-->

Image Slider

Showing posts with label tentang nikah. Show all posts
Showing posts with label tentang nikah. Show all posts

Mengevaluasi Pernikahan

on
Thursday, March 28, 2019
Pernah denger vow renewal?

Vow renewal adalah salah satu cara untuk mengingatkan kita tentang janji pernikahan (LITERALLY LOL). Iya bukan budaya Timur, meski entah Timur mana yang kalian maksud karena Jepang, Korea, China, Hong Kong, dkk kan yang Asia Timur, kita mah Asia Tenggara HAHAHA.

Vow renewal biasanya dilakukan dengan ceremony lagi, semacam nikah lagi gitu. Tujuannya untuk mengingatkan kembali komitmen, merayakan jatuh bangun keluarga yang sudah dilalui bersama, dan yaaa bebas aja sih mau merayakan apa. Yang jelas merayakan kebersamaan.


Apa amanat yang bisa diambil dari cerita vow renewal itu? *macam pertanyaan soal esai saat SD*

Yes, tentang mengevaluasi pernikahan. Dirayakan atau tidak dirayakan sih bebas aja tergantung masing-masing ya.

Pernahkah kalian mengevaluasi pernikahan?

Ada teman saya yang melakukannya setiap tahun, jadi setiap anniversary pernikahan, mereka membuat list apa yang sudah terjadi tahun ini, sebelah mana harus diperbaiki, juga bikin janji baru untuk jadi manusia dan pasangan yang lebih baik.

Tapi karena saya dan JG payah banget dalam hal ritual, tidak peduli pada ulang tahun dan anniversary, kami tidak mungkin melakukan itu karena ditanya nikah tanggal berapa aja suka lupa-lupa terus hahahaha. Boro-boro merayakan deh.

Akhirnya kami melakukannya kapan saja. Tidak pakai janjian “ayo kita evaluasi” gitu karena duh jadinya serius banget dan malah jadi males biasanya. Bingung sendiri gitu bahas apa ya?

TAPI kami selalu menyempatkan diri untuk membahas hal-hal tersebut KETIKA INGAT.

Misal nih, ada orang nanya JG kenapa tulisan saya selalu penuh kemarahan? Apa punya dendam masa lalu yang belum termaafkan? (inner child cenah bahasa masa kininya mah)

Abis itu JG jadi bilang “Iya kamu kok suka marah-marah sih, aku sedih banget loh kalau kamu marah”.

TINGTONG. Ini dia waktunya evaluasi.

Apa iya saya sering marah ke JG? Gimana marahnya? Apa penyebabnya? Kapan terakhir kali marah?

Setelah dirunut satu-satu, dingat-ingat detail kapan terakhir kali marah, apa penyebabnya, ternyata saya nggak sesering itu marah hahahaha. Bahkan bisa berbulan-bulan tidak marah atau berantem sama sekali.

Jadinya kalau berantem atau marah, sedihnya lebay. Jadi terpatri dalam hati *HALAH*

via GIPHY


Mungkin perasaan orang itu aja karena real life saya jarang marah-marah. Atau justru memang karena di dunia nyata jarang marah, saya jadi marah lewat tulisan. Yang mana biar aja yang penting kehidupan nyata saya tidak terganggu kan.

Atau minggu lalu, saya lagi annoying banget dan jadinya nggak mau dengerin JG sama sekali. Semua yang dia omongin saya patahin aja biar cepet dan nggak usah diskusi. Capek gitu.

Ya udah besoknya JG langsung cecer evaluasi lagi. Apa penyebabnya? Kenapa bisa gitu? Harus gimana? Apa yang salah? Dan seterusnya dan seterusnya.

Kuncinya satu: jangan baper-baper amat. Dikit boleh tapi jangan berlanjut lol.

Karena namanya orang terdekat kritik itu, baru 2 kata aja udah mau mewek rasanya hahahaha . Kaya “kamu kok nggak terima aku apa adanya” T______T Plis nggak saya doang kan yang begini.

Padahal emang sayanya lagi annoying parah dan emang itu harus diakui. HAHAHAHA. Diakui dan minta maaf aja. Nggak susah. Refleksi diri juga bisa bikin perasaan jadi lebih baik sih kalau saya. Sadar saya salah di mana, terus tiba-tiba hal-hal yang menyebalkan itu jadi menguap juga karena sadar itu salah.

Lalu teknisnya gimana? Ada yang pillow talk, ada yang bertukar surat atau email, tapi bagi kami, yang terbaik adalah lewat chat. Karena kalau lewat chat, responnya seketika tapi ekspresi nggak keliatan.

Ekspresi bisa bikin bubar soalnya. Misal dia ngomong satu kata terus ekspresi saya nggak terima, bisa jadi “tuh kan kamunya emang yang nggak mau denger”. Padahal ya mau banget denger, cuma kaget aja. Atau nggak, sayanya malah berkaca-kaca, selesai lah karena dia suka jadi nggak tega dan males duluan mau lanjutin.

Oiya, saya juga sempet nanya ke JG, kamu kok kalau ke orang lain pake caranya Dale Carnegie terus (from JG’s all time fav book “How to Win Friends and Influence People”) biar komunikasi lancar, ke aku kok nggak? Jawabannya:

“Kalau sama orang harus gitu karena ya masalahnya harus cepet selesai dan baik-baik, kalau sama kamu kan aku tau mau berantem gimana pun pasti kita akan baikan dan pelukan lagi”

CRYYYYY. Manis-manis pengen nampol karena kalau bisa diselesain baik-baik kenapa harus tidak baik-baik, malihhh.

Tapi tetep manis karena namanya juga comfort zone ya. Ini justru yang dibilang sebagai terima apa adanya dan jadi diri sendiri, karena kita tau apapun kondisi kita, dia akan tetep ada buat kita. NANGIS.

Kadang kita taking things for granted emang. Rasa-rasanya berhak marah, bentak, nyakitin orang terdekat karena kita tau dia nggak akan ke mana-mana. Padahal harusnya nggak begitu dong, orang terdekat juga harus kita jaga perasaannya karena kalau dia sedih kita juga ikutan mellow kan.

(AH BACA DULU INILAH. Keresahanku karena banyak yang bilang fake kalau menjaga perasaan orang lain: Menjaga Perasaan Siapa?)

Kami memang bukan panutan untuk perayaan anniversary pake liburan atau dinner berdua. Jarang banget nyempetin pergi berdua sampai saya pernah ngerasa gagal karena sering baca artikel yang bilang "sempatkan waktu ngedate berdua" karena kami nggak pernah sama sekaliiii. Pernah sih dulu beberapa kali cuti untuk nonton bioskop siang-siang, lunch berdua, tapi ... nothing's special lol.

Yang terpenting komunikasi lancar maka kami merasa baik-baik saja. Kalau kami merasa baik-baik saja kenapa juga harus nurut tips di artikel-artikel semacam itu ya kan. Yang jelas selalu evaluasi, review bersama apa yang kurang dan apa yang harus diperbaiki. Mungkin bisa jadi penting juga buat kalian.

Gimanapun, yang namanya pasangan menikah pasti punya harapan untuk terus berpuluh tahun lagi hidup bersama. Akan lebih baik kalau bisa bertumbuh berdua, jadi orang yang lebih baik lagi, biar bisa menjalani hidup tanpa beban dan penyesalan.

Yang sedang punya masalah sama pasangannya, ayo diingat-ingat lagi kenapa dulu mau nikah sama dia. Apa hal itu udah nggak valid lagi? Apa yang kalian perjuangkan?

Sekadar mengingatkan. LOL Dua kata paling nyebelin.

Bye!

-ast-

PS: Nulis tentang hidup mulu ya akhir-akhir ini karena Bebe makin gede kubingung mau nulis apa soal parenting hahahaha. Nggak apa-apalah ya yang penting nulis. Makasih udah baca sampai sini. :*




Sebuah Kisah, Patah Hati (Setelah Menikah)

on
Friday, August 17, 2018

Kutipan di foto itu jadi caption Instagram saya beberapa waktu lalu usai seorang teman meraung-raung dan berkali bicara “ingin mati”.

Iya, berulang kali bilang ingin mati karena sedang patah hati.

Kalau pertama kali berkenalan dengan yang namanya jatuh cinta saat remaja, kita pasti sudah terbiasa dengan senyum tak henti, perasaan sudah seperti musim semi, berbunga-bunga. Hidup rasanya aman sekali. :)

Sampai kemudian harus patah hati.

Menangis sesenggukan di kamar dengan tisu berserakan di lantai ala serial Hollywood. Duduk di bawah shower menyala pakai piyama. Tak tahu lagi harus bagaimana. Tak tahu lagi harus menangis di mana. Terlalu rapuh. Merana dan sengsara. Cuma ingin dia.

Rasanya benar-benar ingin mati.

Kata orang, cara terbaik untuk menyembuhkan patah hati adalah menemukan hati yang baru. Untuk kemudian jatuh cinta lagi, agar hati yang sempat hancur di bawah serakan tisu dan rintikan shower itu terasa tergenggam kembali. Untuk kemudian bisa berdenyut lagi dan melupakan si pematah hati.

Jatuh cinta lagi memang cara paling mudah untuk menyembuhkan patah hati. Ironis? Tidak, toh untuk patah hati juga kita harus jatuh cinta dulu kan?

Maka masa-masa sebelum menikah pun dilalui dengan pengulangan momen-momen itu. Jatuh cinta, patah hati, jatuh cinta pada orang baru lagi, patah hati lagi, jatuh cinta lagi, sampai akhirnya kita memutuskan untuk berhenti.

Jadi ketika jatuh cinta terakhir kalinya sampai ingin menikah, sebagian besar di antara kita mungkin langsung merasa aman selamanya.

YASSS, AKU TIDAK AKAN PATAH HATI LAGI! Ini kan jatuh cinta terakhirku, mari menua bersama!

Tapi hidup tidak dibuat sebegitu mudah, darling. Menikah tidak sesederhana jatuh cinta, ke KUA, dan tinggal bersama menata rumah sampai tua. Pernah terpikir kah kalian bagaimana kacaunya patah hati setelah menikah?

Iya, yang complicated dari cerita teman saya ini adalah dia sudah menikah. Orang yang membuatnya patah hati juga sudah menikah.

Rumit sekali. Karena jalan keluarnya tidak semudah saat kita remaja. Tidak semudah, cari saja orang baru untuk jatuh cinta lagi.

Istri di rumah bagaimana? Bisakah jatuh cinta pada istri yang sama lagi setelah jatuh cinta pada orang lain? Sayang bisa masih sama, tapi jatuh cinta lagi?

Sebut saja teman laki-laki saya ini dengan X. Iya dia laki-laki. Istrinya tanpa cela. Model-model istri yang foto Instagramnya bikin iri alam semesta. Ingat, foto Instagram tak menjamin hidup bahagia. Mungkin ia juga tak pernah sangka suaminya ternyata bisa jatuh cinta lagi. Untungnya ia tak tahu, setidaknya sampai hari ini.

Kemudian mari kita sebut perempuan yang terjatuhi cinta (ah, mereka sama-sama jatuh cinta) ini dengan Y. Y juga punya suami yang sempurna. Pengertian luar biasa. Fun fact: dibanding istri X, Y ini biasa-biasa saja. Ya, cantik tapi Instagramnya tak bikin iri alam semesta.

GET IT?

Keduanya sejatuh cinta itu. Jalan atau makan bersama berdua? Tidak, kalau pun iya tak pernah berdua. Berhubungan badan yang bikin deg-degan karena dengan orang baru? Tentu terpikir berkali-kali. Tapi tak sampai hati.

Our chemistry is not in a sexual way, katanya. Cinta bukan melulu tentang raga, cinta bisa hadir dan menyenangkan bahkan tanpa hubungan badan. Kalau tanpa seks saja mereka sudah sejatuh cinta itu, kita bisa apa?

Sesayang itu. :(

Perjalanan cinta mereka hanya karena chat yang terlalu nyambung. Chat biasa yang jadi kebiasaan menyenangkan dan langsung berubah jadi sinyal-sinyal kangen ketika sehari tak ada.

“Gue baru tau, ternyata bisa-bisa aja ya sayang sama dua orang di saat yang bersamaan.”

YA BISA. But well, we learn something new everyday, don’t we?

Jatuh cinta tidak kenal status pernikahan. Jatuh cinta ya jatuh cinta. Mau sebaik apapun menjaga, namanya cinta kadang datang di waktu yang sungguh tidak terduga.

Apa mereka salah? Ya mereka mengaku salah meski siapa saya sampai harus menyalahkan orang jatuh cinta? Apa menyalahkan bisa membuat keadaan jadi tenang? Tidak. Jadi biarkan saja. Jatuh cinta adalah hak mereka, kalau akhirnya patah hati ya sudah bisa apa kita selain menemani?

Berteriak salah pada orang jatuh cinta, seolah kita tak pernah jatuh cinta. Hati tak pernah salah, jatuh cinta bukan masalah, hanya waktu yang kadang begitu kurang ajar memecah belah.

Kenapa harus bertemu? Kenapa harus merindu?

Apa mereka menyesal? Yah, yang jelas mereka akhirnya berkali-kali berusaha berhenti, menyerah, berpisah. Nomor WhatsApp dihapus, Instagram diblock, tak perlu lagi bertemu muka, segala cara dilakukan agar bisa lupa.

Ternyata toh tetap tidak segampang itu.

“Gue sayang istri, sama sekali nggak pengen pisah sama dia. Nggak pernah kepikiran sedikit pun cerai sama dia karena gue juga nggak pernah kepikiran sekali pun nikah sama Y. Tapi kenapa ya nggak bisa lupain dia?”

Orang jatuh cinta tidak punya akal sehat katanya, tapi untungnya Tuhan masih menyisakan mereka sedikit logika. Jadi setelah berkali pisah dan kembali, bermeter-meter argumen, berhari-hari teriakan, dan berderai-derai air mata, mereka memutuskan benar-benar berpisah.

Stop hubungan ini karena mau dibawa ke mana? Untuk apa dilanjutkan? Hanya untuk ketahuan? Hanya untuk membuat hidup berantakan?

Bicara pisahnya gampang, kenyataan menghadapi hari-hari setelah perpisahan itu yang luar biasa sulit. Patah hati karena pacar selingkuh itu satu hal, patah hati pada selingkuhan karena mengingat kebaikan istri itu hal lain.

Mereka saling menyalahkan. Menyalahkan satu sama lain, menyalahkan diri sendiri karena membuka hati. Meski rasanya tentu, pasti, tak sengaja.

X makin tak karuan karena Y pun sama kacaunya. Berkali menelepon hanya untuk memaki, tak sanggup menata lagi hati. Katanya tak tahu lagi definisi kerja dan hidup tenang, di rumah hanya menangis semalaman. Tentu pelan-pelan, agar tak ketahuan. :(


Sampai dua bulan kemudian, hari ini. Belum ada kemajuan. Masih tercerai berai, dengan luka besar yang masih menganga.

Patah hati, sampai mau mati.

Seperti dipaksa berpisah entah oleh siapa dan dengan alasan apa. Seperti diminta patah hati tanpa tahu harus jatuh cinta pada siapa lagi. Seperti harus sakit sendiri karena sungguhlah tak bisa cerita rasa ini pada istri.

Saya hanya bisa bilang: sabar. Sabar, semua orang pernah patah hati sampai mau mati. Waktu menyembuhkan, tidak sekarang, tidak besok, mungkin bulan depan, mungkin tahun depan, mungkin 10 tahun lagi.

Selama kamu masih mau bersama istri dan anakmu, maka kamu harus bertahan. Jangan mati.

Jangan mati dan jangan sampai ketahuan.

Ada yang punya obat sembuhkan patah hati setelah menikah?

PS: Seperti fiksi? Nope, ini kisah nyata. Dicurhatin mulu soal ini pas lagi PMS kan jadinya ikutan ambyar. T______T

-ast-

Baca tulisan terkait tentang Selingkuh dan Pelakor.




Menikah Beda Kasta dan Urusan Mertua

on
Saturday, May 26, 2018
Dari postingan yang kemarin yang tentang sekolah dan kelas sosial, banyak sekali yang DM saya kalau dulu merasakan hal serupa. Gimana rasanya selalu minder di sekolah karena temen-temennya jauh lebih kaya. Jadi kasusnya beda kelas sosial di lingkungan sekitar kan ya.



Nah tapi terus ada yang DM beda sendiri. Pertanyaannya: gimana kalau nikah sama orang yang kelas sosialnya beda? NAH DARI DULU NIH PENGEN NULIS INI.



Karena selama ini saya selalu menekankan kesamaan PRINSIP sebelum menikah. Dan prinsip itu bisa didiskusikan serta disepakati. Makanya salah satu postinan saya yang terpopuler adalah 30 pertanyaan yang harus ditanyakan sebelum menikah. Tapi seinget saya, saya belum pernah bahas sedikit pun urusan beda kasta dalam urusan keuangan dan kemungkinan keribetannya urusannya sama mertua di kemudian hari.

Sebagai background, kalau dari sisi keluarga, keluarga saya dan JG nggak ada di kelas yang sama. Dulu keluarga JG tinggal di gang, hidupnya susah karena bapaknya dulu cuma tenaga honorer dan belum jadi PNS, nggak punya mobil apalagi liburan, bapaknya kerja keras biar 4 anaknya bisa sekolah dan harus kuliah. Keadaan mulai membaiknya kapan coba? Setelah JG kerja. :))))

Jadi dia kerja awalnya ya untuk keluarga banget. Beli mobil biar kakaknya yang lagi hamil bisa lebih nyaman kalau pergi-pergian, beli rumah biar mamanya bisa tinggal di tempat yang lebih tenang. Makin idola banget nggak nih sama JG? XD

Untungnya bapaknya masih kerja banget untuk sekolah adik-adiknya jadi ya kami nggak perlu biayain adik-adik serta keluarga JG. Keadaan keluarganya juga udah jauh lebih baik daripada dulu. Nah setelah kaya gini baru saya ketemu sama dia. Jadi ketemunya emang dia keliatannya udah "selevel" sama saya dan keluarga.

Nggak kok keluarga saya nggak kaya raya hahahahaha. Tapi emang saya nggak pernah hidup susah. Nggak pernah tau rasanya kurang uang untuk beli sesuatu atau kurang ongkos. Nggak punya mobil sendiri dan naik angkot banget kok ke sekolah dari SD sampai kuliah. Mungkin karena anak pertama ya, adik-adik saya sih merasakan kondisi keluarga yang jauh lebih baik. Adik-adik saya dianterjemput supir kalau les, saya sih dianterjemput ayah dulu soalnya belum punya supir pas saya kecil mah.

Anyway dari situ aja kalian bisa liat ya perbedaan itu sebetulnya bisa aja ada tapi jadinya nggak ada karena apa? Karena saya sendiri dari dulu takut pacaran sama orang kaya hahahahahahaha.

Dulu ada temen saya yang kaya banget. Tipe yang tiba-tiba mobilnya baru karena yang lama diambil paksa sama bapaknya. Diambil paksa karena dinilai sudah terlalu tua. Padahal mobil lama umurnya baru 2 tahun hahahaha.

Dia nggak naksir saya tapi itu semakin mengukuhkan bahwa saya nggak akan mau nikah sama anak orang kaya. Karena like duh, yang paling sederhana aja aku harus memakai baju apa saat ketemu keluarganya? Hidup sudah penuh masalah tak perlulah ditambah-tambah lol.

Intinya ya selalu berprinsip: find someone in your own league. Menikahlah dengan yang selevel dalam hal apapun termasuk ekonomi. Karena kalau nggak begitu repot ngejarnya. Kalian selamanya akan jadi "si miskin" dalam keluarga dan akan banyak hal yang nggak kalian mengerti.

Belum lagi hidup kalian mau nggak mau pasti akan ditanggung oleh salah satu pihak. Rumah dan seisinya dibeliin mertua, mobil dibeliin mertua, HP dibeliin mertua, dana pendidikan anak ditabungin sama mertua, belanja bulanan dibelanjain mertua, supir dan nanny digaji mertua, uang kalian utuh banget makanya bisa liburan ke mana-mana. Tapi yang terjadi berikutnya biasanya adalah, keputusan rumah tangga kalian juga pasti jadi ada campur tangan mertua.

Disuruh punya anak lagi nggak bisa nolak karena "loh anak pertama aja kami yang biayai kan?" meski tidak tercetus tapi mungkin tersirat. Mertua minta apa pasti nggak bisa nolak. Selalu ada urusan balas budi kan?

DAN INI BISA SAJA TIDAK TERJADI LOH YA. Saya nggak mau generalisir juga. Pasti ada mertua kaya raya sempurna di luar sana yang nggak mau ikut campur urusan rumah tangga anaknya padahal ikut biayain semua. Cuma kebetulan nggak ada temen saya yang begitu hahahaha.

Temen-temen saya yang mertuanya lebih kaya pasti ikut campur. Karena mereka menganggap dengan ngasih uang dan ikut campur sebagai bentuk sayang. Ikut campur nggak selamanya salah, tapi sekalinya salah (masa manusia nggak pernah salah?) gimana mau ngeluh atau komplain sih orang selama ini hidup kalian dicukupi kan?

Sebenernya hal ini nggak akan terlalu repot kalau kalian tipe nrimo. Oh kata suami gini, oke nurut. Oh kata mertua gini, oke nurut. Tapi kalau tipenya kaya saya yang selalu punya pandangan sendiri dan nggak mau diganggu gugat orang lain? Ya repot. Makanya sampai sekarang nggak deh berusaha minta uang atau bantuan apapun dari orangtua dan mertua. Termasuk bantuan jagain Bebe karena ya, kami hidup dengan cara ingin hidup dengan kami sendiri apapun itu.

Jadi ya, menikahlah dengan yang sekasta kalau kalian ingin hidup tenang. Menikahlah kemudian cari uang sendiri kalau kalian ingin pernikahan yang benar-benar diputuskan berdua tanpa campur tangan pihak lain.

Oiya, saya juga jadi inget beberapa waktu lalu share soal KPR di Instagram Story. BANYAK BANGET BANGET BANGET yang bingung soal KPR karena DP-nya dibayarin mertua. Mau dijual bilangnya bingung, mau diterusin kok ya nggak betah dan pengen pindah, dan lain sebagainya. Intinya jadi serba bingung karena sejak awal keputusannya tidak hanya berdua.

Kalau kalian tidak masalah dengan hal-hal seperti ini dan memang bertujuan pengen hidup enak meski tidak punya suara, go ahead lah cari pacar kaya. Tapi kalau kalian seperti saya yang ingin ngatur hidup sendiri, mending cara pacar selevel dan kerjalah sendiri. Definisi hidup bahagia kan beda-beda ya buat semua orang. Ada yang lebih suka banyak uang meski sebenernya gretekin gigi tiap ada urusan keluarga, ada yang lebih suka damai-damai aja meski mau liburan aja nunggu anak masuk SD dulu lol.

Demikian. Semoga mencerahkan bagi kalian-kalian yang masih bingung soal pernikahan. Next saya mau bahas gimana mensiasati gaya hidup yang beda bagi suami istri. Istri boros suami hemat atau sebaliknya. NANTI YAAA.

Selamat weekend!

-ast-




Menularkan Kebahagiaan

on
Monday, April 9, 2018

Jadi saya lagi baca-baca tentang how to raise a well-adjusted child terus nemu ini. Selesai baca langsung senyum banget karena merasa ini saya dan JG, kami berdua begini banget uh sungguh love. Oiya saya bacanya di sini.


Ya saya bisa senyum karena hidup saya rasanya lagi lurus-lurus aja sih. Lagi nggak ada masalah berarti, nggak lagi down, nggak lagi inferior, ya lagi kalem-kalem aja.

Sama JG juga udah lama nggak berantem. Emang jarang juga berantem sih, tapi ada masanya suka rasanya "panas" terus. Senggol bacok terus. Gampang tersinggung dan apa-apa dimasalahin. Sekarang lagi nggak hahahaha. Meskipun saya masih inget sih terakhir dia naikin suara karena apa lol. Saya "pendendam", saya inget kami berantem karena apa aja HAHAHAHA.

Satu hal, saya dan JG tipe yang bisa kalem kalau salah satu di antara kami kalem dan tidak terpancing emosi. Jadi misal macet banget mau ke Bandung, udah 4 jam masih aja di Bekasi. Kalau JG udah mulai ngomel TAPI saya tetep kalem, dia biasanya jadi ikut kalem juga.

Atau lagi cari parkir di mall terus nggak dapet-dapet. JG biasanya kesel duluan nih (yaiya soalnya dia yang nyetir), nah kalau saya kebawa kesel juga ya jadi kesel sama-sama. Tapi kalau saya kalem dan bilang "kalem ajaaa muter-muter dulu nggak apa-apa kok kan nggak buru-buru" pasti dia juga nggak jadi marahnya.

Sebaliknya, kalau JG udah mulai ngomel dan saya ikut kebawa panas, ah sudahlah pasti berujung derita lol. Ya berujung berantem dong udah pasti. Maka dari itu, kekaleman dan kekesalan itu menular banget lho!

(Baca: Rumitnya Menikah)

Makanya kalau kalian ngerasa sama suami rasanya kok ya berantem terus, ya mungkin waktunya bercermin apa jangan-jangan kitanya yang lagi panas juga? Kerasa kan saat-saat PMS itu punya risiko berantem lebih tinggi dibanding kalau lagi nggak PMS? Ya itu dia, karena kita panas, disenggol dikit nyolot, ya yang nggak sengaja nyenggol juga jadinya kebawa nyolot deh.

Coba deh rem sedikit, nggak selalu harus menang kok. Meskipun kita bener, kadang yang dibutuhkan adalah ya diem aja nggak usah ngotot. Kalau ngotot tar berantem, padahal berantemnya masalah receh. Ah buang-buang energi aja.

Jadi untuk orang-orang yang judes kaya saya, PENTING sekali punya pasangan atau sahabat yang happy cenderung hiperaktif untuk membuat suasana selalu "hidup". Kebayang istrinya judes kaya saya terus suaminya juga senggol bacok. Kelar lah kehidupan, berantem terus pasti.

Tapi hal ini nggak berlaku waktu pas masih pacaran HAHAHA. Saya adalah pacar annoying, demanding, dan clingy. Ya bodo amat, kalau nggak suka tinggalin aja lol. Kalau nggak sanggup handle saya pas pacaran, maka nggak berhak terima saya setelah nikah. ASEK. KESEL NGGAK LO SEMUA BACANYA? XD

(Baca: Pacaran Bertahun-tahun, Nikah atau Putus?)

Salah satu yang saya suka dari screencapture di atas adalah kalimat terakhir:

Being well-adjusted has just about everything to do with teaching yourself that the world is not about you.

Tau kan contoh cerita keretakan rumah tangga yang paling banyak diceritakan ulang: berantem karena hal-hal kecil, suami mencet odol dari tengah mulu, istri maunya dari belakang dong biar rapi.

Atau ada kisah, suami NGOMEL karena istri salah potong wortel. Istri potong lingkaran sementara suami maunya setengah lingkaran. Saya jadi pengen pukpuk suaminya dan nanya "punya masalah hidup yang berat banget ya? MASA GITU AJA DIMASALAHIN DAN NGOMELIN ISTRI SIH?!"

Karena ya, ngapain atuh lah gitu aja marah. T_____T Mengapa karena hal kecil kaya gitu berantem. T_____T Kan nggak perlu ya.

Kalau masih merasa perlu marah, tandanya kalian belum well-adjusted dan sesuai quote di atas: nggak semua hal itu tentang kalian. Nggak semua hal ADA HUBUNGANNYA dengan kalian. Dunia nggak berkonspirasi untuk bikin kalian apes, nggak usah geer HAHAHA.

(Baca: Suami yang Nyebelin)

Nah urusan kekaleman menular ini juga berlaku ketika menghadapi anak loh! Kenapa saya dan JG suka ketawa-tawa aja kalau Bebe ngamuk, ya karena kami satu suara untuk tetap kalem saat Bebe ngamuk. Jadi ya kami paling ngetawain aja karena muka Bebe kalau nangis itu lucuuuu banget. Menghayati gitu. #shamelessmom

Saya paling sebel soalnya kalau denger cerita istri dimarahin suami karena anaknya jatoh atau kejeduk. Ya udah sihhh, emang itu istrinya sengaja mau anaknya jatuh atau kejeduk? Emang kalau dijaga suami DIJAMIN tidak akan jatuh dan kejeduk hayo?

Demikian. Daripada banyak ngomel dan menularkan kesebelan, mending ketawa-ketawa dan tularkan kebahagiaan! Ayo kalem sama-sama biar seluruh dunia ikut kalem juga!

-ast-

(Baca postingan tentang nikah lainnya di tag TENTANG NIKAH)




Pertemanan Orang Dewasa

on
Monday, September 25, 2017

Urusan teman ini pernah saya bahas singkat di Instagram sih. Betapa makin tua, makin sedikit punya temen. Saya sih sadar banget, I'm a bad friend, shitty one, worst ever lah. Makanya temen saya sedikit banget simply karena saya jarang sekali bisa meluangkan waktu untuk mereka.

Oke kalau temen mungkin banyak ya. Temen kantor, temen kuliah, temen deket yang masih suka pergi-pergi bareng gitu. Sahabat lah yang sedikit banget mah. Nggak punya malah hahaha. Sampai tahun lalu, saya nggak punya sahabat sama sekali. Sahabat saya ya JG uwuwuwuwu, bener-bener pertemanan orang dewasa lol.

Baca punya Gesi. Dia abis nyerocos curhat soal temen terus ngajakin nulis lol:

Sebelum ngobrol intens sama Nahla, Mba Windi, dan Gesi sih selama beberapa tahun saya beneran nggak punya sahabat cewek yang bisa saya curhatin segala hal yang literally EVERYTHING tanpa harus nyembunyiin apapun. They know my dark side as much as JG does. I can talk about the past, my family, kids, all without being judged.

Untungnya mereka bertiga punya latar belakang sama, punya point of views mirip-mirip soal kehidupan, level sosial ekonomi sama, jadi mau ngomongin apa juga nggak pernah ada yang tersinggung. Makanya betah-betah aja sahabatan sama mereka. Bisa begini juga karena mulai temenannya pas udah sama-sama dewasa kan.

Kenapa nggak punya sahabat sih?

Dulu mah punya lah. Selama sekolah sampai kuliah pasti punya lah BFF gitu. Cuma seiring berjalannya waktu, saya yang memberi jarak sama mereka padahal merekanya masih suka rajin ngajak ketemuan. Huhu. Maaf ya kalian kalau baca ini. T_______T

Iya saya memberi jarak karena saya ngerasa nggak sanggup untuk maintain begitu banyak orang untuk tetap dekat sama kehidupan saya. Waktu kosong saya sedikit sekali, cuma pulang kerja (yang selalu terburu-buru karena harus jemput Bebe) dan weekend.

Weekend harus dibagi sama beres-beres kerjaan rumah, main sama Bebe, kadang-kadang event juga, dan ... tidur. Iya capek banget lah sekarang tiap hari baru nyampe rumah jam setengah 8 malem, kalau juga harus janjian sama orang makan siang hari Sabtu itu rasanya kaya nggak tenang bangun siang.

Dan perlahan siapa yang lebih penting pun terbentuk dengan sendirinya kok. Temen-temen yang masih ketemuan sampai sekarang adalah temen-temen yang ngerti kalau malem saya cuma bisa ketemu di mall deket daycare Bebe. Mereka yang nggak pernah maksa ketemu dan kalau ketemu pun mau sambil direcokin anak whatsoever.

(Baca: Tips Survive di Jakarta Tanpa ART dan Nanny)

Apalagi kalau di Bandung.

Duh saya di Bandung seringnya cuma dua hari plis, nggak bisa ninggalin Bebe sama ibu saya pula karena Bebe maunya sama saya lah. Masa di Bandung udah mah cuma dua hari terus satu harinya saya harus pergi sama Bebe demi ketemu temen? Kasian ayah sama ibu ingin main sama Bebe.

Kalau pun di Bandung 3 hari karena long weekend, ya satu harinya di rumah mertua lah. Kan mertua juga mau ketemu Bebe. Kalau di Bandung lebih dari 3 hari baru biasanya saya mau diajak ketemuan. Tapi ya jarang-jarang juga sih di Bandung selama itu karena masa mau cuti? 

Sungguh complicated ya.

Karena saya udah ngelewatin cukup banyak hal soal urusan pertemanan ini. Ada yang saya nggak tau apa-apa tiba-tiba di unfriend di semua lini, saya confront langsung nggak pernah berbalas. Patah hati sih, tapi ya udah. Ada yang bilang saya katanya "pura-pura" teman. Padahal saya nggak ngerti juga masalahnya apa, nggak ngerti kenapa mereka jadi ngejauhin dan nggak nganggep temen lagi. 

Mungkin karena sayanya juga thinking banget ya. Jadi gampang bikin orang tersinggung karena semua diukur pake logika, bukan pake perasaan. 

Saya males harus basa-basi model Cinta di AADC gini:

Temen: "eh ketemuan dong"
Orang lain: "iya dong ayo kapan dong" (padahal males dan nggak niat sama sekali)
Temen: "iya lo bisanya kapan"
Orang lain: "iya kapan ya duhhh"
Temen: "lo deh yang nentuin"
Orang lain: "ya udah tar dikabarin deh sorean" (terus ngilang pergi ke Kwitang sama Rangga lol)

GUE NGGAK BISA GITU. Kalau mau ketemu pas bisa ya bilang bisa, kalau nggak mau yang bilang nggak mau detik itu juga. 

Temen: "eh ketemuan dong"
Saya: "yah nggak bisa nih lagi capek banget Bebe daycarenya jauh"

END. Nggak perlu ada basa-basi kapan dong kapan dong. Kadang kelamaan mikir pengen basa-basi tapi seringnya malah kelupaan bales chatnya. Hhhh. Nggak heran kan saya nggak punya temen.

Tapi ya saya move on dan sadar bahwa pertemanan itu sesuatu yang fragile banget. Ada yang memang hilang seiring waktu, ada yang mati-matian kita usaha untuk mempertahankan padahal sebetulnya tidak perlu. Ada yang bisa retak *krak* tanpa kita tau alasan jelasnya. 

Sekarang saya percaya bahwa teman yang benar-benar teman tidak perlu dipertahankan. Mereka akan terus ada di sekitar kita tanpa kita usahakan. Mau ketemuan nggak usah pake rencana ini itu tau-tau jadi, makan malem dadakan tau-tau bisa. Atau malah level Gesi yang nggak janjian ketemuan pun tau-tau lagi sama-sama di Sency hahahaha.

Dan memang ada teman-teman yang tidak perlu diperjuangkan. Apalagi kalau temen zaman ABG dulu, we're different person back then, things change. Nanti yang diomongin masa lalu lagi, kalau kita udah nggak begitu kemudian dipandang sebelah mata dan dibilang "wah lo berubah ya?"

Yaiya berubah lah. Kan tambah dewasa, tanggung jawab makin banyak. :)

Atau bisa juga karena dulu rasanya nyambungggg banget sama segala hal. Sekarang ketemu udah gede gini kok ya ngobrol apa-apa nggak nyambung. Udah nggak share value yang sama lagi, jadi bingung sendiri kok dulu bisa temenan ya?

Jadi kalau sekarang ngebayangin, ih kangen ya sama si A padahal dulu ke mana-mana sama-sama banget, kok sekarang dia jauh ya? Ya wajar. Karena itu kan DULU.

Dengan lingkungan dan pola pikir kita yang dulu, kita BFF sama dia. Dengan lingkungan dan pola pikir yang sekarang, ya nggak nyambung lagi ternyata temenan sama dia. Nggak bisa kita berteman setelah jadi dewasa sama dia.

Apalagi kalau sahabat-sahabat kitanya toxic. Udalah jauhin aja nggak perlu tetep jadi sahabat "demi masa lalu, dulu dia doang yang ngertiin gue". Demi masa lalu terus bela-belain bikin repot hidup yang sekarang. BIG NO. Makasih aja atas semua kenangan seru dan cerita masa lalu, sekarang kita hidup masing-masing yaaa.

Oke gitu aja. Kalian gimana? Masih punya sahabat? Atau menganggap suami dan anak serta teman kantor sebagai sahabat? Share yuk!

-ast-




Memutuskan Menetap

on
Friday, September 15, 2017

Jadi ceritanya, saya dan JG lagi galau pengen pindah rumah. Galau pertama karena insecure abis kemalingan, galau kedua adalah sekolah Bebe yang astaga jauhnyaaaa.

Sori ralat, macetnyaaaaa. Sampai rumah jam 8 mulu nih jadinya. Iya sih kami masih mengusung prinsip "biar macet asal sama-sama" tapi insecure banget beneran gara-gara rumah kecurian dua kali. Kaya ngerasa "oh mungkin ini udah saatnya kami pindah" gitu.

Karena kalau secara jarak sih sebenernya nggak ngaruh amat ya, sama-sama searah dari kantor JG mau pulang. Cuma macetnya jadi combo banget soalnya kalau daycare lama tuh bisa lewat jalan tikus gang-gang sempit yang jarang dilewati manusia. Kalau sekarang jalannya bener-bener jalan utama yang yaahhh, dilewati semua mobil hhhh.

Kenapa atuh pilih sekolah di situ bukannya cari yang deket aja?

Duh ya baru setelah urusan sekolah ini saya jadi ngerti bahwa jarak dan waktu bisa dikompromi tapi sekolah yang bagus tidak. Artinya (untuk sekarang) mending jauh tapi sekolahnya bagus, daripada deket tapi sayanya nggak sreg sama sekolahnya.

Kecuali memang nggak punya pilihan, misal kami nggak punya mobil, atau saya dan JG lembur terus gitu misalnya. Ini kan nggak, kami masih bisa anter jemput tanpa ganggu kerjaan, dan Bebe bisa tetep nyaman juga bobo atau main sama saya di mobil. Dan since dia udah ikut rutinitas kami kerja sejak umurnya 3 bulan, dia kayanya hepi-hepi aja nggak capek gimana.

Karena pilihan sekolah yang mending itu nggak ada. Bukannya ada, tapi kami nggak mau kompromi. Emang nggak ada aja. Sekolah yang sekarang ini yang terdekat. Beratnya hidup di Jakarta lol.

(Baca: Memaknai Pilihan)

Dan urusan pindah rumah ini bikin saya mikir, untung ya ngontrak jadi bisa pindah kapan aja. Kalau rumah sendiri gimana?

Kalau di kampung halaman (in our case, Bandung) sih pasti masih kebayang karena tau persis areanya, lah di Jakarta? Buat kami yang asli Bandung, gimana cara memutuskan untuk menetap?

Karena nggak mampu beli rumah di Jakarta, gimana cara kami memutuskan akan tinggal di Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, atau mana? Kenapa pilih itu? Kalau pindah ke Bogor misalnya, apa siap selamanya jadi orang Bogor?

AAKKK NGGAK SANGGUP MIKIRINNYA.

Kaya kalian dateng ke satu area yang nggak pernah kalian datengin sebelumnya, terus tiba-tiba harus tinggal di sana, dengan neighborhood yang sama sekali asing, nggak tau harus jajan pempek di mana, nggak tau harus ke supermarket yang mana.

DAN INGAT KOMITMEN KPR (MISAL) 15 TAHUN DI SANA. Yang artinya lo harus tinggal di sana terus-terusan sampai anak lo SMA. OMG SEREM NGGAK SIH. Kaya orang asing dipaksa adaptasi gitu.

Stres abis mikirinnya hahahahaha. Kalau nggak betah gimana? Kalau tetangganya rese gimana? Kalau ternyata nggak betah karena alesan apapun gimana? Dibetah-betahin aja kan rumah sendiri, kalau rumah sendiri kerasanya beda kok, kata orang gitu.

Tapi tetep euy, belum punya nyali. Bahkan untuk sekadar, survey yuk ke daerah A cari-cari tau harga rumah. Itu aja nggak berani. Nggak berani karena bingung A itu daerah YANG MANA? Apakah kita akan membangun rumah di sana dan jadi orang sana sehingga di masa depan Bebe akan pulang bawa istri dan anaknya ke rumah kami di kota itu?

Karena di otak itu kalau pulang kampung ya ke Bandung.

Makanya sampai sekarang, saya dan JG belum memutuskan akan menetap di mana persisnya. Well untungnya sih udah punya rumah di Bandung ya jadi nggak diresein orang dengan "beli rumah kali jangan main terus". Ya ini udah, cicilannya tinggal 7 tahun lagi, udah setengah lewat.

Untuk sekarang kami kaya go with the flow gitu. Apalagi setelah konmari-an ya, barang jadi sedikit banget jadi kalau pindah pun rasanya nggak akan stres-stres amat sama packing.

(Baca: Beres-beres Rumah ala Konmari)

Saya juga mikir apa karena kami tinggalnya di Jakarta ya jadi takut nggak betah dan bawaannya curigaan banget. Kalau misal tiba-tiba harus permanen tinggal di negara yang proper segala-galanya sih MUNGKIN bakal dibetah-betahin aja toh dapet "sesuatu" juga dengan ngebetah-betahin diri.

"Sesuatu" as in jalanan rapi, penduduk yang educated, jadi nggak serobot antrian atau buang sampah sembarangan, ya yang nggak bikin lo sakit kepala lah. Tapi kan ini Jakarta dan kota satelitnya, di mana semua jenis manusia ada. Dari yang nggak berpendidikan, ke yang pendidikannya tinggi banget sampai yang pendidikannya tinggi banget tapi kaya nggak ada otaknya gitu juga lengkap.

Don't get me wrong, saya happy kok tinggal di Jakarta. Karena nggak tau mau kerja apa di kota lain hahahahaha. Tapi ya itu, sebetah-betahnya tetep nggak berani bilang "oke karena gue seumur hidup akan kerja di Jakarta, maka gue akan beli rumah di Depok! Ayo kita survey rumah di Depok!" gitu misalnya. Nggak berani bangeeettt hahahaha.

Kenapa ya? Mungkin karena deep down inside kami cinta Bandung. Kalau pun harus meneguhkan hati selamanya akan tinggal di mana, ya di Bandung lah.

Dan mungkin juga karena Bandung lebih nyaman dibanding Jakarta ya. Maksudnya kalau kampung halaman kalian di kampung banget atau nggak nyaman ditinggali kan ya pasti lebih pilih Jakarta lah. Kalau Bandung kan kota besar juga, nggak jauh-jauh amat dari Jakarta, kerjaan juga pasti ada bagi kalian yang mau berusaha lol.

Jadi ya, apa alasan kalian memutuskan menetap di kota baru yang bukan Jakarta dan bukan kampung halaman? Share dong, siapa tau aku terinspirasi!

MAKASIHHHH!

-ast-




Pacaran Bertahun-tahun, Nikah atau Putus?

on
Monday, September 11, 2017
PUTUS! HAHAHAHA.

(ini typo harusnya kart bukan ksrt tapi kumalas edit lagi jadi anggap aja majalah, kalau udah terbit ga bisa diralat HAHAHA)

Iya jadi saya beberapa kali denger orang curhat atau bahkan komen di blog ini dengan pernyataan “aku udah pacaran x tahun, tapi masih nggak yakin mau nggak ya nikah sama dia?”

Ya putus lah kan udah jelas tuh nggak yakin. Ini menurut kakak ini loh ya, yang pernah pacaran “cuma” 5 tahun terus putus. Hahahaha. Saya kalau pacaran emang lama-lama banget deh dari dulu, sama JG malah paling sebentar.

Alkisah zaman kuliah, saya baru putus sama pacar waktu SMA padahal pacarannya udah 5 tahun. Sebagai anak yang disenggol aja curhat, ceritalah saya sama dosen. Dosen ini perempuan, umurnya 30 something lah waktu itu. Pinter, S2 (yaiya kan dosen ah), dan enak diajak ngobrol. Beliau bilang apa?

“Tenang aja cha, saya juga pacaran dari SMA 11 tahun putus kok. Nikah malah sama temen S2,” katanya kalem.

Wow wow sebuah pencerahan!

Kenapa pencerahan, karena dari dosen, dari cerita saya sendiri, dari cerita orang-orang, semua bisa ditarik benang merah yang sama. Apakah itu?

(Baca: Rumitnya Menikah)

Gini, pacaran lama itu ada dua macem:

🙋 Yang bertahan pacaran karena memang saling dukung dan berkembang sama-sama. Dari tahun ke tahun tetep punya selera yang sama, tetep bisa diskusi banyak hal, tetep ngerasa bahwa oiya she/he’s the one untuk cerita segalanya. Nggak terbebani dengan apapun.

🙆 Yang bertahan pacaran karena terbiasa. Ya maklum kan bertahun-tahun ketemu orang yang sama, semua keluarga udah kenal, sama temen udah diajak nongkrong bareng karena udah kenal lama juga, sampai tempat makan favorit aja udah ngerti kalau kita couple banget. Yang ini nih yang suka bikin blur, emang beneran cocok apa karena kebiasaan aja sih apa-apa sama dia?

Kalau kalian masuk tipe yang pertama dan nggak pernah punya masalah (misal salah satu pernah selingkuh), maka bolehlah dipertimbangkan untuk menikah. Tapi kalau pernah ada masalah yang bikin sakit hati banget sih jangan ya, nggak enak kalau pas akhirnya nikah kepikiran terus seumur hidup. Nanti malah jadi bahan diungkit kalau berantem.

Nah tapi kalau kalian masuk tipe yang kedua, putus ajalah udah. Karena ketika pacaran bertahun-tahun, ada pasangan yang tanpa sadar tetap orang yang sama saat pertama kali jadian.

JRENG!

Misal saya pacaran pas SMA putus pas kuliah, sampai udah kuliah pun berantemnya tetep berantem ala anak SMA gitu. Nggak jadi dewasa sama-sama. Mirip-mirip kaya kalau kita ketemu geng SMA, becandanya itu tetep becanda SMA banget kan, nggak jadi becanda orang umur 30 tahun? Iya nggak?

Itu pun yang terjadi pada dosen saya, pacaran 11 tahun dari SMA, masalah yang muncul dan diberantemin itu masih sama dengan masalah waktu SMA. Padahal ceweknya udah S2 kan. Akhirnya ya nikah sama temen S2 karena secara pola pikir mereka jadinya setara.

(Baca: Alasan Cerai: Beda Prinsip)

Iya urusan pola pikir juga jadi masalah buat yang pacaran lama. Dalam 5 tahun misal cowoknya ya kalem aja hidup nggak ambisius, sementara ceweknya udah dapet beasiswa kuliah ke luar, volunteer ini itu, akhirnya si cewek sampai pada titik “ih kok nggak nyambung lagi ya ngomong sama kamu” TAPI DALAM HATI NIH BIASANYA NGOMONGNYA.

Karena udah pacaran lama banget jadinya kaya nggak mungkin gitu putus cuma karena nggak nyambung doang. Lah kan bertahun-tahun nyambung aja? Jadinya dragging pacaran terus dan ketika masuk usia nikah muncul kebimbangan “nikah nggak ya sama dia?”

JANGAAANNNN. Hahahaha.

Atau ada juga masalah yang kayanya nggak kerasa besar pas pacaran tapi bisa jadi besar banget kalau nikah. Contoh: calon mertua. Pas pacaran mah kayanya baik-baik aja nih si tante meskipun ya kadang bawel dikit sih segala dikomen tapi cuek lah kan jarang ketemu juga. Atau keluarganya banyak yang gengges nih, suka nyindirin fisik, tapi nggak apa-apa lah kan ketemu paling setahun sekali pas lebaran doang.

Hei hei hei tidak seperti itu anak muda.

Si tante nanti akan jadi mama dan punya mama mertua tidak bawel itu adalah kunci kebahagiaan utama. Dan keluarga yang gengges itu akan nomer satu paling heboh bahkan di urusan nama anak lah, ASI kita kurang lah, anak kita kekurusan atau kegendutan lah, rese. Demi ketenangan hidup mending pikir ulang deh. Karena nikah itu nggak selamanya urusan pribadi, sebagian besar adalah urusan keluarga.

(Baca dulu ini makanya: Menikah untuk Siapa?)

Ini saya denger dari orang juga sih tapi kalau punya pacar, ingatlah selalu pada 3 masalah: orangtua, agama, LDR. Kalau kalian cuma ngalamin 1 masalah, maka bisa lah dijalani dan dicari solusinya. Tapi kalau udah kena dua, itu baru berat.

Jadi kalau hanya orangtua nggak setuju 🠞 bisa lah dibujukin sampai setuju asal kalian nggak LDR dan seagama.

Atau kalian LDR 🠞 bisa lah diusahakan asal seagama dan orangtua setuju.

Atau kalian beda agama 🠞 bisa lah diusahakan asal nggak LDR dan orangtua setuju, nggak masalah anaknya nikah beda agama.

Nangkep kan? Coba sekarang kalau dua.

Beda agama dan orangtua nggak setuju 🠞 duh berat banget kan. Gimana nih solusinya? Pasti panjang urusan.

Beda agama dan LDR 🠞 cuy beda agama aja udah berat, ketambahan LDR pula. LDR itu sedih banget beneran deh. #MantanPejuangLDR

LDR dan orangtua nggak setuju 🠞 ribet kan ini, emang salah satu mau ngalah dengan pindah kota? Udah pindah kota, mati-matian cari kerjaan baru dan tempat tinggal baru, terus tetep dilepeh calon mertua. Berat ya nggak?

Dan seterusnya. Combo antara beda agama, orangtua nggak setuju, dan LDR juga jadi faktor pemberat banget apakah sebaiknya hubungan kalian lanjut apa nggak. Kecuali kalian sangat kuat, gigih, dan rela memperjuangkan cinta. Ehem. Karena berat bukan berarti tidak mungkin.

Yak coba diteriakkan sekali lagi!

Karena berat bukan berarti tidak mungkin!
*noh di bold dan large*

Sebagai penutup, ai mau promo dulu lah postingan lain. Baca postingan ini “Menikah Bukan #lifegoals” dan postingan lain Tentang Nikah di sini. Buat kalian yang galau kok gue nggak nikah-nikah sih.

Mohon maaf jika pada akhirnya postingan ini bikin kalian putus sama pacar yang udah dipacarin bertahun-tahun dan sebenernya pengen putus tapi nggak punya alasan ya. Daripada nikah sama orang yang salah?

Tetap semangat! :)

PS: Seru ya nulis soal ginian, jadi valid karena berdasar pengalaman dan saya udah nikah. Abis kalau nulis topik nikah suka diketawain yang udah nikah 10 tahun lebih gitu, dibilang "alah baru nikah segitu doang banyak komentar". Padahal temen-temen saya yang baru nikah 3-5 tahun aja udah banyak yang cerai loh. Karena nikah, lama atau sebentar tetep nggak "doang". ;)

-ast-




Rumitnya Menikah

on
Monday, August 7, 2017
Saya tidak bicara dari sudut pandang agama ya. Kalau mau dilihat dengan sudut pandang agama apapun silakan, tapi mungkin tidak akan sesuai. :)


Di usia saya sekarang, lingkungan pertemanan saya rata-rata sudah menikah dengan dua anak. Usianya memang sudah masuk untuk punya dua anak. Usia ideal bagi society, belum tentu ideal bagi diri sendiri karena toh pada kenyataannya jumlah anak tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan rumah tangga.

Ada yang terus menerus bertengkar karena suami selingkuh berkali-kali tapi tetap hamil lagi, made up sex that only made the baby but not the family. Bayinya jadi tapi hubungan suami istri tetap berantakan. Anak kedua pula. Istrinya nggak kerja pun.

Ada pula yang memaksa menikah padahal tidak satu prinsip dengan calon suami, dengan alasan berharap suami bisa membawa ke kehidupan yang lebih baik. Tapi ternyata tidak. Bagaimana bisa kalau definisi "hidup lebih baik"-nya pun berbeda? Hidup bersama orang yang tidak satu value itu melelahkan. Mau bercerai kok ya suami terlalu sempurna? Punya alasan apa?

Ada yang suaminya mendadak mengubah janji setelah menikah. Bayangan menikah menyenangkan jadi sebaliknya. Me time jalan-jalan dengan teman setelah semingguan mengurus dua anak tidak diberi izin. Padahal sebelum menikah sudah ditanya bolehkah ini dan itu, jawabannya selalu boleh.

Bahkan hal "sesederhana" melarang istri bekerja saja bisa jadi urusan panjang jika istrinya memang tipe yang senang bekerja dan tidak bisa hanya diam di rumah. Belum lagi urusan mertua, urusan sekolah anak, urusan suami yang tidak mau bantu pekerjaan rumah tangga, suami yang tidak mau dititipi anak, dan buanyak lagi.

(Baca: Beda Prinsip Lebih Baik Tidak Jadi Nikah Loh!)

Kalau mendengar cerita-cerita ketidakbahagiaan dalam pernikahan saya selalu merasa bersalah karena masih suka ngeluh hahaha. Meski satu prinsip pada segala hal, ya kami juga punya masalah kecil yang padahal bisa diabaikan. Padahal dibandingkan masalah orang lain sih duh remeh banget. Untuk hal-hal lain yang besar dan melelahkan, so far kami selalu satu suara.

Menghadapi Bebe, maka kami vs Bebe, menghadapi mertua dan keluarga saya maka kami vs mertua dan keluarga. Itu yang membuat kehidupan pernikahan saya rasanya tidak serumit orang-orang. Orang-orang yang seumuran saya loh ya, yang baru menikah 5 tahunan.

Karena banyak ya ternyata yang suami selalu membela ibunya dibanding istri. Pokoknya istri harus nurut ibu aja mau ibunya logis apa nggak. "Kamu nurut lah sama ibu aku!" Wow wow. Kenapa nggak kita diskusikan dulu berdua kemudian ambil keputusan BERDUA dan jelaskan ke mertua hasil keputusan BERDUA itu? Kan kamu nikahnya sama aku bukan sama ibu kamu?

T________T

Padahal mertua nyuruhnya itu punya anak lagi meski anak pertama masih kecil, biar capek sekalian katanya. Istri nurut ajalaahhh. Duh sakit kepala mikirinnya. Punya anak ya, mau sekarang mau nanti ya sama-sama capek. Kan terserah yang mau ngelahirin dong kapan mau beranak lagi. Kalau suami dan ibunya berkomplot nyuruh punya anak sementara yang hamil masih keberatan masa dipaksa? Emang perempuan hidup cuma buat jadi medium beranak doang?

T________T

DAN INI TRUE STORY. Semua contoh di atas tadi cerita beneran. Dari orang yang nikah baru 3-5 tahun! Nikah baru 3-5 tahun aja repotnya udah kaya gini wow. Kalau kata Nahla, bayangkan harus hidup kaya gitu 50 tahun lagi.

Karena sering denger curhat model seperti ini, maka sekarang kalau ada orang bilang duh pengen buru-buru nikah, saya dan JG pasti kompak bilang "Yakinnn? Duh pikir-pikir dulu lah". Dan kami serius soal itu. Kami tidak mau kalian jadi orang berikutnya yang curhat karena "nikah kok gini amat ya". Hiks.

Pusing ya? Iya nikah itu pusing banget, complicated.

Dan ya, orang-orang menikah ini selalu bicara pernikahan seolah menikah adalah sesuatu yang paling menyenangkan di dunia! Well, no, except you find the perfect one.

Katanya "nikah aja nggak apa-apa, iya sih pusing, tapi enaknya juga banyak" YA ITU KAN ELO. Saya sih nggak berani menyarankan orang menikah hanya karena pernikahan saya baik-baik saja. Ya saya baik-baik aja, orang lain? Kan belum tentu.

(Baca: Selingkuh dan Pelakor)

Banyak yang baik-baik saja tapi banyak juga yang berusaha terlihat baik-baik saja. Banyak yang tampak mesra di social media padahal menangis setiap malam. Banyak yang di luar sama-sama terus, di rumah mah ya masing-masing aja kaya nggak kenal. BANYAK. Banyak yang menikah socially bukan personally.

Karena sejak awal, banyak yang pernikahannya itu soal "social acceptance". Ya dalam tanda kutip. Menikah karena tertekan lingkungan, menikah karena memang merasa sudah usianya harus menikah, menikah karena keluarga meminta menikah, menikah karena ya mau ngapain lagi bro, semua temen udah nikah. Ya nggak tau, ngapain kek, keliling dunia mungkin?

Makanya menentukan tujuan menikah itu penting dibicarakan sejak awal. Oiya kita mau nikah, apa tujuannya?

Misal tujuan menikahnya adalah "melanjutkan keturunan" maka setelah menikah target berikutnya adalah punya anak dong? Terus ternyata nggak dikasih anak. Jadinya logis kan kalau salah satu minta cerai karena nggak bisa punya anak? Atau misal kalau istrinya yang ternyata punya masalah kesehatan, jadi logis dong kalau suami minta poligami? Ya karena memang tujuan awalnya kan melanjutkan keturunan.

Saran saya sih cari yang tujuannya hidup bersama selamanya deh. Nonton film Test Pack sama calon pasangan, tanya pendapatnya kalau itu terjadi sama kalian. Bukan promosi, tapi film itu ngasih gambaran banget pasangan yang ideal menurut saya. Menurut saya loh yaaa. :)

Tapi tenang dulu, ada kok pasangan yang bener-bener bahagia. Kategori ini pun masih terbagi dua. Hahaha.

Pertama, yang satu prinsip hidup jadinya santai sama segala sesuatu. Perfect match made in heaven. Berantem cuma urusan siapa yang mandi duluan lol. Satu visi misi, nggak saling menuntut suami harusnya gini, istri harusnya gitu!

Kedua, salah satu sebenernya sebel tapi ya udah terima ajalah daripada pusing. Telen aja udah, eh sori, ikhlas aja udah. Namanya juga nikah ya kan, harus saling ikhlas, harus toleran namanya juga dua kepala jadi satu. :)

(Baca: Mengurangi Pertengkaran Rumah Tangga)

Masalahnya, ikhlas itu nggak gampang. Nggak semua orang punya stok ikhlas luber-luber. Ada yang di depan suami dan keluarga sempurna banget sebagai istri dan ibu. Tapi di social media ya ampuuunnn, 180 derajat. Terlihat sekali dia butuh teman untuk bicara, butuh teman untuk berdiskusi. Nyamber sana-sini, komen sana-sini. Kan kasian jadinya.

Atau yang lebih bisa menahan diri biasanya hanya curhat pada sahabat. Keluhan-keluhan yang tidak pernah terbayang karena di luaran sana mereka adalah pasangan sempurna yang bikin iri semua orang. Sahabat-sahabatnya ini yang jadi ikut sedih huhu kasihan tapi nggak bisa bantu banyak juga. :(

Inti dari semua ini adalah. Pikir yang banyak sebelum nikah! Tanya pertanyaan-pertanyaan ini ke calon pasangan! Dan perempuan harus mandiri, tidak mandiri, tidak mau punya penghasilan tidak apa-apa tapi siapkan storage untuk ikhlas yang banyak yaaa. :)

Kalau setelah ini kalian jadi ragu menikah, bagus dong. Keraguan akan jadi kehati-hatian, dan menikah adalah keputusan yang harus diambil dengan hati-hati. Percayalah bahwa dengan ragu dan hati-hati, kalian akan menemukan seseorang yang bisa berbagi prinsip hidup selamanya. Menjalani hidup tanpa jadi orang lain, tanpa harus selalu bersembunyi di balik kata ikhlas.

Karena sesungguhnya, keikhlasan tidak diperlukan lagi di sebuah hubungan yang berbagi prinsip hidup yang sama. Your life would be so much easier. Toleransi pasti ada, tapi sungguh di hal-hal yang sangat kecil sampai tidak pantas disematkan sebagai sebuah keikhlasan. :)

Untuk kalian yang belum menikah, merasa menikah terlambat, tidak menikah, atau sudah berhenti menikah, hal apapun tentang pernikahan tidak mengurangi sedikit pun dari harga kalian di dunia ini. You're all worth it.

Selamat hari Senin! Baca tulisan tentang pernikahan lainnya di sini ya! Tentang Nikah

-ast-

Untuk kesayangan aku, @jago_gerlong. Terima kasih untuk jadi kamu yang seperti aku. Untuk diskusi masalah yang tidak pernah panjang, untuk pertengkaran yang tidak pernah bermalam, untuk jadi jawaban atas semua kebimbangan. I love you 💛 (TOLONG INI DISCREENCAP DAN BELIIN AKU IPHONE 7 DONG! HAHAHA)




Beda Prinsip

on
Friday, June 16, 2017

Dulu ya waktu masih punya TV di rumah dan suka nonton infotainment, satu hal yang selalu bikin saya mengernyit adalah alasan perceraian para artis yang bisa dirangkum dalam dua kata: BEDA PRINSIP.

Dulu saya selalu menganggap alasan beda prinsip itu sebagai alasan yang mengada-ada dan kurang real. Lagian masa karena beda prinsip aja sampai harus cerai sih ih, yang beda agama aja banyak yang pernikahannya langgeng. Padahal apa yang lebih berprinsip dibanding agama coba?

Kemudian saya tumbuh dewasa dan ketika memutuskan menikah, prinsip yang dulu saya anggap sesuatu yang unreal itu ternyata penting banget!

Prinsip atau value lebih enak kalau sama memang, kecuali kalian orang yang sangat tenggang rasa, tepo seliro, mampu bertahan dan saling menghargai satu sama lain seumur hidup.

(Baca: 30+ Hal yang Harus Ditanyakan Sebelum Menikah)

Kalau kalian kaya saya yang sebisa mungkin menghindari konflik, nggak sabaran, ingin selalu punya teman untuk diskusi, maka ya mending dari awal nikahin orang yang menghargai values yang sama.

Apa aja values itu? Ya tentukan sendiri. Tentukan apa yang penting buat kalian dan diskusikan dengan pasangan kalian.

Contoh yang tampaknya sederhana padahal tidak sederhana sama sekali: istri boleh kerja nggak setelah nikah?

Itu kedengerannya kaya masalah simpel: “suami larang istri boleh aja dong karena itu hak suami”.

Alesannya bisa macem-macem ada yang beralasan “Karena sayang, jadi biar aja suami capek kerja keras cari uang (seolah istri di rumah nggak capek ngurus rumah)” ada yang bilang “istri urus anak aja biar rumah diurus pembantu”. Banyak.

Padahal nggak sesimpel itu. Urusan melarang bekerja ini ada di area gender equality dan ini cakupan yang sangat luas plus sensitif.

(Baca: Mengurangi Pertengkaran Rumah Tangga)

Jadi daripada tanya calon suami dengan “kamu bolehin aku kerja nggak setelah nikah?” tanya dulu soal “gimana menurut kamu soal gender equality?”

Karena jawaban dari pertanyaan kedua akan menunjukkan akan seperti apa dia memperlakukan kalian setelah nikah. Kalau ditanya pertanyaan pertama terus jawabannya “boleh kok” terus kalian percaya padahal setelah nikah akhirnya dia melarang karena “dulu aku bolehin karena gaji aku kecil, sekarang gaji aku cukup jadi ga usah kerja lagi”.

Coba kalau tanyanya soal gender equality. Bisa ketaker banget loh dia laki-laki seperti apa. Bisa langsung ketauan apakah dia menganggap perempuan bisa setara secara akademis dan karier atau dia menganggap perempuan sebagai pengurus rumah tangga.

Satu hal, kalau ternyata jawaban dia adalah perempuan harus diam di rumah dan kalian 100% oke dengan itu ya go ahead. Maka prinsip kalian udah sama.

Tapi kalau kalian percaya perempuan dan laki-laki harus setara ya jangan dilanjutin. Mending nggak usah jadi nikah percayalah padakuuu ~~~.

Kalau kalian menikah nanti kalian sedih. Nanti kalian nggak akan lagi hidup sepenuhnya karena selalu ada penyesalan “padahal sebenernya aku pengen xxx”. Hidup dalam penyesalan itu nggak enak gengs.

(Baca: How are We Gonna Raise Our Kids?)

Dan kalau udah nikah, masalah yang kayanya remeh juga bisa jadi besar karena ya namanya prinsip ya, susah diubah. Hal yang kayanya nggak mungkin bikin berantem aja bisa banget jadi bahan perpecahan.

Kalau saya sendiri memang baru sama JG yang ngerasa klik banget. Soulmate akuhhhh uwuwuwuw gemas. Hahaha.

Selama nikah, baru satu kali berantem karena beda prinsip. Masalahnya yaitu … Bebe masuk playgroup tahun ini apa tahun depan? HAHAHAHAHA. Tampak remeh tapi bikin mayan tegang juga sih karena sama-sama ngotot (saya lebih ngotot sih 😂).

Abis JG keukeuh amat tahun ini sementara saya ngerasa Bebe masih kecil laahh, belum butuh sekolah. Tapi JG ingin Bebe sekolah biar cepet bisa bahasa Inggris. Ambisius banget! Jadi akhirnya setelah merenung lama bersama-sama, diambil jalan tengah yaitu Bebe belajar bahasa Inggris di rumah lol.

Tapi ya so far so good lah, we share the same values. Dari urusan agama, politik, gender, komitmen, kejujuran, dan banyak lah. Tapi saya mikirnya kami bisa seperti ini karena kami banyak berdiskusi sih sebelum nikah. Ya maklum orangnya nggak bisa nggak ngomong ya hahahaha.

(Baca: Suami yang Nyebelin)

Satu hal, setelah saya nikah gini baru saya sadar bahwa cerai itu tidak apa-apa! Dalam artian saya tidak akan judge orang bercerai karena saya nggak ada di posisi mereka.

Karena manusia bisa berubah, manusia bisa TIDAK berubah, manusia bisa jadi sangat menyebalkan sekaligus menyenangkan, dan sebagainya. Jadi cerai karena beda prinsip itu sangat bisa terjadi, bukan cuma mengada-ada. Jangan suka judge orang cerai karena kita nggak tau ada masalah sebesar apa di baliknya.

Jadi buat kalian yang belum nikah, ayo samakan visi misi, prinsip, value, apapun itu namanya dengan calon suami/istri. Buat kalian yang udah nikah dan ngerasa beda prinsip, banyak-banyak sabar ya. Huhu. Abis gimana dong.

Udah ah kepanjangan, kupusing.

Selamat weekend!

-ast-




Suami yang Nyebelin

on
Friday, June 2, 2017
Hai gengs, libur nih ya dan dari kemarin Nahla sibuk banget recording plus saya padet banget di kantor jadi kami nggak bahas #SassyThursday sama sekali! Terus jadi diajakin kolabnya sama #GesiWindiTalk jadi ya udalah saya nebeng aja daripada nggak nulis hahahaahha

Temanya bikin mikir banget: hal-hal yang menyebalkan dari suami. Iya tadi saya bengong dulu mikirin, apa ya?



Punya Mba Windi: Suami Nyebelin


No lah bukan karena saya sama JG nggak pernah berantem. We do, we argue, we fight, we yell to each other (ok mine is louder) but at the end of the day we're stuck together, right? HAHAHAHAHAHA

Tapi mungkin karena saya orangnya nggak melankolis, jadi saya benci mikirin hal-hal yang bikin saya sebel. Mikirin aja males apalagi disuruh nulis hah. 😶

First of all, kalau kalian temen-temennya JG, kalian pasti menganggap dia annoying banget hahahahaha. Annoying gengges gitu gengs. Itu semua disebabkan oleh dia hampir nggak punya rasa malu. 😂

Ya nggak lari di lapangan sambil telanjang juga, tapi seberapa banyak dari kalian yang berani tampil nyanyi di kawinan orang padahal sadar banget suara fals? Seberapa banyak dari kalian yang photobomb DENGAN SENGAJA selfie geng cewek-cewek gemes di mall?

Ya jadi misal ada cewek-cewek lagi selfie terus dia berdiri aja di sebelah mereka gitu ikutan pose. That kind of prank, that kind of gengges-ness. Kalau kata Nahla, JG kenapa senseless banget sih? 🤔

Atau misal lagi milih telor di supermarket gitu terus ada lagu Shape of You-nya Ed Sheeran (somebody pls block this song why it's on loop EVERYWHERE IN THIS WORLD enough is enough 🤢) dan JG bisa pilih telor sambil joget aja seluruh badan.

Joget megol-megol beneran gitu dan biasanya yang tersinggung pertama adalah Bebe. Dia akan teriak "appa, diam!" atau "appa! jangan joget!" oh men, Bebe dalam waktu dekat kayanya akan males ikut-ikut kami ke tempat umum karena ayahnya suka malu-maluin. 😓

Lalu apakah saya malu? Apakah saya sebal sama kejadian-kejadian itu? Nggak sih 😂

Dan sampai sekarang pertanyaan default kalau ketemu temen-temennya adalah "kok mau sih nikah sama orang model begini?" 🤔

Ya maulah dia kan annoyingnya sama orang lain hahaha. Sama saya nggak begitu cara nyebelinnya. Lagian saya nikah sama JG karena JG bisa diajak diskusi hampir segala hal.

Iya dari lipstik, politik sampai urusan dunia kaya Trump atau Duterte. Kemarin mbak @tikabanget sampai shock karena pas kenalan JG bilang "lipstiknya bagus banget sih! Apa mereknya?" Mbak Tika bingung kenapa ini cowok ngerti amat lipstik! Hahahaha.

Karena dia se-random itu, orang nyangkanya hidup kami nggak serius banget padahal most of the time diskusi kami adalah masalah-masalah serius. And I love that! Saya senang pada orang yang bisa diajak bicara tentang banyak hal.

Makanya sampai sekarang JG nggak mau saya berhenti kerja karena dia takut saya jadi berhenti update sama dunia luar. Ya sekarang kerja di media, update banget lah ya apa yang terjadi, jadi bahan diskusi dan bahan ngobrol itu banyak. Nggak melulu masalah anak.

Plus dia bertanggungjawab sama semua urusan rumah tangga, saya tinggal leyeh-leyeh doang main sama Bebe. Kebayar dong ya kerandomannya kalau di tempat umum. 😂




Yang kedua kenapa saya biasa aja sama tingkah ajaib JG, KARENA AYAH SAYA JUGA BEGITU. OH GOD DADDY HAS A REPUTATION TO SAVE SO I COULDN'T TELL MUCH.

Satu aja cerita ya. Jadi waktu kecil saya sama adik saya ngiket rambut ayah sama karet jepang kecil warna-warni. Rambut ayah panjangnya sekitar 3 cm. Ngiketnya banyak jadi kaya duri-duri gitu. Seluruh rambutnya kami iket terus kami ketawa-tawa karena kocak banget jadinya.

Setelah selesai apa yang ayah lakukan? Gendong kami berdua keliling RT dengan rambut begitu. HAAAAHHH MALU 😭

Nggak keitung lah seberapa banyak kerandoman si ayah. Dulu suka saya share di Twitter tapi foto-fotonya ilang karena yah, foto-foto Twitter zaman pake UberTwitter kan ilang semua ya.

Random lainnya: kalau ditanya orang nggak dikenal suka ngaku namanya Usman padahal bukan. Orangnya ya percaya lah terus manggil dengan Pak Usman. 😭

Makin tua ayah makin nggak random sih tapi kalian follow @PEMBIMBINGUTAMA nggak sih di Twitter? Nah kalau kalian suka jokesnya @PEMBIMBINGUTAMA maka kalian akan suka sama ayah saya. HE'S PEMBIMBINGUTAMA IN REAL LIFE. Cek IG nya aja deh @acengabd. Persis banget sama @PEMBIMBINGUTAMA. Lagi ayah saya kan dosen, jadi dia memang pembimbing utama 😂😂😂

OK BACK TO JG.

Ya meski menyenangkan dia juga manusia lahhh punya kekurangan. Yang paling nyebelin adalah gampang banget tersinggung yassalaaaammm. Pantes Adit sama JG akur banget ya soalnya sama. 🤔

Gampang tersinggung level gini loh:

Dia: "Kok kamu marah sama aku?"

Saya nggak ngerasa marah jadi kesel dibilang marah.

Saya: "apa sih aku nggak marah!"

Dia: "Tuh kan bentak!"

Saya: "Lah ya udah maaf"

Terus dia sebel sampai besok paginya astaga. Lagi mens apa gimana. 😭

Udah sih itu doang HAHAHAHAHA REMEH TAPI PAS KEJADIAN NYEBELIN ABIS.

Saya juga sebel kalau dia suka cuddling padahal pulang kerja dan belum mandi. Aku merasa kotor. Atau usel-usel pas belum cukuran. EW SEBEL SAMA KUMIS. Pasti saya kabur wek.

Dan satu lagi, dia suka salah naro barang DI KULKAS. Tapi yang ini saya udah nggak pernah ngomong sih, ya udah ajalah biar. Jadi kadang saya nemu piring kotor di kulkas, atau nemu kotak makan kosong. Random.

Dan itu bukan Bebe yang naro tapi JG. Toddlernya ada dua emang di rumah ini. Sama-sama ambekan pula. Yang satu threenager yang satu thirtynager 😶

Tapi yang terpenting, JG selalu ada buat saya. ♥️ Kebanyakan adanya malah sampai kalau di kantor aja nelepon bisa 15 kali sehari. 😩 Kalau dia sibuk aja nggak nelepon sama sekali, giliran saya sibuk dia nelepon tiap 20 menit 😩

Udah ah capek amat nulis panjang-panjang lagi liburan. Selamat bobok cantik semuanyaaaa!

-ast-




Pelakor

on
Tuesday, April 18, 2017
Postingan ini sambungan dari postingan sebelumnya: Selingkuh. Silakan mau baca dulu yang ini, atau baca dulu yang sebelumnya, sama saja. :)


Di postingan sebelumnya itu saya menulis sedikit soal pelakor. Betapa istilah pelakor adalah istilah yang sungguh patriarki. Menyalahkan perempuan atas sesuatu yang bukan salah dia sepenuhnya. Hey, it takes two to tango!

Dan tulisan saya sebelumnya netral, bisa istri atau suami yang selingkuh. Kali ini sudut pandang saya dari pihak perempuan.

Di bawah ini kutipan dari tulisan saya sebelumnya:
Iya, pelakor itu istilah patriarki. Menempatkan laki-laki sebagai poros dan yang salah pasti pihak perempuan. Yang merebut si perempuan, laki-laki jadi korban, jadi objek yang direbut. Mirisnya, hujatan pelakor itu diucapkan serta jadi bahan hinaan sesama perempuan. Kalau dalam hubungan selingkuh saja yang dicaci perempuan oleh perempuan lain, bagaimana laki-laki mau dan BISA menghargai perempuan?

Pelakor. Istilah yang selain patriarki, juga sangat negatif. Makanya jadi rawan bully. Yang selingkuh berdua, yang dibully perempuannya. Suami-suaminya justru lebih sedikit dicaci. Sedih deh. Rata-rata komentarnya seperti di bawah ini:

"Sebagai sesama perempuan masa nggak empati sih? Kok ngerebut suami orang? Kok mau-maunya jadi simpenan lelaki beristri? Perempuan macam apa!"

Yah, padahal kan bisa dengan mudah dijawab dengan:

"Itu suami situ kok nggak empati sih sama istrinya? Kok sempet-sempetnya merebut hati perempuan lain? Mau-maunya punya simpenan padahal beristri! Suami macam apa!"

Iya dong, empati itu seharusnya pada orang terdekat dulu. Pertanyakan dulu empati suami pada istri sebelum kita mempertanyakan empati perempuan lain pada kita. Kenapa coba perempuan lain harus kasihan sama kita, suaminya aja nggak kasihan sama istrinya sendiri. :(

Dan banyak lho perempuan yang tidak mau didekati lelaki beristri, apalagi jadi selingkuhan atau simpanan. Kalau begini kan semakin jelas kesalahan ada di siapa. Mengapa suami-suami ini masih mengejar perempuan yang bahkan tidak mau jadi simpanan? Yang sadar benar bahwa perempuan itu tidak mau jadi yang kedua? Adrenalin?

Banyak juga cerita istri kedua yang nggak tau kalau selama ini laki-laki yang berjanji akan menikahi dia ternyata sudah punya istri. Atau yang ngakunya sudah pisah ranjang dan siap cerai, padahal ternyata masih serumah sama istrinya dan istrinya nggak tahu apa-apa. Ada apa dengan cowok-cowok semacam ini ya.

T_____T

Tapi bahkan ceritanya sudah seperti itu pun yang disalahkan tetap hanya si perempuan. Salah karena mengacaukan rumah tangga orang. Padahal selingkuh kan nggak mungkin sendirian, mbaksis. Kalau sendirian namanya masturbasi.

(Baca: Menikah untuk Menyenangkan Siapa?)

Ada juga yang mengakui kalau suaminya jatuh cinta pada perempuan lain. Yang salah siapa? Tetap pihak perempuan.

"Suami saya jatuh cinta pada kamu, kamu kok meladeni?! Kamu kan tau dia punya istri!"

Jatuh cinta pada siapa itu tidak diatur oleh undang-undang. Kita tidak tahu akan jatuh cinta pada siapa. Dan kalau suami bisa jatuh cinta pada orang lain, orang ketiga ini juga BISA jatuh cinta pada suami orang lain. Pertanyaan jatuh cinta itu bisa dengan mudah dijawab:

"Yah tante, sayanya juga jatuh cinta. Emang suami situ doang yang bisa jatuh cinta?"


Meski demikian ya memang ada juga perempuan yang sadar benar didekati pria yang sudah menikah namun tidak menolak. Selain jatuh cinta, mungkin punya masalah ekonomi?

Karena pihak ketiga ini juga motifnya banyak. Banyak yang bukan sekadar jatuh cinta atau cari tantangan. Yang sampai dinikahi atau disimpan biasanya malah karena faktor ekonomi. Banyak banget kan denger cerita suami-suami yang ternyata punya simpanan di kampung? Atau kalau memang tinggal di kota, para simpanan ini biasanya rela jadi simpanan karena gaya hidup kan?

Butuh sugar daddy untuk mempertahankan gaya hidup, butuh sugar daddy untuk bayar kuliah, butuh sugar daddy supaya masa depan terjamin. Bukan cerita baru.

Itu kalau di kota, kalau istri kedua di kampung? Dikirimi uang tiap bulan juga udah bahagia ya kayanya. Yang penting bisa makan, yang penting anak bisa sekolah, dan yang terpenting, nggak dapet label perawan tua di kampung. Yang penting punya suami!

Dan ya, salahkan para suami yang begitu pintar mengatur uang sehingga mampu membayar gaya hidup sang simpanan, sehingga mampu jadi sugar daddy. Sehingga mampu membagi waktu dengan istri di kampung. :(

*

Kenapa sih suami selingkuh? Adakah yang salah dalam rumah tangga?

Pasti ada. Gara-gara LDR doang bisa jadi masalah kan. Bisa juga kaya yang saya bilang kemarin, suami nggak sanggup monogami. Istrinya baik, penyayang, istri idaman banget tapi ya memang dasarnya aja si suami emang nggak sanggup sama satu perempuan. Kan tetep zonk.

Suami nggak sanggup monogami itu masalah rumah tangga banget loh.

Kalau memang istrinya nyebelin? Ya bilang dong sama istrinya, daripada di depan selalu manis tapi di belakang punya simpanan. Sebagai istri juga harus mau mendengarkan keluhan suami soal dirinya, jangan baper duluan.

Jangan dikritik suami lalu drama dan merasa kontribusi terhadap keluarga jadi nggak dihargai. Suami kritik kita kurang perhatian, terus drama nangis-nangis "aku tuh yang ngurus anak-anak kita loh!" Ya kan nggak berhubungan. Ngurus anak berdua, ngasih perhatian ke satu sama lain juga harus berdua. Intinya sering-sering ngobrol lah. Daripada cari temen ngobrol lain? ;)

Suami-suami juga harus membebaskan istrinya untuk tetep mengerjakan passion, jangan cuma disuruh ngurus rumah tangga doang. Ini mah istrinya dikekang, segala dilarang, suatu hari selingkuh atau poligami dengan alasan "istri nggak bisa diajak ngobrol serius selain urusan rumah tangga". YA NURUT NGANA. Yang larang siapa, yang salah tetap istri.

(Baca: Menikah dalam Satu Kata)

Tapi ya harus diakui juga memang ada istri-istri yang menguji kesabaran. Buat suami-suami dengan istri yang memang menyebalkan, solusinya cuma dua. Sabar seumur hidup atau ceraikan! Jangan malah selingkuh kemudian membela diri dengan kekurangan istri. Itu jahat, itu menyakitkan.

Istri-istri juga. Kalau suami ada kurang itu ya dibicarakan lah. Kita nggak sempurna, dia juga. Kalau memang capek karena suami nggak pernah bantu ngurus rumah ya bilang baik-baik, bukannya malah semua dikerjain sendiri tapi sambil ngedumel. Capek. Plus nggak sehat. Stres sendiri kan jadinya.

Dan hiks beneran lho saya sedih sama perempuan-perempuan yang berteriak menyalahkan orang ketiga. Maaf sekali tapi bagi saya itu adalah bagian dari denial, dari ketidakmampuan untuk menerima kekurangan diri dan kekurangan suami. Dari ketidakmampuan menerima ada kesalahan dari hubungan suami istri.

Kalau memang merasa punya masalah dalam rumah tangga, cari bantuan profesional. Banyak kan konsultan pernikahan. Kalian butuh orang ketiga untuk menengahi. Kalau salah satu tidak mau? Yakin masih niat mempertahankan pernikahan?

Komitmen itu harus direncanakan, bukan cuma diharapkan akan tetap terjaga. Rencanakan bahwa kita harus jaga ya komitmen ini. Bawa topik selingkuh sebagai sesuatu yang biasa. Yang bisa dibicarakan kapan pun dengan suami.

*

Satu lagi soal bully pelakor: jangan memaksakan standar ideal kita pada orang lain.

Ini berlaku bagi orang-orang yang di socmed berteriak menyalahkan pelakor. Padahal kenal juga nggak sama pasangan suami istri itu, kenal suaminya nggak, kenal istrinya nggak. Cuma tau cerita dari Instagram kemudian bully si pelakor. Kebetulan semua yang terlibat sering muncul di TV jadi merasa tahu semua sisi hidup mereka? Padahal nggak ya.

Mereka membully karena memaksakan standar ideal soal pernikahan pada orang lain. Padahal istri yang diselingkuhi belum tentu sakit hati sampai harus dibela sejagat social media lho. IYA BELUM TENTU.

(Baca: Pernikahan dan Kesetiaan)

Tahukah kalian bahwa tidak selamanya selingkuh itu menyakiti?

Kebanyakan iya, saya setuju, tapi kalau lantas bilang semuanya sih saya nggak setuju. Karena saya tau beberapa orang yang suaminya selingkuh terus ya udah tetep bahagia "biarlah yang penting gue masih dikasih duit tiap bulan" atau "biarlah yang penting sekolah anak aman, gue bisa belanja, gue hepi, dia hepi, anak gue hepi". ADA.

Karena apa? Karena tujuan menikah setiap orang beda-beda. Nggak semua orang nikah karena memang cinta.

Kan banyak juga yang nikah karena status sosial. Kalau nikah sama si A maka dia akan jadi bisa bergaul dengan level sosial yang mana. Model pemanjat sosial begini nih yang biasanya lempeng aja kalau pun pasangannya mau punya simpenan. Lha emang dari awal nggak cinta kan. Sebel doang mungkin levelnya bukan sakit hati.

Atau nikah karena bisnis, kalau nikah sama si O maka bisnis akan lancar, networking akan bagus. Bisnis lancar. Punya anak yang banyak biar warisan terjamin aman.

Atau karena politik. Kalau nikah maka karier politik lancar. Maka kemudian apa yang jadi masalah kalau masing-masing tidak menghargai komitmennya? Apa yang jadi masalah kalau kemudian salah satu selingkuh? Yang penting pernikahan masih berjalan sesuai tujuannya kan?

Yang ribut kalian doang, merekanya bisa aja adem ayem sebenernya.

*

Jadi ya, sebagai perempuan bersuami, ayo kita berkomplot dengan suami-suami kita supaya kita tidak tergoda untuk selingkuh. Ayo bicara, ayo ngobrol, ayo pillow talk. Bukannya berkomplot dengan perempuan-perempuan tidak dikenal dan berharap mereka tidak menyelingkuhi suami kita. :)

Jangan lupa baca tulisan sebelumnya ya! Klik: selingkuh. Jangan lupa juga follow Instagram saya di @annisast! (lah kok modus lol)

-ast-

PS: Tulisan ini harus diberi credit pada Nahla karena sepertiganya hasil brainstorming berdua lol.




Selingkuh

on
Tuesday, April 11, 2017
Ah, bahasan ini. Butuh waktu sebulan lebih buat saya untuk maju mundur mau menulis ini. Pertama karena malas pasti jadi panjaaaanggg (DAN BENAR ADANYA). Kedua karena bahasannya sensitif. Ya, karena alasan kedua mari tulisan saya ini dibaca pelan-pelan. Oiya, selingkuh di sini konteksnya selingkuh saat sudah menikah ya. :)


Di era digital ini semua orang bisa dengan mudah bereaksi. Kalau dulu ada orang selingkuh, yang tau paling banter tetangga di rumah dan keluarga. Sekarang jadi ditambah juga followers social media, plus followers akun gosip yang makin merambah rakyat jelata.

Iya rakyat jelata. Dulu kan mau masuk infotainment itu susah, harus jadi bintang dulu di TV. Harus mati-matian nganter temen audisi terus main FTV. Lha sekarang bukan siapa-siapa aja bisa masuk infotainment Instagram. Yang penting kasusnya dianggap layak jadi cacian massa. Duh.

Pertanyaan saya yang utama, kenapa topik selingkuh banyak banget yang pengen komentari? Kalau artis selingkuh kan alesannya "publik layak tahu yang sebenarnya" kalau orang biasa selingkuh? Kenapa orang rame-rame komentar? Sampai jadi artikel khusus di portal community anak muda? Kenal juga nggak. temen juga bukan, sodara apa lagi. Jelas bukan.

Lalu kenapa ya?

Yang miris, yang lebih banyak dicaci adalah pihak perempuan yang jadi selingkuhan. Mereka ramai-ramai disebut pelakor, perebut laki orang. Sungguh urusan menikah ini, sampai pengkhianatan pun masih sangat patriarki.

Iya, pelakor itu istilah patriarki. Menempatkan laki-laki sebagai poros dan yang salah pasti pihak perempuan. Yang merebut si perempuan, laki-laki jadi korban, jadi objek yang direbut. Mirisnya, hujatan pelakor itu diucapkan serta jadi bahan hinaan sesama perempuan.

(Baca tentang Pelakor di sini!)

Kakak ipar sahabat saya selingkuh, ada foto dia sama perempuan di dalam selimut berdua. Pembelaannya? "Ya namanya cowok, kaya kucing dikasih ikan mah diambil lah" Rendah banget ya, sampai mau dibandingkan sama kucing. Yang disalahkan oleh orangtua si cowok siapa? Tetap si perempuan lain karena sudah memberi ikan. Ckckck.

Jadi kalau bukan pelakor yang salah, yang selingkuh itu salah siapa? Jawabannya: BUKAN URUSAN KITA.

Ya bukan urusan kita sama sekali. Urusan rumah tangga yang patut kita urus adalah rumah tangga kita sendiri. Bukan rumah tangga orang lain.

Menikah untuk siapa? Untuk diri sendiri atau untuk memuaskan ego orang-orang di sekitar yang selalu seakan memaksa untuk buru-buru menikah?

(Baca: Menikah untuk Siapa?)

*

Coba lihat sekitar, seberapa banyak anggota keluarga yang selingkuh atau diselingkuhi? Lihat di lingkaran lebih luas, seberapa banyak teman kita yang selingkuh atau diselingkuhi? Seberapa banyak di lingkungan rumah? Di lingkungan kantor? BANYAK.

BANYAK SEKALI.

Berbeda misalnya dengan kasus orang bunuh diri live di Facebook gitu. Belum tentu 3 bulan sekali ada yang melakukannya. Jadi wajar banget kalau memang jadi topik di mana-mana, di segala social media. Kalau selingkuh kan topik bahasan sehari-hari banget. Adaaa aja berita selingkuh mampir ke kuping. Temen kantor, sahabat, keluarga, artis. Dan topiknya selalu sama, ada yang berkhianat. Mengkhianati pernikahan.

Ah, jadi bicara pernikahan.

*seruput kopi* *padahal nggak ngopi* *biar dramatis aja*

Jadi ya, pernikahan itu sakral. Disakralkan. Harus disakralkan supaya tidak disalahgunakan. Kalau tidak sakral nanti seenak udel ganti pasangan tiap 6 bulan sekali kan repot. Pdkt sama keluarga aja berapa bulan, nyiapin resepsi nikah aja bisa setahun.

Nah tapi mungkin ya, mungkin nih ya orang-orang yang selingkuh ini memang tidak menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang sakral. Seperti kata mbak Roslina Verauli yang pernah saya kutip:

"pasti ada masalah dulu yang mengakibatkan selingkuh, bukan selingkuh kemudian jadi masalah."

Coba diresapi kalimatnya.

Masalahnya bisa macem-macem. Ada yang menganggap istrinya di rumah terlalu cerewet dan ngatur-ngatur kemudian dia cari perempuan yang bisa diatur. Ada yang menganggap istrinya terlalu superior, terlalu pintar, kemudian dia cari perempuan yang tidak terlalu pintar supaya bisa lebih superior. Ya macem-macem lah.

Tapi kan ada yang keluarganya sempurna, tapi tetep selingkuh!

Ya ada. Alasannya bisa dua. Pertama, ya sempurna kan nurut ngana. Siapa tau istrinya nggak pernah bisa diajak diskusi politik terus suami cari perempuan yang bisa diajak diskusi politik. Atau sebaliknya, suami nggak pernah mau dengerin keinginan istri, si istri merasa diabaikan kemudian istri cari perhatian yang lain. Kan bisa banget.

Ya atau apalah, mungkin sempurna di mata orang lain, tapi salah satu tetep ada hole yang nggak bisa diisi sama pasangannya. Hole, bolong, alasan klasik.

Alasan kedua. Alasan paling masuk akal menurut saya sih: monogami bukan untuk semua orang.

Monogami (Yunani: monos yang berarti satu atau sendiri, dan gamos yang berarti pernikahan) adalah kondisi hanya memiliki satu pasangan pada pernikahan.

Iya tidak semua orang bisa dengan satu pasangan menikah saja seumur hidup. Seperti juga poligami tidak untuk semua orang. Saya tidak mau poligami tapi saya yakin memang ada pasangan-pasangan yang memang bahagia berpoligami. Seperti juga ada pasangan-pasangan yang memang bahagia bermonogami.

Masalah muncul ketika penganut monogami ternyata menikah dengan orang yang tidak sadar kalau dia sebenarnya tidak sanggup monogami.

NAH.

Jadi ada masalah juga di situ. Selain urusan hole, ada juga poin bahwa ada orang-orang yang memang tidak cukup dengan satu pasangan saja. BEGICU.

Ruwet jadinya, gengs. Yang poligami juga nggak bisa bilang "mending poligami daripada selingkuh". Nggak begitu juga karena nyatanya, udah istri udah 4 aja ada yang tetep punya simpenan. Sementara istri satu dan selingkuh juga mungkin memang bukan niat pengen sah istri banyak. Ada yang emang pengen main-main aja jadi nggak mau poligami. Manusia kan beda-beda, bos.

Poligami tetep selingkuh ada, monogami nggak mau nikahin selingkuhan padahal dikasih izin istri pertama juga ada. Lha cerita anak selingkuhan diurus sama istri pertama aja banyak kok ya kan. Jadi gimana dong, ini sungguh sangat complicated. Plus berteriak-teriak jauhi dan musuhi pelakor itu nggak menyelesaikan masalah.

Atau bilang pelakor emang harus diberantas. Weh, suami selingkuh sama cowok juga banyak cerita ah. Saya nggak setuju banget jadinya kalau hanya menyalahkan pihak perempuan. Apalagi banyak yang kenyataannya pihak perempuannya (si selingkuhan) pun dibohongi. Ngakunya udah mau cerai lah sama istri pertama, ngakunya lebih cinta lah sama si selingkuhan.

Kalau kata 9gag, bulldog kawin sama shitzu. BULLSHIT.

Apalagi kadang kecocokan juga bisa dengan mudah ditemukan. Ya pas nikah mah cocok-cocok aja sama pasangan yang ini. Lama kelamaan kok nggak cocok? Kok nemu orang lain malah cocok sama yang lain ini?

Maka itulah topik kita selanjutnya adalah kesetiaan dan komitmen.
Menikah itu memaksa kesetiaan dan kesetiaan itu bukan untuk semua orang. Sanggupkah untuk tidak menyakiti hati pasangan dengan cara apapun? Karena jatuh cinta kan tidak pandang status menikah atau nggak. Banyak yang mengaku jatuh cinta lagi padahal sayang sama pasangan di rumah nggak berubah. Sanggupkah berkomitmen pada SATU kesetiaan seumur hidup? -- Pernikahan dan Kesetiaan

*

Apa arti setia? Apa arti selingkuh?

Kita sepakati sama-sama dulu ya kalau selingkuh itu melanggar komitmen untuk hanya bersama satu pasangan. Ini mah udah pasti lah, ada komitmen pernikahan yang dilanggar. Kecuali pas nikah emang bentuknya open marriage gitu, atau nikah karena bisnis, nikah karena politik, beda urusan ya.

Masalahnya ada di definisi setia dan selingkuh. Tiap orang punya definisi beda-beda, bahkan suami istri aja bisa punya definisi beda-beda. Makanya suka ada istri yang ngamuk karena baca chat cewek padahal suaminya nggak ngapa-ngapain. Karena cemburuan? Ya, tapi juga karena berbeda mendefinisikan selingkuh.

Jadi definisi selingkuh misalnya:

Bagi si A adalah "chat sama cewek di luar urusan kerjaan"

Tapi bagi si B adalah "jalan berdua tanpa bilang, jalan berdua tapi bilang itu nggak selingkuh"

Atau bagi si C adalah "have sex sama cewek lain, kalau cuma chat mesra atau pegangan tangan mah biar lah, dia orangnya emang touchy-feely"

Ini melahirkan macam-macam tujuan selingkuh. Ada yang pengen aja nyoba pasangan lain, ada yang emang bosen aja sama istri/suaminya, ada yang cari adrenalin, ada yang khilaf, macem-macem lah.

Karena macem-macem, jadinya hasil akhirnya juga beda-beda. Ada yang bebal, abis ketauan selingkuh, ngaku khilaf, minta maaf, kemudian selingkuh lagi. Ada yang ngaku salah, minta maaf, kemudian ninggalin istrinya karena merasa bersalah. Ada yang ngaku salah kemudian ninggalin istrinya DAN ninggalin selingkuhannya. Ada yang ngaku salah kemudian nggak ulang lagi, selamanya kembali berkomitmen dengan satu pasangan.

Makanya dari awal saya bilang ini selingkuh setelah menikah. Karena banyak kok yang pas pacaran pacarnya banyak, pas nikah adem ayem aja nggak kepikiran punya banyak lagi.

Nggak bisa juga judge bilang "Kurang bandel sih waktu muda, jadi pas udah nikah bandel deh". Yaelah, yang dari muda sampai tua baik juga ada. Yang waktu muda bandel terus pas udah nikah tetep selingkuh juga banyak. Yang selingkuh mulu waktu muda, sampai nikah, terus tobat juga ada.

Who are we to judge?


Tapi intinya apapun definisi selingkuh, intinya selingkuh bisa terjadi karena tidak ada penghargaan terhadap komitmen. Tidak ada penghargaan pada pasangan. :)

*

Simpulan akhirnya menurut saya adalah, monogami tidak untuk semua orang tapi selingkuh itu mengkhianati komitmen. YA INI MAH UDAH TAU KELES, SIS.

Buat saya, yang perlu dilakukan adalah lower your expectation of marriage. Rendahkan ekspektasi kalian pada pernikahan. It's better to be surprised than to be disappointed.

Kasarnya, kasarnya banget nih: percaya lah pada pasangan kita tapi siapkan yang terburuk, jangan terlalu yakin 100% pasangan kita nggak akan selingkuh. Karena dia sendiri sebenernya nggak bisa jamin. Namanya jatuh cinta, khilaf, atau kalau kata JG, syahwat kadang mendahului otak.

Iya, kalian nggak salah baca. Nggak tau lagi gimana bikin kalimat yang lebih enak dibaca karena kalian tau saya nggak suka basa-basi tapi ya, itu intinya.

Nikahnya dibawa santai ajaaa, jangan sedikit-sedikit berantem. Jangan mengubah hidup pasangan meski udah nikah. Biarkan dia tetep ngerjain hobinya, biarkan dia tetep ngejar cita-citanya, jadi nggak ada beban "nikah kok hidup aku jadi gini". Cari tahu passion pasangan terus dukung! Passion bikin bahagia! Meskipun pasti ada yang berubah sih, tapi kan disesuaikan, makanya komunikasi itu penting.

(Baca: Mengurangi Berantem-berantem Setelah Nikah)

Jadi kalau sampai terjadi, kita mungkin akan lebih mudah memaafkan karena sudah menyiapkan. Karena selalu ada alasan. Khilaf juga boleh kan namanya manusia, asal bukan khilaf terus berulang-ulang aja.

Mungkin loh ya. Makanya saya nggak berani judge ibu-ibu yang bertahan meski suaminya selingkuh berkali-kali. Mungkin mereka tahu persis masalahnya di mana jadi memaklumi. Sakit hati mungkin iya, tapi maklum makanya bertahan.

Tapi kalau alesan bertahan karena ekonomi kasian sih huhu. Makanya perempuan harus berdaya! Harus punya penghasilan sendiri!

Atau bertahan karena anak. Pertanyaan saya selalu "apakah lebih baik membesarkan anak di pernikahan yang tidak sehat? Atau lebih baik membesarkan anak tanpa ayah/ibu tapi lingkungannya sehat?" Saya belum punya jawabannya.

Abis ini saya siap dibully "kok bikin selingkuh seolah wajar sih!" Nggak wajar tapi sangat sering terjadi toh? Abis gimana, memang nggak ada benang merah atau sesuatu yang bisa bilang "jika A maka dia selingkuh, atau jika B maka dia tidak akan selingkuh". Jadi tips biar pasangan nggak selingkuh juga susah dibuat.

*

Saya terlalu banyak dengar cerita langsung, semua contoh yang saya sebut di sini nyata adanya. Saya kenal pelaku selingkuh yang memang suka main cewek, yang baik-baik aja di rumah, yang sudah poligami tetap selingkuh, sampai ibu-ibu yang bahkan saya nggak liat kekurangan suaminya.

Well, ternyata kekurangan suaminya di ranjang sih jadi harus gimana coba. Diomongin diapain juga suaminya nggak bisa berubah jadi orang lain.

Dan patut diingat, ada juga yang selingkuh tapi itu bikin dia lebih bahagia. Dia selingkuh dan menemukan kebahagiaan lain, sehingga dia bisa selalu happy di rumah. Justru karena punya simpenan dia bisa jadi lebih sayang sama keluarga. Jadi nggak selalu kalau orang selingkuh terus jadi nggak perhatian sama pasangannya.

Model yang terakhir begini biasanya deg-degan takut kaya tupai. Karena terlalu lama, nyaman, dan bahagia punya simpenan, takut akhirnya jatuh jua alias ketauan sama pasangannya. LOL. Ini kisah nyata juga gengs, diceritakan langsung oleh pihak pertama. Beserta contoh tupai-tupainya. :)))))


Orang tidak berubah karena pernikahan, orang berubah karena dirinya sendiri. *tetep*

Juga rendahkan ekspektasi pada segala hal. Sejak awal nikah, jangan ngarep dikasih bunga, dikasih surprise tiap ulang tahun, atau hal-hal semacam itu. Kalau butuh didengarkan maka bicara, maka request, "DENGERIN AKU DONG" gitu. Pengen apa, butuh apa, bilang.

Jadi ketika ada orang lain yang ngasih perhatian, nggak gampang leleh karena komunikasi kita dengan pasangan lancar. Ketika ada yang flirting, pasangan suami istri yang komunikasinya lancar kemungkinan besar malah lapor sama pasangannya.

Kalau malah berantem, ya berarti punya masalah kepercayaan. Kalau malah jadi banyakan berantemnya dibanding nggak berantemnya? Ya berarti mungkin memang nggak cocok?

T_____T

Susah ya nikah?

Kalau kata mbak Vera (again mbak Vera, doi bisa difollow loh di Instagram @verauli.id):

Cinta butuh dipelihara agar terpelihara.

Iya pernikahan butuh dipelihara, butuh usaha, berusaha selalu kasih yang terbaik, kasih waktu, kasih perhatian, dan sebagainya. Pernikahan kan bukan Tesla, jadi nggak bisa autopilot. Pernikahan harus diusahakan berdua, jadilah pilot dan co-pilot. *maafkan analogi yang sungguh tekno*

Tapi yah, ini cuma dari saya yang kebetulan terpapar banyak sekali curhat soal selingkuh. Maaf sekali kalau ada yang menyakiti dan maaf kalau banyak yang bikin kaget.

Sekian dan terima kasih.

-ast-

Saya tidak setuju pelakor yang harus menjaga diri. Yang tidak boleh meladeni suami orang lain. Kenapa? Baca di sini; tentang Pelakor.

PS: Karena menulis ini saya jadi tahu ada istilah pebinor. Perebut bini orang. Ya, at least kini seimbang. Meski sekali lagi: urusan kita apa sampai harus melabeli orang dengan pelakor atau pebinor?