adaptasi kan ya.


Dua minggu pertama itu kaya liburan tapi abis itu mulai linglung karena wah WFH sambil si Bebe di rumah tuh gimana caranya? Bikin jadwal ini itu, Bebe ngambek terus tiap pagi nggak mau Zoom meeting. Berat bangetlah, hiburannya cuma Google Meet sama temen-temen doang HUHU.


Tapi life must go on. Pas lockdown itu otomatis beberapa event di Maret batal, tapi juga baru minggu kedua, saya udah mulai webinar! 

Sambil survive di April, sambil live 2 hari seminggu di akun kantor, masih isi-isi event kantor orang lain (event financial planning buat karyawan gitu), dan masih linglung aja sih. 


Baru di Juni kayanya udah mulai adaptasi banget dan hehe mana 2020 harus pause apanya sih kok tetep sibuk gini :)))



Iya ada beberapa reminder tapi kebanyakan event kok itu hahaha. Butuh 3 bulan untuk kembali pada kesadaran bahwa pandemi ini entah ya sampai kapan, kayanya sampai Desember deh. Inget banget sempet story kaya gitu dan tau-tau sekarang udah Januari lol.


Di Juni juga saya mulai rutin nulis di IG feed untuk bikin multiple karena efektif ternyata. Shareable dan bisa diskusi di komen. Tapi tetep nggak setuju kalau dibilang microblogging KARENA NGGAK MICRO CUY. Itu tulisan 10 halaman kalau digabung jadi satu halaman tuh ya jadi satu blogpost. Pun masih juga live dan event, bisa paginya event, malemnya live. Dandan muluuuu. 


Di Juli, memberanikan diri ke luar rumah untuk syuting. Ada 3 syuting, NinjaXpress, Vidoran, dan Snapask semua di kantor mereka cuma selang seminggu. Betul sih sesuai protokol kesehatan tapi jujur deg-degan bangetnya tuh bikin nggak tenang. Jadi akhirnya saya nggak terima lagi job yang mesti ke luar rumah. Biarlah tolak-tolakin karena so-called protokol kesehatan kalau syuting kan tetep ramean ya dan itu tetep bikin nggak tenang, tetep lebih tenang diem di rumah hhhh.


Di Agustus harusnya nonton konser Kahitna yang beli tiketnya udah susah payah banget, udah macam konser KPop. Ya batal atuhlah masa iya jadi lol. Di Agustus ini juga seneng banget bisa bikin kelas Anak, Uang & Self Control bareng mbak Ayank Irma. Seru banget karena finance dan parenting adalah sesuatu yang aku sangat passionate, menggabungkan keduanya tuh bener-bener nggak bisa berhenti ngomong. 


Di titik ini saya udah SENENG BANGET NGOMONG DI KAMERA (HEHE EMANG KAPAN NGGAK SENENG?). Tapi bukan senang sebagai speaker loh tapi juga senang sebagai moderator! Karena sesering itu IG live bareng dokter, expert, wawancara terus, rasanya udah kaya jadi Najwa Shihab HAHAHAHAHA.


Ternyata saya senang sekali saya wawancara orang. Sesenang itu sampai masukin rate jadi MC/moderator di rate card HAHAHA. Dan ada aja job yang masuk, ya belum sering dibayar jadi moderator, tetep lebih sering jadi speaker. Jadi moderator so far baru 3x yang dibayar tapi tetap senang karena saya kan bukan MC profesional hehehe.


Agustus - September ini chaos banget karena ada event kantor 3 hari full dan gilanya saya juga tetep ambil kerjaan. Gimana ya, karena merasa semua di rumah, semua bisa dikerjain toh cuma diam saat tidur doang kan? Jadi waktu saya untuk leyeh-leyeh tuh cuma 1 jam pas makan malem nonton drakor sama JG. Sisanya kerjaaaaa.


Dan makin lama makin monangis sih sampai bikin pros cons resign hahahaha. Tapi ternyata survive juga. Berat tapi bisa. Nangis ya boleh, tapi dilakuin. Ngeluh, marah-marah, nggak masalah, tapi tetap sadar tanggung jawab. HUHU.


Ya udah tau-tau Desember. Tau-tau udah bertahan melewati entah berapa webinar, entah berapa IG live, entah berapa kelas WhatsApp dan Zoom keuangan. Bersyukur karena di 2020 ini job speaker semua udah terarah ke financial bukan parenting lagi. 


Nggak nyangka bisa diajakin jadi pembicara sama IndoPremier, OJK, Pegadaian, DJJPR Kemenkeu, Bank Indonesia, Bursa Efek Indonesia, Paragon Technology, Bareksa & OVO, tanpa pandemi nggak bakalan sampai di sini nggak sih aku karena semua orang jadi bikin event kan jadi aku bisa diajak. Ya realistis bikin event online lebih simpel dibanding event offline :’)))


OK ENOUGH ABOUT MY LIFE, MOVING ON TO JG.


10 bulan di rumah, ternyata kami nggak berantem HAHAHAHA. Kayanya cuma berantem 1-2 kali gitu deh sampai nggak inget karena se-chill itu sampai merasa naikin suara aja nggak perlu. Dulu kalau dipikir juga berantem tuh PASTI, PASTI BANGET karena capek.


Pulang kantor, kena macet, kesenggol dikit nadanya naik. Tambah PMS, udahlah kelar. Lah ini di rumah terus, makan enak, Bebe keliatan terus, nggak ada kekhawatiran berarti, nggak ada kelelahan berarti jadi ya alhamdulillah aman.


JG lagi suka kaset, tau-tau dia rekap kaset yang dibeli dan udah ada 186 kaset dengan entah berapa player deh, ada kali 7-8 gitu. Dalam waktu 3 bulan doang kayanya haduh. Jadi kerjaannya kalau weekend adalah hunting kaset sendiri, dengan saya yang wanti-wanti nggak boleh buka masker (padahal dia udah pake dobel ahahaha). Yah, coping mechanism ya udalah ya. 


Lalu kami juga nonton drakor bareng, nggak tau udah berapa judul yang jelas jadi quality time bareng lah selain ngobrol tentunya. Belum merasa butuh staycation, belum merasa butuh liburan, senang-senang aja kami di rumah.


Gongnya adalah, JG akhirnya ke psikolog tapi cuma dapet pencerahan 2 minggu abis itu kembali stres lagi. Memutuskan ke psikiater dan sekarang masih dalam proses pengobatan. Iya, ada diagnosanya cuma belum mau cerita sekarang karena belum selesai. TAPI WAH PERUBAHANNYA GILA SIH. Best decision 2020, wouldn’t ever happened if pandemic didn’t happen.


MOVING ON TO BEBE.


Bebe masuk SD dan nggak henti-henti bersyukur. Saya yang tadinya kesel karena hah apaan sih udah nabung dari hamil, tau-tau harus sekolah online! Tapi ternyata banyak banget dapet kemudahan dari sekolah sampai Bebe tuh berkali-kali bilang “I love my school sooooo much!”.


Ini kan dia lagi liburan ya. Di hari pertama liburan dia termenung, berkaca-kaca sambil meluk saya karena mikirin wah hari tanpa sekolah tuh gimana, bosan katanya. Sesenang itu dia sekolah. 


Milestone lain tahun ini adalah gigi copot! Gigi seri bawah dua copot setelah berminggu-minggu udah tumbuh giginya lalu akhirnya copot sendiri aja gitu. Baru tau kalau gigi susu tuh akarnya memendek sampai copot sendiri makanya darahnya nggak heboh dan nggak sakit. 


Lalu perkara berat badan yang pra-pandemi ini bikin stres ternyata lebih mudah dilalui saat pandemi karena 24 jam kami sama-sama. Tantangannya hanya di dia bilang nggak mau aja yang mana lebih mudah dilalui karena ya anaknya udah bisa diajak diskusi mau makan apa aja seminggu ke depan. Alhamdulillah juga berat badannya udah di garis kuning atas, tinggi badannya lagi ngejar dikit lagi untuk bisa ke ijo. 


Untuk ukuran anak yang setahun nggak naik berat badan sama sekali, pencapaian ini udah ok banget sih. Ya sebenernya nggak apa-apa ya nggak di garis ijo asal naik terus, tapi kalau bisa diusahakan di ijo kan ya jangan di merah banget gitulah.


Kalau ngomongin resolusi, 2020 tuh resolusi yang nggak tercapai cuma resolusi belajar aja. Yang pengen dibeli alhamdulillah kebeli semua (lagi emang realistis selalu sih pengen beli-belinya). Masih bisa nabung, masih bisa investasi, masih bisa ngakak-ngakak nonton drakor, masih dikasih kesempatan untuk bersyukur. 2021 udah tanggal 1 tapi belum bikin resolusi, mau pelan-pelan aja dijalani. Biarlah, kurang apa sih hidup ini memangnya? :')


So cheers for 2020! Untuk rencana-rencana yang berubah karena harus diam di rumah. Untuk hari-hari yang diduga akan sepi tapi ternyata ramai sekali. Untuk masa-masa di mana 24 jam bersama keluarga ternyata bisa-bisa saja dan me time di tengah malam jadi momen yang paling berharga. 


Terima kasih aku!


“Aku nggak usah vaksin (Covid) deh, aku nggak apa-apa nggak usah sekolah, ibu juga nggak usah ke kantor, kita pelukan aja setiap hari kaya gini,” — Xylo, 2020.


-ast-








LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!