-->

Image Slider

Showing posts with label JG & AST vs Life. Show all posts
Showing posts with label JG & AST vs Life. Show all posts

Semangat Shanti Persada Melawan Kanker #FinishTheFight

on
Thursday, October 29, 2015
Photo by: Darwis Triadi.

Setiap kisah selalu punya dua sisi. Kalau cerita tante saya membuat mengharu biru, beda lagi dengan kisah perempuan satu ini. Ia juga divonis breast cancer 5 tahun lalu. Bedanya ia malah menginspirasi banyak orang. Termasuk saya. :)

Hari itu ruangan depan kubikel saya terisi orang baru. Perempuan berkulit putih dengan rambut sebahu. Sepatunya selalu berhak tinggi. Dressnya selalu licin rapi. Berbeda dengan saya yang kadang rasanya ingin dasteran saja ke kantor hahaha


Satu hal, wajahnya sama sekali tidak asing. Mencari tahu namanya, saya langsung browsing: Shanti Persada. Cobalah sendiri, apa yang muncul di Google. Pantaslah tidak asing, wajah ini sering muncul di media.

Iya, mbak Shanti begitu saya biasa memanggilnya adalah seorang cancer fighter. Ia founder komunitas Love Pink Indonesia. Komunitas yang ia dirikan sebagai support group bagi para cancer fighter.



Mbak Shanti divonis kanker payudara 12 Maret 2010. Di acara Kick Andy setahun yang lalu, ia mengaku tak pernah menyangka harus hidup bersama kanker. Apalagi saat itu, ia langsung divonis di stadium 3B di payudara kanannya.

"Sabtu pagi itu saya ke ahli onkologi, tapi kondisi payudara saya sudah seperti kulit jeruk dan puting tertarik ke dalam. Dokternya terkejut melihat kondisi fisik payudara saya dan memperkirakan sudah stadium 3B. Saat itu, dunia seperti berhenti berputar," ujarnya.

Namun kemudian, ia teringat ibunda dan anak perempuan satu-satunya di rumah. Ia pun bertekad harus sembuh dan sehat kembali.

"Saya terpikir mama saya umurnya 81 tahun waktu itu, beliau masih sehat dan kuat. Saya mau anak saya ketika seusia saya, masih punya ibu seperti saya," lanjutnya.

Mendirikan LovePink

Mbak Shanti kemudian menjalani serangkaian perawatan. Ia bertemu dengan Madelina Mutia yang juga sedang berjuang dengan kanker yang sama. Mereka berdua kemudian membentuk support group bernama Love Pink pada 2012.

Love Pink didirikan untuk membantu penderita melewati masa kritis selama perawatan. Misinya adalah memberi dukungan mental pada teman-teman yang terdiagnosa kanker dan mengkampanyekan deteksi dini payudara.

Punya pengalaman sebagai cancer fighter membuat keduanya tahu persis bahwa mental support adalah kekuatan utama untuk bisa menjalani berbagai rangkaian terapi untuk proses penyembuhan.



Terakhir, Love Pink menggelar event Jakarta Goes Pink yang diikuti oleh 9 ribu orang 4 Oktober lalu. Berpakaian pink, mereka berjalan kaki dari Parkir Timur Senayan sampai Jalan Jenderal Sudirman. Semua untuk meningkatkan kesadaran bahwa kanker payudara bisa datang pada siapa saja. Pada pria sekali pun!



"Sebagai penderita kanker payudara, pelajaran paling berharga yang kami dapatkan adalah bahwa sikap dan cara pandang merupakan hal yang yang terpenting. Masing-masing dari kami masih berjuang, tetapi kami tidak lagi menghadapinya sendiri." -- Love Pink.
*

Beberapa bulan berlalu setelah pertemuan pertama itu, saya jadi sering bertemu dengan mbak Shanti karena minimal seminggu sekali kami weekly meeting bersama. Sampai suatu hari di pertengahan minggu, ia bilang harus check up rutin ke Singapura.

Hari Senin ia sudah masuk kerja kembali. Dengan high heels berwarna peach dan dress selutut dengan outer berwarna senada. Saya ingat persis ia membawa buah untuk cemilan saat meeting. Siangnya ia mewawancarai seorang calon karyawan. Ia memanggil saya ikut masuk ke ruangannya.

Usai wawancara, calon karyawan pulang. Saya menanyakan kabar. Bagaimana Singapura?

"Iya jadi kemarin waktu check up, ternyata ketemu lagi, Cha. Di sini," ia berbicara sambil menunjuk lehernya. Nada bicaranya santai sekali. Seperti orang yang menunjukkan ada bentol gatal digigit nyamuk semalam. Yang terkejut siapa? Ya saya dong.

"Hah?! Ketemu apa? Kanker lagi?" tanya saya. Ia kemudian menjelaskan ya, kanker kelenjar getah bening. Dan langsung dioperasi saat itu juga.

"Buat apa sih ditunda? Toh ujungnya harus operasi juga kan. Dokter tanya apa aku nggak ingin konsultasi sama keluarga dulu di Indonesia? Tapi untuk apa? Malah buang waktu kan minggu depan harus ke Singapura lagi," ujarnya.

Padahal ia ke Singapura hanya berdua dengan anaknya. Selama ia check up, anaknya jalan-jalan karena tak tega anak 15 tahun harus menemani ibunya di rumah sakit. Lagipula ia bisa sendiri. Bahkan saat keputusan operasi pun, anaknya tak diberitahu.

Setelah sadar benar dari operasi, dia langsung pulang ke hotel tanpa rawat inap. Rumah sakit Mt Elizabeth memang tak pernah menahan pasien untuk rawat inap jika tidak sangat kritis. Menurut pihak RS, orang sakit sebaiknya dirawat di rumah, karena rumah sakit justru sarang penyakit.

"Kemarin tuh passs banget cek tahun kelima. Eh nggak lolos, dikasih tantangan lagi. Ya udah jalani aja," katanya.

Jadi begini, seseorang yang sudah pernah kanker, harus rutin check up 6 bulan sekali untuk memastikan sel-sel kanker itu benar-benar bersih. Nah jika sudah lewat 5 tahun dan benar bersih, maka bisa dibilang sebagai cancer survivor. Tapi ketika belum lewat 5 tahun, maka ia masih seorang cancer fighter. Tepat di pemeriksaan tahun kelimanya, mbak Shanti ternyata terkena lagi kanker getah bening dan menyebar ke paru-paru.

Ia pun kemudian menjalani operasi dan kemoterapi lagi. Untuk proses pengobatan kali ini ia sempat terbang ke Guang Zhou dari Mei hingga Agustus 2015. Beberapa kemo juga dilakukannya di sana.

Di sela-sela kesibukannya bekerja dan bersama Love Pink, mungkin sedikit sekali yang tahu kalau ia masih menjalani kemoterapi. Teman-teman kantor saya saja malah banyak yang tidak tahu kalau ia seorang cancer fighter. Kenapa? Karena tidak terlihat sama sekali. Ia selalu segar dan ceria. :D

Karena merasa cantik itu penting bahkan saat kita sedang berada di titik terendah. Jadi ia selalu memastikan untuk tampil cantik dan berdandan agar auranya positif. Agar orang yang melihat pun senang dan tidak terbawa negatif.

"Waktu gue operasi cancer yang pertama, temen-temen bagi tugas. Pas keluar ruang operasi, siapa yang mau pasangin lipstik. Bener dong, begitu kelar operasi, gue langsung dipakein lipstik merah," ujarnya sambil tertawa.

Sebelum pergi ke Guang Zhou, saya dan beberapa teman sempat menjenguknya di rumah sakit. Kali ini bukan hanya lipstik merah, tetapi bulu mata palsu juga siap siaga. Pin berbentuk pita pink juga disematkan di bajunya sebagai tanda kalau ia sedang berjuang.

Meski di rumah sakit, mbak Shanti tidak tiduran, duduk tegak seperti orang sehat. Mengobrol dan tertawa seperti tak ada apa-apa. :)



Setelah itu kami jarang bertemu. Sesekali saya menyapa via WhatsApp, mengucapkan selamat ulang tahun. Memberi icon love di status Path-nya yang selalu sibuk wara-wiri dengan kampanye Love Pink. Apalagi bulan ini memang bulannya kanker payudara, sibuknya tiada dua.

*



Sampai beberapa hari lalu. Di ulang tahun XL yang ke-19, saya datang sendirian. Di barisan terdepan duduklah ia bersama dua temannya dari Love Pink, Samantha Barbara dan Dede Gracia. Ternyata CEO XL temannya semasa kuliah. Saya langsung menyapa dan jadi duduk di sebelahnya. Di depan kami, duduk berbaju putih bapak Menkominfo Rudiantara.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung memperkenalkan diri pada Pak Menteri. Memberinya booklet Love Pink, mengajaknya bekerjasama. Pak Menteri setuju.




Pak Menteri tak tahu, mbak Shanti bersama rombongan Love Pink baru datang dari Bandung kemarin. Bertemu dengan Walikota Bandung Ridwan Kamil, bertamu dan mengajak serta untuk kampanye kesadaran akan kanker payudara. Kang Emil memberi satu karyanya (saya lupa bentuknya apa) untuk dilelang dan hasilnya disumbangkan bagi para cancer fighter.


*

Jadi ya, kanker payudara bisa terjadi pada siapa saja. Tidak bergantung pada usia, status sosial, atau status ekonomi. Punya tante yang meninggal dunia karena kanker payudara saya tahu sulitnya untuk bertahan karena rangkaian pengobatan yang banyak dan menyakitkan. Tapi dunia belum berakhir.

Tetap semangat! Kalau menginspirasi, share yuk tulisan ini. Agar lebih banyak lagi yang teredukasi dan terinspirasi. Klik button share di bawah postingan ini ya! :)


Lebih lengkap tentang kanker payudara bisa diunduh di sini.

#finishthefight #gopink #breastcancerawareness.

Sumber foto: dokumentasi pribadi, dokumentasi Shanti Persada, dan Facebook LovePink Indonesia.

-ast-




Tentang Kanker Payudara, Let's #FinishTheFight!

on
Thursday, October 22, 2015

Dini hari itu, 24 Juni 2013 pukul 1 pagi. Dua bulan menuju pernikahan kami, saya dan JG berjalan menyusuri trotoar Kuningan yang sunyi senyap. Kami baru datang dari Bandung. Dari pool travel, berjalan kaki menuju kantor JG untuk mengambil motor yang akan mengantar kami berdua ke kost masing-masing.

Malam itu saya gelisah. Ponsel saya pegang erat. Berkali memeriksa layarnya karena seolah mendengar nada dering. Padahal tidak ada siapapun yang menelepon.




LIFE SERIES: Nannynya Bebe

on
Sunday, June 28, 2015

Kemarin pas Bebe ulang tahun, nanny-nanny daycare pada ribut minta traktir. Saya bilang nanti saya bawakan pizza aja ke daycare. Eh mereka nolak. Pengen makan di restorannya katanya.

Berdiskusi dengan supervisor daycare, akhirnya diputuskanlah untuk makan di P*zza Hut. Pertimbangannya karena ya murah dan deket dari daycare. Terus ternyata makan di restoran juga jadi experience sendiri buat mereka.





Tentang Nasib Manusia

on
Friday, June 19, 2015



Saya orangnya emang nggak boleh kebanyakan bengong. Nanti jadi kebanyakan mikir. Kebanyakan khawatir. Kebanyakan pertanyaan. Heboh deh, harus minta jawaban sama siapa?

Saya selalu senang mengobrol dengan orang baru, apalagi orang asing. Supir taksi, supir Go-Jek, abang tukang jualan, orang di antrian depan, orang di antrian belakang. Siapapun. Selalu ada hal baru, selalu ada hal-hal yang tidak terduga. Nasib orang memang beda-beda.

Orang pertama sejak lahir tidak pernah susah. Laki-laki 50 tahun ini sejak bayi sudah jadi sosialita. Hidup mewah, kuliah di Amerika, pulang ke Indonesia diwarisi puluhan restoran. Jadi CEO di sana-sini tanpa pernah tahu rasanya jadi karyawan biasa dengan gaji 3juta. Uang sebanyak itu hanya seharga setengah atau bahkan seperempat pasang sepatunya. Sepatu yang ia koleksi sebanyak satu ruangan 3x3 meter persegi. Semua hanya bermodal nama belakang saja. Sungguh modal yang sulit dimiliki. Pantas artis cantik itu mengubah namanya menjadi ikut nama belakang suami. Padahal nama belakang suaminya berlumur lumpur.

Orang kedua nama belakangnya bukan siapa-siapa. Nama keluarga mereka hanya dikenal di RT rumahnya. Paling banter di RW karena ibunya rajin pengajian dan kondangan. Di usianya yang ke-48, perempuan yang selalu berhak tinggi ini sukses jadi CEO juga. Harga sepatunya sama seperti orang pertama. Tidak ada yang sadar, puluhan tahun dia putar otak banting tulang menjaga perasaan demi jadi CEO. Posisi yang sama dengan orang pertama. Sama posisi, beda proses. Jauh berbeda.

Orang ketiga lebih bukan siapa-siapa. Sehari-hari ia tukang ojek. Ia harus menghidupi anaknya yang akan masuk SMA sebagai single parent. Berjuang menembus panas dan debu ibukota dari rumah sempitnya di Depok. Dimaki penumpang karena tak hapal jalan sudah biasa. Bermodal motor bebek yang cicilannya masih setia hingga 2 tahun lagi. Pulang ke rumah jam 10 malam. Ia masih harus membersihkan rumah, mencuci baju. Tak lupa memasak nasi untuk sarapan esok hari. Iya, orang ketiga ini perempuan.

Orang keempat karyawati sebuah televisi swasta. Masuk kantor jam 12 siang, ia bisa pulang jam 4 ... pagi esok harinya. Kamar kostnya sempit dan pengap tanpa AC. Seukuran lemari sepatu orang pertama. Gajinya juga setengah atau bahkan seperempat harga sepatu orang pertama. Meski jarang pulang kampung bertemu orang tua, ia bekerja sesuai passion yang jadi cita-citanya sejak dulu. Ia pelanggan setia orang ketiga.

Orang kelima selalu berpakaian rapi, ia sales manager di perusahaan milik keluarga orang pertama. Kemeja favoritnya adalah keluaran brand Jepang yang super kering. Bikin kering gajinya mungkin. Sepatunya selalu sneakers berwarna-warni limited edition. Satu model pasti ia beli beberapa warna. Sarapan pagi di coffee shop, makan siang di resto, makan malam di cafe. Weekend getaway ke Bali atau Singapura. Tiga bulan sekali ke Jepang. Enam bulan sekali ke Eropa. Berbelanja.

Orang keenam tak akan dilirik orang pertama, kedua, dan kelima. Keluarganya hidup dari sebuah lapak sayuran ilegal di trotoar jalan. Trotoar di mana mereka berbagi tempat dengan sesama pedagang sayuran. Mencuri listrik, kucing-kucingan dengan satpol PP, entah melanggar berapa aturan hukum. Berdua dengan istrinya ia melayani pelanggan dari lepas magrib hingga subuh. Anak balitanya ia bawa, berbekal makan mie instan goreng. Dari lapak ilegal itu ia sudah bisa membeli sebuah mobil Avanza modal pulang kampung ke Jawa.

Orang ketujuh seorang istri solehah, pembantu rumah tangga di rumah orang kedua, pelanggan setia orang keenam. Rajin mengaji. Jilbabnya syar'i. Gaji yang ia terima lebih dari cukup karena majikannya terlampau baik budi. Ia bekerja rajin tanpa cela. Sering dibawa bepergian sampai luar kota. Ia juga yang bertanggung jawab pada anak majikannya yang kini jadi pandai ilmu agama. Jadi pandai mengaji juga. Ia menganggap anak majikannya seperti anaknya sendiri. Yang ia tidak punya.

Orang kedelapan pegawai rendahan di departemen agama. Gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kadang terpaksa meminjam ke koperasi. Dua puluh kilometer setiap hari ia tempuh dengan motornya yang selalu bersih mengilap. Tak lupa jaket kulit butut yang sudah menemaninya selama 15 tahun terakhir. Ia dikenal sebagai pekerja keras. Di usianya yang hampir 50 tahun, ia masih harus menghidupi anak bungsunya yang baru akan masuk TK.

Orang kesembilan ini laki-laki, karyawan biasa yang bekerja jam 8 hingga jam 5. Merantau di Jakarta, tahun ini adalah tahun kedelapannya. Kerja berjam-jam menembus macet Jakarta, gajinya tiap bulan selalu habis seketika untuk mencicil rumah, mencicil mobil, membayar kontrakan, membayar segala kebutuhan anak istrinya. Satu motor tua dan satu mobil yang lebih tua menemani hari-harinya mengantar anak dan istrinya. Ia juga pelanggan setia orang keenam.

Orang kesepuluh perempuan. Bekerja dengan gaji lumayan jauh dari UMR Jakarta. Jumlah yang persis sama ia dapatkan juga dari suaminya. Meski begitu ia harus tetap bekerja karena gaji suaminya pasti habis dalam satu hari untuk membayar ini itu. Hidupnya enak, seminggu sekali atau dua, pergi ke mall seperti layaknya kaum urban Jakarta. Melepas stres katanya. Suaminya pasti setuju. Mall memang jalan keluar dari stres yang paling mudah. Makan di resto Jepang favorit atau sekadar cuci mata membeli sepatu atau tas. Senang barang branded yang diskon. Tipikal kelas menengah ngehe. Ngehe sekali.

Orang pertama gay. Orang kedua ditinggal mati suaminya saat hamil anak pertama, sekarang berjuang dengan kanker. Orang ketiga, keempat, dan keenam bahagia. Orang kelima terlilit hutang kartu kredit dan tak akur dengan orangtua yang memaksanya cepat menikah.

Orang ketujuh suaminya menikah lagi karena ia tak bisa memberi keturunan. Orang kedelapan istrinya lima. Istri pertamanya adalah orang ketujuh.

Orang kesembilan JG, orang kesepuluh saya. Kami bahagia. :)

Hidup kami mungkin tidak sempurna. Masih senang berbelanja barang branded meskipun diskon. Meski kadang iri kapan bisa membeli tas semahal tas orang kedua, kapan bisa punya sepatu sebanyak orang pertama. Tapi perasaan itu selalu terbayar jika teringat kesepuluh cerita itu punya sisi negatif sebagai pengingat syukur, dan sisi positif sebagai penyemangat hidup.

Kami bahagia. Ada alhamdulillah?

:)

*kecuali cerita sembilan dan sepuluh, sebagian cerita fiktif sebagian lagi nyata, dengan efek dramatis tentunya*

-ast-




Tentang Belajar dari Hidup Orang Lain

on
Friday, April 24, 2015

Cie ngomongin ilmu. LOL

Ya namanya manusia kan hidup mau apa lagi sih kalau nggak belajar terus. Pekerjaan saya menuntut saya untuk ketemu banyak orang. Saya suka ketemu banyak orang baru. Kenapa? Karena banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari banyak orang itu.

Jadi kalau ketemu orang baru, saya suka ngobrol. Panjang lebar. Nanya latar belakang, pekerjaan, keluarga, banyak. Dan ya ilmu memang bisa datang dari mana saja, tinggal kitanya yang mau atau tidak menyerap ilmu?




LIFE SERIES: Ibu di Rumah Sakit

on
Sunday, April 12, 2015

Kejadian ini terjadi 10 bulan lalu. Saat itu Bebe baru berusia dua minggu. Saya dan JG, datang ke rumah sakit untuk belajar pijat bayi.

Kursus pijat bayi ini bertujuan agar ibu-ibu bisa memijat bayinya sendiri di rumah. Mempererat bonding dengan anak, dan jadi tak perlu memanggil tukang pijat bayi atau pergi ke spa bayi.

Kami datang terlambat karena menunggu di depan ruangan yang salah. Di tempat yang benar, ternyata kursusnya sudah dimulai. Aduh!





LIFE SERIES: Jupriadi

on
Sunday, March 22, 2015

Siang itu saya ada meeting di BNI 46. Meeting dengan jam yang aneh. Jam 1 siang. Jarang sekali ada meeting jam 1 siang di luar kantor karena ya mepet jam makan siang. Berarti saat jam makan siang, saya sudah harus berangkat dong? Duh.





LIFE SERIES: Andi

on
Sunday, March 15, 2015

Saya, anak-anak, dan para nanny memanggilnya Om Andi. JG memanggilnya Kang Andi. Akang, karena Andi yang dimaksud ini memang orang Sunda. Cianjur tepatnya. Surga beras dan tepung gasol yang hits sekali di kalangan ibu-ibu.

Tubuhnya gempal berisi. Wajahnya bulat ramah, rambutnya yang kasar dipotong pendek rapi. Seingat saya, ia hampir selalu memakai kaos berwarna biru. Kadang-kadang berjaket hitam. Sewarna dengan kulitnya yang legam terbakar matahari.




LIFE SERIES: Adi

on
Sunday, March 8, 2015

Kali ini bukan nama sebenarnya. :)

Beberapa hari lalu, saya, JG, dan Bebe main ke Senayan City untuk makan malam. Terus mampirlah ke Museum #ChangeDestiny.

Saya ditemani sama seorang mas-mas guide yang menjelaskan saya tentang isi museum itu. JG menggendong Bebe yang tertidur karena memang sudah masuk jam tidurnya. Saat itu kondisinya semua mas guide sedang ngobrol karena museumnya sudah sepi.




LIFE SERIES: Kirno

on
Sunday, March 1, 2015

"Saya dari Blue Bird bu, saya sudah sampai. Saya tunggu di parkiran belakang ya," ujar bapak supir taksi itu via telepon.

Saya bergegas melangkah menuju lift. Hari itu JG mendadak ada meeting pukul 5 sore. Jadi saya yang harus menjemput Bebe. Saya memesan taksi untuk jam 4 tapi seperti biasanya, taksi selalu datang setengah jam lebih cepat. Selalu.

"Abis nganter ke mana, Pak? Saya kan pesan masih jam 4?" tanya saya membuka pembicaraan.




JG & AST vs Life #1

on
Monday, November 25, 2013
let's have a good life :)


Selamat datang di segmen terbaru blog JG & AST, yaitu "JG & AST vs Life"! Wohooo! *throw confetti*

Jadi kalau lagi ada kesulitan atau iri sama orang lain yang baru beli rumah mewah JG selalu bilang: "yah, life.." Tapi uniknya *alah* kalimat itu juga disebut kalau kita mendengar orang lain yang hidupnya kurang beruntung. Jadi kalau kasian sama cerita hidup orang, JG juga biasanya bilang "yah, life..".

Nah terus karena saya sama JG anaknya suka ngobrol sama orang, jadi banyak tau cerita orang lain. Terutama supir taksi dan supir travel. Cerita mereka banyak ajaibnya, bahkan banyak yang nggak pernah terbayangkan sebelumnya ada orang yang ngejalanin hidup kaya gitu.

Dua tahun di Jakarta dan kemana-mana naik taksi, saya udah denger ratusan supir taksi cerita kisah hidup mereka. Sayang dari dulu nggak pernah ditulis. -_____- Jadi mulai sekarang mau ditulis. Banyak yang inspiring, banyak yang bikin mangap, banyak yang sulit dipercaya.

Cerita pertama datang dari supir X-Trans, Kamis 7 November kemarin (udah lama jis, masa baru sempet nulis sekarang -____-). Saya dan JG belum booking dan yang tersisa cuma kursi di depan, akhirnya duduk di depan berdua. Kalau udah duduk di depan gini, sadar nggak sadar pasti ngobrol sama supirnya.

Waktu itu saya dan JG pulang jam 8 malem. Supirnya mukanya kaya bukan orang Bandung, kaya agak Jawa gitu. Umurnya late 40-an, rambut di kepalanya udah tipis jadi dibotakin. Badannya tegap dan item kebakar matahari. Garis mukanya ramah makanya ingin ngobrol. Hahahaha. Supir X-Trans dari Pancoran biasanya memang orang Bandung. Tapi karena mukanya nggak Sunda jadi bingung mau nanyanya bahasa Sunda atau bahasa Indonesia. *penting*

Saya: "Bapak orang Bandung bukan?"

Supir: "Bukan"

Saya: "Oh..." *jadi agak sungkan* "Tapi rumahnya di Bandung?"

Supir: "Iya saya dari tahun 90 udah di Bandung. Saya orang Solo, istri saya juga orang Jawa tapi udah lahir dan besar di Bandung jadi ya orang Jawa bukan, orang Bandung juga bukan"

Saya: "Hehehehe. Iya pak, pasti istrinya bahasa Sunda nggak lancar, bahasa Jawa juga nggak lancar ya"

Dan begitulah cerita dimulai. Kalau pertama kali ngobrol sama supir X-Trans, pertanyaan pertama saya pasti "rumahnya di mana" kedua "udah kerja berapa lama, sebelumnya kerja di mana". Pertanyaan pertama "rumah di mana" itu bisa jadi obrolan panjang karena mungkin saya kenal daerahnya. Pertanyaan kedua "udah kerja berapa lama, sebelumnya kerja di mana" ya karena kepo aja. -______-

Ah anjir, jawaban "sebelumnya kerja di mana" sayanya lupa. *fail* Tapi yang menarik adalah ketika saya nanya, di waktu luang kalau nggak nyetir, dia ngapain. Jadi fyi, supir X-Trans itu sistemnya 1-1. 1 hari kerja, 1 hari libur. Jadi selang sehari libur. Saya nanya kalau lagi libur biasanya ngapain. *kepo sedunia* JAWABANNYA ADALAH. JENG JENG:

Supir: "Saya kerja di Prudential"

Saya dan JG: "HAH?!!!" *menjaga jarak takut ditawarin asuransi wtf* "Aduh bapak nggak akan nawarin asuransi ke kita kan? Jadi agen, pak?"

Supir: *ketawa* "Iya, lumayan, sebulan soalnya saya kena terus target, jadi uangnya ada."

Saya sama JG bengong aja. Speechless ih! Kerja jadi agen asuransi kan susah nyari klien. Terus harus nyetir Jakarta-Bandung-Jakarta setiap dua hari. Kalau capek gimana!

Supir: "Nggak capek, udah biasa"

Iya sih, kelihatannya juga fit kok bapaknya. Bukan yang kelihatan capek atau ngantuk. Tapi tetep aja. Ini adalah supir pertama yang saya dan JG ajak ngobrol dan punya sampingan kerjaan yang nggak ada hubungannya sama mobil-mobilan atau nyetir-nyetiran. Saya sama JG masih bengong, dia lanjut cerita sendiri.

Supir: "Saya juga suka dapet proyekan. Ngecek kondisi tanah buat bangunan."

Saya makin bengong. JG mulai tertarik dan nanya lebih lanjut maksudnya apa, caranya gimana.

Supir: "Iya jadi setiap mau ada bangunan baru itu kita cek kondisi tanahnya, kekerasannya gimana, bla bla bla bla bla *saya nggak tertarik jadi nggak dengerin lol* Jadi setiap 50 meter kita bikin 2 hole, satu pake bor tangan satu pake bor mesin. Diambil sampel tanahnya, dibawa ke lab buat diperiksa, kuat nggak tanah di situ buat jadi bangunan sekian lantai."

Saya makin bengong. Pertama nggak ngerti dia banyak ngomong istilah teknis. Kedua ya Allah, ini bapak hardworking banget. T_____T JG dan bapak supir terus aja ngobrol soal tanah, apalagi ternyata bapak ini sering ngecek kondisi tanah buat tower BTS, kerjaannya JG banget dulu ya kan. Ngobrollah mereka tentang cek tanah pertanahan buat bikin tower.

Supir: "Parkiran PVJ itu saya juga yang cek loh tanahnya. Weekend ini mau ngecek buat wisma mahasiswa Minang."

Oh bapak inspiring sekali. Mari kita lanjutkan kepo tentang kehidupanmu, pak.

JG: "Wah bapak nyari uang terus nih, pasti mau naik haji ya pak? Hahaha"

Supir: "Yah buat istri sama anak-anak"

JG: "Anaknya berapa emang pak?"

Supir: "Anak saya dua, tapi ibunya juga dua. Hahahahaha"

Saya bengong. JG menguasai suasana: "Wah hebat nih bapak, anaknya dua-duanya berarti sulung semua ya pak? HAHAHAHAHA"

-___________________________-

Ternyata bapak supir itu istrinya beneran dua. *flat face* Makanya dia harus kerja keras buat menghidupi istri-istrinya. GOD! Ya nggak apa-apa sih. Mending kan ya tanggung jawab.

Dari situ saya tidur karena udah ngantuk banget. Padahal masih kepo apakah istri pertamanya tau kalau dia punya istri kedua. *alah jadi rumpi*

Semoga cerita ini bisa menginspirasi yah. Hahaha.

See you!

-ast-