-->

Image Slider

Kenapa Saya Belum Mau Punya Anak Kedua

on
Monday, August 31, 2020
[SPONSORED POST]


Kemarin saya buka random question box di Instagram Story. Seperti biasa adaaa aja yang nanya “kapan mau punya anak kedua?”

Kalau kalian ngikutin perjalanan saya dari dulu, pasti tau ya saya takut banget punya anak kedua. Saya bingung sama ibu-ibu yang anaknya baru umur 1-2 tahun terus udah gemes-gemes punya anak kedua karena saya nggak merasakan itu. Ternyata setelah dikasih pandemi, baru sadar KENAPA-nya.

Karena Bebe ternyata bukan anak biasa hehehe. Baru keliatan saat pandemi karena dia diam di rumah, bisa dibilang tanpa stimulasi apapun. Sementara dia biasanya TK dan daycare montessori di mana semua indera terstimulasi dengan baik. Jadi dia “tampak” baik-baik aja. Ternyata nggak.

Awalnya kami bingung karena merasa dia regresi atau mengalami kemunduran perilaku. Ke toilet jadi nggak berani sendiri. Misal saya lagi tanggung kerja, dia mending tunggu saya dan nahan pipis lari-lari keliling ruangan dibanding harus pipis sendiri. Terus sering ketakutan, dia katanya takut ada orang jatoh tembus dari langit-langit (?). Lalu sebelumnya udah berani tidur sendiri sekarang nggak mau lagi.

Ah suramlah, pokoknya repot banget. Dulu sebelum masuk preschool (umur 3 tahun) dia emang begitu, sampai dulu tuh dia takut banget ke ruang tamu sendiri karena katanya takut ada motor orang masuk ke rumah :))))

Nah, pandemi ini kan stresful bukan cuma buat orang dewasa ya tapi juga bisa bikin stres anak maka akhirnya bikinlah janji dengan psikolog anak. Saya cerita panjang lebar, akhirnya diputuskan untuk assessment karena psikolognya mencurigai Bebe SPD, Sensory Processing Disorder.

SPD ini lengkapnya kalian googling aja tapi intinya otaknya kesulitan memproses stimulasi sehingga jadi oversensitive bahkan pada kejadian sehari-hari. Ini sebabnya dia nggak suka banget tuh jalan nyeker, jijik kalau harus pegang lem atau benda-benda dengan tekstur tertentu, picky eater, tantrum parah karena overstimulated, suka main di tempat gelap karena nggak suka cahaya, dan banyak lagi.

Dulu dia denger suara toilet di-flush aja nangis karena menurutnya suaranya kekencengan. Sentuh-sentuh nggak mau, nyeker boro-boro, tangan kena lem aja bisa nangis. Awal-awal di daycare kan kalau main di luar nyeker tuh, BEBE SIH PAKE KAOS KAKI :)))) Baru setelah beberapa lama kemudian, mau jalan dan main nyeker. Mulai nggak picky eater, dan semua jadi lebih mudah.

Jadi iya, saya udah curiga dia ada masalah sama oversensitivity (dulu belum tahu istilah SPD) ini sejak dulu banget. Tapi SEBELUM PANDEMI, setiap ketemu psikolog selalu dibilang “selama nggak ganggu sehari-hari sih nggak butuh assessment”.

Ya setelah masuk preschool emang jadi nggak ganggu sih. Tapi ternyata nggak ganggu itu karena dia distimulasi dengan baik di sekolah dan di daycare. Begitu sekolah dan daycare hilang? Bubar.

Hasil assessmentnya itu dia SPD moderat (2 poin lagi jadi berat hehe). Psikolognya kaget katanya “dipikir akan ringan, ternyata moderat” yah saya sih udah mikir nggak akan ringan hahaha ini anak emang super duper sensitif gitu SEMUA inderanya bukan cuma 1-2 doang.

Jadi sekarang dia home therapy, dikasih jadwal dalam seminggu harus ngapain aja karena kalau nggak diintervensi segera, nanti dikhawatirkan jadi masalah lain di umur 8 tahun ke atas, bisa jadi masalah emosi atau masalah di sekolah.

Kebayang nggak tuh harus SFH, WFH, dan home therapy? :)))))

Saya sama JG sampai bengong berdua: OH INI SEBABNYA KAMI MERASA PUNYA ANAK ITU SULIT. Literally memang dia terlahir dengan temperamen difficult, dengan kondisi khusus. Ya memang susah.

Pandemi ini menyadarkan kami kalau punya anak itu sulit, lebih sulit lagi karena pandemi. Suka nggak suka, punya anak itu nggak segampang pra-pandemi.

Dulu punya anak SPD aja sampai nggak keliatan lho saking semua di-outsource aja ke daycare dan sekolahnya. Di rumah tinggal untel-untelan doang bonding. Sekarang mana bisa. Sekarang kalau mau punya anak, tanggung jawab sendiri! :)))

Padahal pra-pandemi, saya sama JG udah mulai goyah “eh kita tuh bisa kali ya punya anak lagi” gitu. Karena Bebe juga kerasa mandiri banget, udah gede, dan liat kondisi finansial kami pun udah jauh lebih baik. Sampai IUD kadaluarsa aja ditunda-tunda gantinya karena nanti dulu ah SIAPA TAU mau punya anak kedua gitu.

JRENG TIBA-TIBA PANDEMI. Tiba-tiba disadarkan punya anak kok harus diurus sendiri ya nggak bisa diserahkan pada orang lain lol. Mau pake mbak pun (bagi kami) nambah risiko 1 orang lagi di rumah kan.

Lalu ternyata Bebe punya kondisi khusus. Langsung melarikan diri ke dokter kandungan untuk ganti IUD hahahaha. Iyalah kalau emang nggak mau punya anak ya tanggung jawab dengan pakai kontrasepsi. Kan udah yakin, nggak deh, nggak sanggup kalau harus punya anak lagi dengan kondisi kaya gini. Sudahlah kembali ke rencana awal anaknya satu aja. Untung belum keburu hamil huhu.

Belum lagi awal-awal pandemi itu kan Bebe lagi kejar berat badan ya. Takut banget gagal tumbuh karena ya hampir gagal tumbuh masa iya dalam setahun beratnya nggak naik sama sekali.

Naik turun sih tapi kalau dilihat berat tahun lalu dan tahun ini, nggak naik sama sekali sementara anak di atas 1 tahun HARUS naik berat badan 2 kg setahun atau ya gagal tumbuh. REPOT BANGET KAN! Aku nggak mau punya anak lagi karena gemes-gemes doang tapi terus tumbuh kembangnya nggak maksimal. Pasti merasa bersalah banget. PUNYA ANAK ITU HARUS SIAP!

Tapi aku tau banget nih lagi pandemi gini malah banyak yang hamil! Ngerti sih di rumah aja ketemu suami terus yha malah pada bikin anak padahal please banget punya anak tuh dipikirin ya apakah siap fisik, mental, dan finansial?

Apalagi kalau anak kedua atau ketiga dan seterusnya, apakah sudah memperhitungkan jarak kelahiran sehingga si kakak sudah mendapat semua haknya sebagai anak? Si kakak setidaknya sudah selesai mendapat haknya atas ASI dan sudah paham tentang punya adik. Kalau dari saran BKKBN sih jangan sampai ada 2 balita dalam 1 keluarga jadi idealnya emang hamil lagi ketika si kakak udah umur 4 tahun. Jadi selama balita, kita bisa fokus sama tumbuh kembang anak maksimal, fisik dan mental.

Makanya aku setuju banget sama dr. Boyke di video Ninja Talk ini. Kalau emang nggak mau punya anak AYO PAKE KONTRASEPSI. Banyak banget yang pake kontrasepsi nggak mau, begitu hamil panik sendiri. Ya gimana dong, masa iya berharap tidak hamil tanpa usaha apa-apa? Pakai kontrasepsi itu usaha dulu untuk menunda kehamilan, kalau emang tetep dikasih barulah pasrah. Yang penting kan usaha dulu. Videonya bisa ditonton di sini atau play langsung di bawah:


Apalagi yang kondisi keluarganya nggak benar-benar sehat ya! Nggak sehat di sini baik sebagai pasangan suami istri maupun kondisi finansial. Banyak yang penghasilan berkurang atau kehilangan pekerjaan. Eh abis itu malah hamil. Jangan dong ya huhu.

KECUALI memang kalian udah rencana dengan matang mempersiapkan anak. Jadi emang udah pandemi nggak pandemi, memang lagi program punya anak. Nah ini beda cerita.

Kalau udah kaya gini, pastikan aja kalian hamil dengan sehat ya! Diam di rumah karena kita masih nggak tau tuh efek ibu hamil kalau kena Covid-19. Plus nggak usah ke rumah sakit umum! Pilih aja klinik bersalin atau rumah sakit ibu dan anak yang cenderung lebih sepi. Jangan lupa tetap ikut protokol kesehatan dan jaga imunitas,

Ini juga dibahas tuntas oleh dr. Boyke di video Ninja Talk yang ini. Dokter Boyke cerita lengkap banget tentang do’s and don’ts kehamilan saat pandemi gini. Kapan perlu ke RS kapan jangan. Penting banget jadi nonton deh. Di sini atau di bawah ini ya!


Begitu ya. Semoga postingan ini menjawab kenapa saya dan JG begitu takut punya anak lagi. Maka pakai kontrasepsi yuk nggak bosen-bosen deh saya ngingetin kalian untuk pakai kontrasepsi. Pakai kontrasepsi adalah bentuk tanggung jawab sebagai orang dewasa yang sadar pada kemampuan diri sebagai orangtua. Demikian. :)

-ast-







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Sekolah dari Rumah, 3 Minggu Kemudian

on
Sunday, August 2, 2020

Awal menyadari bahwa hasil menabungku bertahun-tahun hanya akan berakhir si Bebe sekolah di rumah rasanya aduh ngapain sekolah kalau gini mending tahun depan aja biar sekolah offline!

(Padahal nggak ada yang jamin tahun depan udah bisa sekolah offline kan hedeh). Soalnya sekolah montessori harus online tuh hedeh, aparatusnya gimana? LOL melupakan montessori adalah filosofi bukan material :')))

Lalu juga khawatir karena beberapa minggu sebelum mulai SFH, Bebe sempat regresi dan perilakunya kembali ke usia 3 tahun, belum cerita detail soal ini memang nanti-nantilah, tapi intinya ini menambah kekhawatiran. Jadi 2 minggu sebelum hari H masuk SD, kami konsul sama psikolog soal ini, assessment, juga sekalian nanya-nanya persiapan untuk masuk SD online.

Bebe adalah anak difficult. Iya selama ini emang saya selalu bilang dia anak slow to warm up padahal sebetulnya dia terlahir dengan temperamen difficult tapi karena stimulasi baik, nurturing baik, dia jadi lebih mudah beradaptasi sehingga ya udah seperti anak slow to warm up. 

Dikasih pandemi 3 bulan? YA BUBAR LAGI BUK. Udalah selama pandemi ini nggak bisa lagi sok-sok bilang slow to warm up, difficult aja intinya. Karena kurang stimulasi, kurang interaksi sosial, kurang quality time sama saya dan JG. Mending dulu pas kerja, pulang tuh langsung fokus quality time, lha sekarang 24 jam bareng kok malah susah quality time HUHU SEDIH BANGET.

Lalu ingat dia adalah anak dengan gaya belajar kinestetik. Dia perlu bergerak-gerak untuk konsentrasi alias tipe anak yang jumpalitan banget nih baru pelajarannya masuk. Dulu saat belajar baca, saya kasih dia waktu roll depan dan lompat-lompat di kasur tiap berhasil baca 1 kata.

Terakhir, dia adalah anak ekstrovert. KAMI BERTIGA ADALAH KAUM EKSTROVERT. Jadi kami perlu berada dalam keramaian untuk bisa recharge energi. Kalau sepi-sepi gitu aduh lemes deh. Iya emang lemes terus selama di rumah aja ini. Bulan-bulan awal parah sih lemes luar biasa, sekarang udah mulai adaptasi.

Jadi Bebe adalah anak yang semangat kalau melakukan sesuatu bareng sama temannya. Kalau sendirian? Ya bosan.

Seminggu jelang sekolah, kok khawatir ya dia nggak bisa ngikutin pelajaran? Karena selama 3 bulan di rumah, harusnya dia TK dari rumah dong kan, tapi kan nggak mau. Selama 3 bulan saya bayar TK tapi si Bebe sekolah via Zoom mungkin cuma 5x. Padahal TK kan Zoomnya cuma setengah jam, itu aja nggak betah. Jadi 3 bulan liburan.

Maka ketika dapat jadwal pelajaran dan ngeliat wadawww ternyata SD sekolahnya 4 jam! Ibu cemas banget langsung mikir keras gimana caranya sih bikin dia stay di Zoom 4 jam, setengah jam aja menangis (ibu yang nangis bukan Bebe HAHA).

Maka kami pun meminta waktu pada guru kelasnya untuk one on one. Ini menurut saya penting agar gurunya tau karakter dia seperti apa (difficult, kinestetik, ekstrovert, sedang dalam kondisi yang butuh pendampingan psikolog) dan jadinya nggak berharap dia akan sejalan dengan anak lain.

YA PAHAM SEKOLAH MONTESSORI NGGAK AKAN BERHARAP ANAK JALAN SAMA-SAMA TAPI JUST IN CASE?

Selama one on one itu gurunya menenangkan dan bilang kalau nggak ada paksaan apapun. Saya pun bilang kalau dari saya nggak ada ekspektasi apa-apa. Kalau dia harus ngulang lagi kelas 1 tahun depan pun nggak masalah. Pokoknya set ekspektasi bahwa kami di rumah akan berusaha agar dia mau sekolah, tapi kalau pun tidak mau ya sudah. Gurunya oke.

Ternyata kekhawatiran itu cuma kekhawatiran aja ahahahaha. Emang kita tuh kadang suka meremehkan anak ya.

Sebelum masuk ke cerita SFH (EH BELUM MASUK CERITA YA? UDAH PANJANG GINI), baik psikolog maupun kepsek dan guru tuh sama-sama mengingatkan satu hal: RUTINITAS.

Rutinitas adalah kunci kesuksesan sekolah di rumah. Bagi anak kinestetik seperti Bebe, energizer di pagi hari itu wajib. Sebelum sekolah dia harus keluar rumah, lari-lari, ngapain lah pokoknya berkegiatan fisik biar lebih fokus saat mulai belajar.

Oke, maka saya dan JG bagi tugas. Kami berdua sama-sama akan bangun di jam 5 pagi, saya akan kerja sampai Bebe mulai sekolah jam 8.30. Selama itu, JG akan masak makan siang, energizer sama Bebe, sarapan, dan mandi. Setelahnya JG kerja, Bebe lanjut sekolah sama saya.

Pun ada kesepakatan sama Bebe bahwa sekolah tidak wajib. Tapi konsekuensi dari tidak sekolah dan tidak kerjakan tugas adalah sorenya tidak main game. Bebe setuju. Kami juga sama-sama run through jadwal pelajaran biar Bebe paham bahwa jadwal ini adalah kesepakatan bersama antara dia, kami, dan sekolah. Bukan suka-suka dia.

Hari pertama: Sepanjang Zoom nggak mau unmute sama sekali, nggak mau memperkenalkan diri, DIAM SEPANJANG HARI, iPad dibawa jalan-jalan jungkir balik tengkurep tapi diam. Ibu cheerleading mode, menyemangati terus.

Hari kedua: Mulai mau unmute sesekali tapi jawab sangat-sangat pelan. Kali ini yang cheerleading appa karena ibu ada syuting HAHAHAHA. Appa berakhir menangis (literally) karena udah masak sendiri, anaknya nggak mau makan, eh lalu piringnya jatoh dan tumpah. :))))

Hari ketiga: Mulai semangat, ngerjain tugas maunya selesai duluan terus suaranya mulai kedengeran “miss aku udah!” tapi baper dia karena miss nggak denger siapa yang ngomong. Saya suruh ulang bilang “bilang dong, miss Xylo udah” malah manyun.

Hari ini baca short story bahasa Inggris lancar meski suaranya pelan sampai iPad saya deketin banget ke depan muka dia khawatir miss nggak denger. Tugas selesai semua. IBU BANGGA BANGET TOLONG? Ibu masih full cheerleading mode. CAPEK YA TUHAN.

Hari kelima nggak mau sekolah nyahahahahahahaha. Udah energizer, sarapan, mandi, pake seragam. Sambil sarapan tuh sambil saya bacain buku. Begitu sarapan selesai, buku ditutup. Matanya berkaca-kaca “aku masih mau baca buku, aku nggak mau sekolah”. Yhaaa bagaimana.

Dia nangis telungkup di kasur lalu ketiduran ya udalah biarin. Jam 10-an dia bangun disuruh lanjut kelas lagi mau. Berarti tadi pagi ngantuk aja sih.

Dua minggu awal dia nggak mau sekolah sekali, ngambek left meeting duluan sekali karena disuruh baca Al-Fatihah tapi dia nggak mau, dan left meeting sekali lagi karena … jatoh dari kursi. Ya gimana sih kursi ada rodanya dipanjat-panjat, ya jatoh.

Ngeselinnya ya pas jatoh kan saya tangkap tuh tangannya, eh dia malah bilang “ibu dorong aku!” IDIH GEER AMAT! Saya kesel lah, ngapain aku dorong kamu biar jatuh? Kata dia “aku harusnya nggak jatuh, ibu dorong jadi aku jatuh!” WAW BYE. Saya menghindar dulu deh saking marah banget dituduh jatohin. Dia lanjut kelas sama JG.

Minggu ketiga ini alhamdulillah semua udah jauh lebih lancar. Bangun pagi nggak drama asalkan malemnya jam 8 udah tidur. Pun akhirnya di minggu kedua saya tinggal. Saya sok-sok sibuk gitu banyak kerjaan lalu diem di kamar, dia di kamarnya sendiri dan ternyata lebih enak begitu. Nggak manja.

Ya emang gitu kan ya kalau ada ibu segala-gala rasanya susah, lemes, kalau ibu nggak ada ya udah biasa aja. Saya bilang “kamu kenapa sih kalau sama ibu baby kalau sama miss jadi anak besar?” dia jawab “emang, aku maunya baby aja kalau sama ibu” HAHAHA AUK AMAT.

Tiap pagi bangun pun nggak susah, jam biologisnya udah terbiasa. Saya pun udah nggak struggling bangun jam 5 lalu kerja. Malah rasanya sehat banget karena tiap malem tidur jam 9 bangun jam 5, kulit pun jadi sehaattt banget. Emang tidur tuh krusial ya.

Saya bersyukurrr banget bisa sekolah di sini. Pelajarannya komprehensif dan anak-anaknya setara semua kemampuannya dengan Bebe. Semua udah lancar bahasa Inggris, baca tulis lancar, menghitung sederhana lancar. Missnya pun engaging banget jadi anak-anak nggak bosen. Tiga minggu sekolah udah planting, manasik haji online, dan cooking class.

Ini aja long weekend semalem dia sedih. “Besok minggu ya ibu? Aku mau sekolah aja, I’m soooo bored kalau tidak sekolah”. Wah seneng banget ibu dengernya huhu. Anak-anak kelas 1 seperti Bebe gini kan nggak punya pembanding sekolah offline, jadi sekolah itu ya Zoom. Mereka baik-baik aja, kita yang khawatir aja karena terpapar gadget terus kan?

Tapi ya udalahlah, emang zamannya begini juga. Jangan lupa main keluar aja dan video call orang selain orang rumah biar anak nggak lupa caranya ngobrol sama orang lain.

Gitu aja sih. Kita nggak tahu kapan kehidupan akan kembali seperti semula jadi beradaptasilah! Cari solusi konkrit sebetulnya mau hidup dengan cara apa sih kalau selamanya harus begini? Ayo coba dipikirkan pelan-pelan.

Kemarin juga saya story panjang lebar tentang mendefinisikan ulang sekolah. Sekolah nggak bisa lagi jadi solusi tunggal untuk pendidikan karena kalau dulu sih iya, bagi tugas sama sekolah. Sekolah mendidik dengan ilmu, di rumah orangtua menyamakan visi misi dan value lalu tinggal bonding dan quality time sama anak. Sampai-sampai cari sekolah tanpa PR biar di rumah bebas. LHA SEKARANG?

Sekarang batas antara sekolah dan rumah jadi bias, kalau merasa sekolah sudah tidak bisa jadi sarana belajar yang baik ngapain masih sekolah coba? Dicari solusi lain aja misal homeschooling atau panggil guru ke rumah. Nggak ada formula yang sama untuk setiap keluarga, solusinya akan sangat beda bergantung kondisi masing-masing.

Semangat buibu yang nemenin anak SFHHHH!

-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!