-->

Image Slider

Dua Garis Biru, (Bagi Saya) Tak Cuma Film Haru

on
Thursday, July 25, 2019
[MAJOR SPOILER ALERT]


Hari itu hari Jumat, 12 Juli 2019, sudah jam 6 sore. Saya capek sekali sampai rasanya tak punya lagi energi untuk naik ojek ke rumah. Saya siap-siap pulang dan akan memesan taksi online, sampai Esti, anak kantor, mendekat dan mengajak nonton “Dua Garis Biru” yang baru tayang di hari kedua.



Saya belum melihat trailernya sama sekali, hanya tahu ini film tentang anak SMA yang hamil saat sekolah tapi langsung bilang AYO dengan hanya bermodal testimoni Ernest Prakasa yang datang saat premier dan memuji film ini. Well, saya suka semua film Ernest dan kalau dia bilang bagus maka filmnya sudah pasti bagus.

Little did I know that I would walk home after the movie with bloating eyes and a massive headache. Tears raced down my face until the Apple watch sent 2 notifications for me to breathe throughout the movie, no kidding.

Setelah nonton, yang saya lakukan adalah membuat sebanyak mungkin orang di sekitar saya nonton. Dimulai dari JG yang saya intilin terus sepanjang hari sepanjang malam dan maksa dia dengerin cerita saya soal Dua Garis Biru. Berhasil, detik dia bilang ok langsung beli lagi tiketnya dan nonton lagi deh berdua hahahaha. Seminggu setelahnya, di rumah playlistnya OST film ini terus. Berdua nggak bisa move on sampai di chat di mana pun ngomonginnya Dara dan Bima.

T__________T

Anyway the movie is so … depressing. Kalau nggak dikasih bumbu humor dikit (aka Asri Welas) bisa gila sih keluar dari bioskop.

T__________T

Gini, untuk urusan nangis-nangis di bioskop mah saya emang cemen. Nonton Keluarga Cemara nangis, nonton Avengers: Endgame apalagi. Tapi biasanya nangis karena EMPATI. Nangis karena ih sedih banget sih hidup DIA. Atau kalau Endgame sih sedih karena sori banget Capt, udah bertahun-tahun kita hidup bersama lho kok kamu begitu? KESEL. MAKA NANGIS.

Kalau “Dua Garis Biru” nangisnya karena terlalu relatable. It might be you, that could be me, it could be all of us. Hal sederhana yang sebetulnya mungkin pernah terjadi pada kakak kita, tetangga, sahabat, bahkan diri kita sendiri. Bukan tidak mungkin terjadi pada anak-anak kita juga.

Dulu sex education versi ibu saya selalu “kalau hamil duluan, perempuan yang akan paling rugi!” plus omelan tiap ada artis nikah siri “nikah siri itu perempuan yang akan paling rugi”.

Dulu saya mikir “halah rugi karena nggak dapet harta gono-gini doang kalau nikah siri”. Sebuah pemikiran sempit karena di usia 30 tahun ini, dengan banyak teman bercerai, saya baru tahu kalau cerai dan berbagi harta gono-gini adalah kemewahan. Tidak semua orang rela membagi dua harta. Malah ada yang anak saja tidak mau dibagi: Kamu saja yang urus, kita kan cerai maka bye kamu dan anak-anakku. :))))

*

Oke, seperti biasa kalau bahas film versi saya, kita akan bahas per karakter biar puaassss.

Di film ini kita bisa lihat reaksi lingkungan saat ada satu anak hamil sebelum waktunya. Dulu saya pikir “halah anaknya aja yang bego, bandel sih makanya hamil”. Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Ada orangtua yang merasa gagal, ada kakak yang kecewa, ada adik yang bingung, ada tetangga yang bicara di depan, ada yang bicara di belakang, ada konflik batin aborsi, bagaimana sekolah dan teman-teman memperlakukan, dan ada masa depan yang dipertaruhkan.

Hamil saat belum menikah, bukan sekadar omelan “bikin malu keluarga”. Dan jelas bukan sekadar jargon “married by accident”, tiga kata itu terlalu sederhana untuk menggambarkan situasi semacam ini. Pernikahan jadi porsi sangat kecil dari semua konflik yang ada, “hanya” karena satu perempuan hamil di usia terlalu muda. Nikah dengan berantem-berantem kecil juga cuma pemanis karena masalah di depan mata jauh lebih besar daripada suami main game terus.



Tak heran, film ini lewat riset panjang selama 9 tahun! Gina S Noer mengubur skenario ini dulu setelah pitching pada produser Chand Parwez Servia. Ia berusaha mencari sutradara lain, merasakan sendiri dulu jadi orangtua dengan dua anak, bahkan sempat ikut kelas bersama Najeela Shihab sampai akhirnya setuju untuk menyutradari ini sendiri karena Chand Parwez keukeuh harus dia sutradaranya. Sebagai perempuan dan ibu, ia sukses menulis dan merepresentasikan pesan film ini dengan gamblang.

Keluarga Bima

Beberapa review film ini yang saya baca, menyebutkan (dan memuji) kesenjangan sosial di film ini yang tampak begitu nyata. Buat saya, kesenjangan itu dibuat tidak mengada-ngada karena bukan versi FTV anak kaya raya dengan pos security di rumah vs keluarga security itu sendiri. Nope. Nggak segitunya.

Keluarga Bima digambarkan dari kalangan menengah ke bawah, rumahnya di pinggir kali tapi tidak sekumuh itu. Bapaknya pensiunan (saya berasumsi pensiunan PNS) sehingga untuk menambah penghasilan pasca pensiun, ibunya membuka warung gado-gado di rumah. Tapi mereka tidak digambarkan sangat sangat miskin. PAS. Kita pasti punya teman dengan kondisi ekonomi seperti ini. Bisa kuliah tapi nggak bisa kalau harus swasta, apalagi di luar kota. Bisa makan layak, tapi kalau mobil ya tidak terbeli.



Pakaian yang mereka pakai rapi dan selayak ibu-ibu kelas menengah ke bawah. Tidak dibuat kumuh apalagi lusuh. Rapi dan sopan. Mampu naik taksi online ke mana-mana. Mampu berbicara dan membela diri tanpa tunduk pada orang yang lebih punya kuasa.

Saya terkesan dengan pakaian Cut Mini (ibu Bima) dan Rachel Amanda (kakak Bima) yang seperti teman kita dan ibunya sehari-hari! Rachel tidak berjilbab tapi stelan jilbab dan bajunya di film ini akrab sekali dengan keseharian saya. Rachel bisa jadi teman SMA kita, teman kita di kantor, atau pacarnya teman kita. Sebuah peran yang dekat sekali rasanya.

Keluarga Bima melewati masalah ini dengan diskusi sebagai keluarga. Meski kadang panas tapi mereka berdiskusi baik buruk segala keputusan di depan Bima. Bima dilibatkan, kakak Bima juga ditanya pendapatnya, bahkan si calon bayi saja diperhitungkan dalam tiap keputusan. Mereka berhasil melewati konflik ini sebagai satu keluarga utuh.

Keluarga Dara

Seperti Bima, keluarga Dara digambarkan lebih kaya tapi tidak sekaya itu juga. Iya betul rumahnya digambarkan punya bath tub dan kolam renang, tapi well, mereka kelas menengah juga. Menengah ke atas. :)

Restoran ayahnya diceritakan sering sepi, ibunya working class biasa. Corporate (or agency lol) slave yang keluar kantor sebentar saja ditelepon terus-terusan (semacam JG HAHA). Pulangnya hampir selalu malam, tasnya pun bukan tas desainer mahal. Tidak pernah ganti pula.

Plus dari pembicaraan Dara soal beasiswa mereka ya hidup berkecukupan. Teman-teman saya yang betul punya uang sih saat bicara kuliah di luar negeri YA BAYAR SENDIRI. Pembicaraan beasiswa biasanya hanya terjadi pada kaum kelas menengah yang mampu sih bayar biaya hidup di sana, tapi tidak bisa kalau harus juga membayar kuliah.

Adik Dara juga selayak anak-anak Jakarta lain di lingkungan saya. Lesnya cuma gymnastic dan berenang di akhir pekan. Ingat, kalau keluarga kalangan atas kan lesnya berkuda dengan kuda milik sendiri pula lol.

Yang paling berkesan adalah bagaimana Dara dan ibunya (Lulu Tobing) satu rumah tapi berjauhan. Satu rumah, serasa akrab, cie-ciein pacar, TAPI TIDAK. Seperti dekat tapi sebetulnya ia tidak tahu apa-apa soal hidup Dara kecuali peduli pada masa depannya. Tipikal ibu-ibu yang well-planned, mikirin sekolah dan les anak-anak berakhir dengan “MAMA PIKIR KAMU BISA MAMA ANDALKAN!”. WOW CHILL, SHE’S ONLY 17!

Dibanding keluarga Bima, keluarga Dara berjalan mengambil keputusan sendiri-sendiri. Mama Dara merasa berhak mengambil keputusan mencari orangtua adopsi, bahkan tanpa persetujuan Dara. Semua berjalan masing-masing, antara papa dan mama Dara saja tidak pernah satu suara. Perkara beli baju bayi saja harus bertengkar dulu wow.

Dua keluarga ini mewakili keluarga di dunia nyata. Memang ada jenis keluarga seperti itu kan?

Dara

Anak pintar, cantik, jatuh cinta karena Bima gemesin banget meskipun bodoh nggak ada dua. :)))) Baikan setelah ngambek cuma karena ditutupin kepalanya takut kena matahari itu khas anak SMA banget. BEEN THERE LOL.



Tiap Dara berantem sama mamanya saya flashback banget pas SMA emang kerjaan berantem terus sama ibu hahahahahaha.

Dan somehow saya ngertiiii banget kenapa dia labil. Mau aborsi, lalu tidak mau aborsi. Mau kasih anak ke Tante Lia, lalu tidak mau kasih anak ke Tante Lia. Mau cerai lalu tidak mau cerai. Yang ia tau, mau dengan pasti hanya ke Korea. Anak umur segitu diberi pilihan untuk menentukan hidup ya memang susah. :((((



Aktingnya Zara no comment sih since dia Sunda banget gitu jadi menurut saya natural-natural aja (KATANYA NO COMMENT LOL). Zara pas banget jadi Dara karena kita ditunjukkan bahwa anak lugu dan juara kelas, bukan tidak mungkin terpeleset kesalahan.

Adegan dheg Dara itu saat dr. Fiza Hatta bertanya “sudah diajarkan di sekolah?” Dan mukanya bingung, menggeleng. Kaya pengen bilang: Dok, kalau diajari di sekolah saya pasti nggak hamil. T_________T

Mama Dara

WAH LULU TOBING SIH GIMANA YAAAA. Bagussss banget, tek-tokan ketus berantemnya sama Dara kaya beneran. HUHU.

Mama: “Jadi orangtua itu selamanya!”

Dara: “Oya?! Terus kenapa kemarin mama ninggalin aku?!”

Saya: *CRYYYYY*

Scene ter-cry karena itu skenario saya dan JG sejak Bebe masih di perut. Kalau sampai dia hamilin anak orang lain dan anak itu diusir ibunya, maka anak itu ya akan kita bawa ke rumahlah gimana lagi. Kami punya skenario detail sekali (yang beda sama film) tapi begitu dihadapkan dalam bentuk film, PARAH SIH NANGIS. T_________T

Ibu Bima: “Bima sedang belajar jadi ayah”

Mama Dara: “ANAK SAYA SUDAH JADI IBU! DARA SUDAH JADI IBU SEJAK DIA HAMIL!”

Saya: *NANGIS BANJIR*

T___________T



Lulu Tobing jadi sosok ibu yang merasa keluarganya sudah sempurna karena ia atur sedetail mungkin. Ia merasa peduli masa depan, merasa peduli pacar anaknya lalu nanya jadiannya kapan padahal ternyata tidak sepeduli itu. Merasa mengerti anaknya maunya apa padahal nanya dan ngajak diskusi aja nggak pernah. Merasa paling tahu, merasa paling jadi orang dewasa, padahal seperti yang dia bilang sendiri “SAYA AJA GAGAL JADI ORANGTUA!”

Well, people, please don’t be like mama Dara ok!

Tante Lia dan Om Adi

Sejujurnya saya setuju sih sama keputusan mama Dara untuk ngasihin anaknya ke Tante Lia dan Om Adi. TAPI YA DISKUSI DULU DONG. Suruh Dara bikin pros cons anak dikasih ke Tante Lia dan Om Adi dibanding dikasih ke Bima. Suruh Dara diskusi sama Bima dan Bima harus bikin pros cons juga. Daripada itu bayi diurus di kampung kumuh gitu sorry to say MAU DIKASIH MAKAN APA? MAU SEKOLAH DI MANA? Masa depan si anak gimana?



Tante Lia dan Om Adi juga plis jangan rese. Ngana nggak punya anak, ada yang mau ngasih ya nggak usah ngaku-ngaku itu anak sendiri gila apa gimana. Biar aja misal manggil Tante Lia - Om Adi dengan ayah ibu, sementara si anak manggil Bima Dara dengan Baba - Bunda. Kenapa sih ngatur anak yang belum lahir hih. Anak sendiri juga bukan udah ngatur.

KESEL BANGET SAMA PERAN MEREKA INI. Ngingetin banget kalau ini film huh.

Bima

ANGGA ALDI YUNANDA INI SAPOSEEEE. Pertama kali liat mukanya ya di film Dua Garis Biru. Begitu tau dia anak sinetron dan FTV saya rada meremehkan karena meh anak TV (aku kan anak YouTube, YouTube, lebih dari TV boom! LOL) Padahal aktingnya gila bagus banget! Dia diem aja ekspresinya bisa marah, sedih, bingung, gitu sih. Nggak jomplang sama sekali sama Cut Mini dan Lulu Tobing.



Bima selayak crush waktu SMA yang rasanya akan kita perjuangkan selamanya. Yang dia acak-acak rambut aja kita kepikirannya seminggu. And by “selamanya”, I mean 3 tahun mentok deh selama SMA doang HAHAHAHAHA.

Yang nyesss dari peran Bima adalah, betapa Dara merasa lebih dekat pada Bima dibanding pada orangtuanya. Jadi ketika ditanya bertubi-tubi “kamu dipaksa (have sex) kan sama dia?!” Alih-alih bilang “iya” agar orangtuanya tidak tambah marah, Dara malah bilang “aku sayang sama Bima” karena memang SAYANG HUHU.

Sesayang itu lho Bima sama Dara. Ini tipe-tipe cowok yang akan bener-bener gila dan butuh didampingi kalau diputusin sama ceweknya. Tipe-tipe yang akan mengurung diri di kamar berhari-hari karena sekalinya sayang ya sayang banget, sekalinya bye ya merasa hidup runtuh.



Lalu bajunya natural banget! Dekil kaya anak SMA dari perkampungan yang nongkrong di pinggir kali. Kalau dia nongkrong beneran sama bang siapa tuh yang dia tanya tempat aborsi, itu kaya beneran banget. Nggak mengada-ngada sama sekali. Jaket sampai celananya juga wajar dan hari-hari banget huhu sedetail ituuuu film ini dipikirnnya.

Ibu Bima

Aktingnya sih jangan ditanya. Cut Mini pasti melewati riset sangat panjang karena jangankan cara dia bicara dan marah ya, adegan duduk sila dan menyusun kue dalam kotak aja bikin beberapa teman saya haru dan terkesan karena ya seperti terlalu nyata. Nggak semua orang punya ruang makan besar yang bisa menampung kotak kue sebanyak itu jadi mau nggak mau ya di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga. Hal kecil, sederhana, namun jadi bermakna.

Semua setuju Cut Mini steals the show ya! Kocak tapi sedih, saya ngerti banget kenapa reaksi dai begitu, nggak lebay sama sekali. Adegan ter-cry saat abis solat dia bilang “Kita gagal didik anak laki kita”.



T__________T

Padahal pas mama Dara bilang dia gagal jadi orangtua, saya rasanya pengen “IYA EMANG LU GAGAL” karena kondisinya Dara dan mamanya nggak akrab amat kan. Tapi pas ibu Bima yang ngomong kaya nyesss gitu. Karena dia bingung apa yang salah selama ini? Rasanya Bima nggak kurang apa-apa, rasanya kasih sayang cukup, rasanya curhat-curhat aja sampai pacaran sama siapa juga bapak tau. KOK BISA GINIII? T__________T

Judes-judes tapi sayang keluarga HUHU. Auk ah mau ngomong apa lagi soal Cut Mini. TERBAIKKKK!



Papa Dara dan Bapak Bima

Ini saya gabungin karena keduanya unik dengan style-nya masing-masing. Papa Dara papa urban yang sebetulnya mau lho diskusi sama Dara, cuma mamanya bossy banget dan ngambil keputusan untuk semua orang.

Sementara bapak Bima, pak RT yang dihormati, bijaksana juga mengambil keputusan selalu melibatkan istri DAN KEDUA anaknya. Kita semua kenal dong dengan kedua tipe bapak kaya gini?

Saya respek dan sayang sih sama mereka berdua. Somehow, papa Dara tuh bisa lebih paham Bima dan Dara dibanding mama Dara. Manis banget dia nyuruh Bima berhenti kerja biar fokus sekolah dan muji kerjanya Bima. Manis banget juga waktu dia nawarin anter Dara beli baju bayi. T___________T



Bapak Bima juga, manis banget bapak yang mau dengerin curhat anaknya, dan tetep terima Bima apa adanya. Nangisssss.

Btw kesel deh di akhir trailer itu ada adegan Dwi Sasono ngomong “Dara kayanya ragu, coba kamu ngomong sama dia, ini demi anak kamu juga” TAPI DI FILMNYA NGGAK ADA HELP! Gemes banget pengen nonton yang versi unedited. Katanya editingnya dari 200 menit cuma jadi 120 menit huhu aku mau nonton yang 80 menitnya. :(((

Mbak Dewi

MBAK DEWIIII KESAYANGAN KITA SEMUA. Natural amat sih jadi kakak. Pake baju bahan satin terus pake manset itu duh mbak Dewi adalah perempuan Indonesia berjilbab pada umumnya. 



Mbak Dewi jadi pengingat bahwa kalau kamu hamilin anak orang, ada orang yang juga ikutan pusing karena harus menjelaskan pada keluarga calon suaminya. Urusannya bukan cuma masalahmu doang tapi jadi masalah banyak orang.

Si anak pertama yang keras kepala tapi sayang sama adiknya. Senangnya adalah, bapak Bima selalu ingin melibatkan mbak Dewi dalam semua keputusan keluarga. Familiar? :)))

Puput



Puput (Maisha Kanna) ini sosok penting karena sepanjang film kita digiring untuk menganggap Dara masih terlalu muda untuk jadi ibu. Tapi sosok Puput mengingatkan kita, Dara memang masih kecil, tapi ia seharusnya bisa jadi sosok kakak bagi Puput. Gimana sih jelasinnya ah. Yang jelas tiap Puput muncul saya seperti diingatkan bahwa pantas Dara dianggap sebagai kakak yang dewasa bermasa depan cerah ceria karena si mama membandingkannya dengan Puput yang masih harus diantar les ini itu.

Maisha juga aktingnya makin bagussss dibanding waktu jadi Sam di Kulari Ke Pantai. Pas banget jadi kakak adik sama Zara.

Scene UKS

Ini scene paling diomongin karena one shot ya, pake latihan segala dan video latihannya sampai saya lihat berulang-ulang. Dalam satu scene kita dikasih tahu kalau Bima dan Dara memang jatuh cinta, ada dua pasang orangtua yang merasa gagal, dan betapa orangtua perempuan hampir pasti selalu menyalahkan anak laki-laki yang menghamili anaknya.

Kaya sering banget kan denger ayah-ayah atau kakak laki-laki yang “siap bunuh” siapapun yang ngehamilin anak/adik perempuan mereka. Yeee, padahal kalau nggak diperkosa dan having sex with consent sih yang salah pasti salah berdua dong ya. Apalagi emang sejatuh cinta itu. Adil itu memang susah.



Di scene itu juga kita diingatkan kalau menghamili anak orang lain, jalan keluarnya nggak sesederhana jawaban: “Saya mau tanggung jawab”. Karena ketika dibilang “Mulai sekarang!” Lemes udah. Tanggung jawab yang dimaksud itu kaya apa? Menafkahi? Bawa pulang? Beliin kerang? :))))

Mewek maksimal ketika Cut Mini bilang “ANAK KITA! ANAK KITA!!!” saking orangtua Dara menyudutkan Bima dengan bilang “anak kalian” yaitu Bima yang nakal dan bikin Dara jadi nakal.

*

DEMIKIAN RUMPI TENTANG DUA GARIS BIRU. Sebetulnya kalau di dunia nyata, rambling saya masih bisa panjang tapi nulisnya pegel ahhhh.

List pesan bagi remaja setelah nonton film ini selain sex education tentang kondisi fisik yang belum siap hamil:
- Sekolah belum tentu akan berpihak padamu. Sekolah nggak akan encourage kamu untuk tetap sekolah meski nilai kamu sangat sangat bagus :((((
- Kalau kamu perempuan, cita-cita kamu memang masih bisa dikejar meski hamil. Tapi bahkan kamu belum tentu bisa ketemu anakmu lagi. ANAKMU SENDIRI. Anak yang nggak bisa kamu punya lagi di masa depan.
- Kalau kamu laki-laki, lihat apa yang kamu lakukan sama anak dan keluarga orang lain. Sebaik-baiknya kamu, segimana pun kamu bilang kamu akan tanggung jawab, ada hal-hal di luar kuasamu dan satu keluarga hancur karena kamu. Kamu lho yang harus tandatangan operasi karena yang operasi ISTRIMU. Kalau nggak nikah yang akan tandatangan persetujuan operasi kan akan orangtuanya.
- Kepikiran nggak kalau itu anak, nggak salah apa-apa akan jadi oh so called anak haram T_______T

Buat orangtua, banyak-banyakin ngobrol sama anak. Jangan judgmental, jangan menganggap mereka tidak tahu apa-apa tapi jangan pula menganggap mereka tahu segalanya. Sebaliknya, jangan menganggap kita sudah tahu semuanya karena TIDAK. Sex education for all!

sukaaaa banget sama peran Pong ini karena misterius :')
-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Mempertanyakan Kebahagiaan

on
Monday, July 15, 2019
Sudah beberapa bulan ini saya memikirkan sekali arti kata bahagia. Apa itu bahagia? Apa bahagia itu cuma sebuah momen? Atau sebuah keadaan yang seharusnya berkelanjutan?



Tulisan ini sudah teronggok tepat tiga minggu lamanya karena saya mulai menulis ini saat Eugene “The Try Guys” merilis video coming out serta dokumenter di balik layarnya. Di video berdurasi 27 menit itu Eugene yang kini berusia 33 tahun bercerita tentang hidupnya, ia mengaku sejak kecil tak pernah bahagia.

“You know the saddest thing is? I found this letter, people write letter when you’re in middle school, your teacher will make you write a letter to your future self, I found it like a few years ago the only thing i wrote to myself: Are you finally happy?” ujar Eugene.

Di saat yang sama saya seperti ditanya juga diri saya sendiri: Are you? Are you happy?”

“You know, I don’t, I don’t think I am. Am I ever finally be happy? Maybe the answer is that no one ever finally happy,” lanjutnya.

NO ONE EVER FINALLY HAPPY.

That’s dark. Itu komentar videografer Eugene yang saya amini. Sampai ia bertanya lanjut pada Eugene: “Are you happier now?”

Well, I do. I, myself, not Eugene.

Sejak saat itu saya jadi memikirkan banyak hal soal kebahagiaan, soal uang, soal tujuan hidup di dunia (bukan di akhirat, simpan untuk diri kalian sendiri ya soal itu). Kita cuma tahu kita bahagia setelah lebih atau kurang bahagia. HAPPIER is the keyword.

Bahagia yang “di tengah-tengah” bukan sebuah kondisi yang bisa dirasakan saat itu juga. Bahagia hanya bisa dirasakan setelah atau sebelum kejadian tertentu yang jadi patokan: Ini lebih bahagia atau lebih tidak bahagia?

If that makes any sense.

Bahagia adalah kondisi yang terasa saat kita susah ATAU justru senang. Bahagia bisa dirasakan karena kita punya pembanding “oh aku lebih bahagia dari 3 tahun lalu karena dulu hidup lebih sulit blablabla” atau justru “wah, aku lagi nggak bahagia padahal rasanya kemarin seneng banget kok hari ini down banget”. Padahal kemarin ya B aja nggak ngerasa sebahagia itu juga. Cuma seneng, titik.

GET IT?

Kalau ditanya lebih bahagia sekarang atau saat SMA? Saya jawab sekarang. Tapi kalau ditanya lebih bahagia sekarang atau waktu kuliah? Saya pilih waktu kuliah. Kalau hari ini bahagia nggak?

Ummm, baru akan ketahuan besok ahahahaha. Hari ini lebih tidak bahagia dari kemarin karena kemarin weekend, tapi siapa tahu hari ini sebetulnya lebih bahagia dari besok. Entahlah. Baru akan ketahuan besok. :)))

Meski kebahagiaan itu bahkan sulit diukur oleh diri sendiri, banyak orang yang merasa mampu mengukur kadar kebahagiaan orang lain.

“Kayanya kamu nggak happy deh”

“Kamu yakin kamu bahagia?”

Or worst.

“Kamu yakin dia bahagia?”


Well, I am. I feel that I am. Kenapa happiness diukur oleh orang lain atas apa yang mereka lihat oleh mata mereka sendiri? Dan bagaimana kalau ukuran orang lain itu jadi begitu penting untuk hidup kita?

Kita jadi merasa tidak bahagia karena dipertanyakan orang lain. Padahal sebelumnya merasa baik-baik saja.

Ini juga yang saya rasakan setelah kampanye kesehatan mental digaungkan dan jadi begitu penting. Love yourself. Self love is important.

Dari situ saya jadi lebih sadar pada kondisi kejiwaan diri, pada kondisi emosi sehari-hari dan jadinya sering merasa tidak baik-baik saja. Perasaan yang dulu bisa diabaikan karena tetap harus pergi kerja dan beraktivitas, jadi terasa lebih peka.

Padahal kalau sudah peka lalu apa lagi? Tak bisa juga kan liburan terus menerus? Tidak bisa juga kan dadakan cuti untuk mengerjakan hobi karena sedang merasa butuh pause?

Sekali lagi saya jadi merasa tidak baik-baik saja karena sering dipertanyakan orang lain. Padahal sebelumnya, saya merasa baik-baik saja.

Belum lagi kampanye-kampanye lain. Hiruk pikuk. Semakin banyak tahu semakin banyak yang harus dipikirkan. Pantas banyak orang yang lebih senang tidak tahu apa-apa. Ignorance is bliss. If you don’t know about something, you do not worry about it.

Di sisi lain saya juga merasa perlu terus level up. Naik kelas. Caranya gimana lagi kalau tidak dengan menambah wawasan. Gregetan sendiri jadinya. Mau tau banyak berakhir mikir banyak? Atau mau tau sedikit dan nggak punya pikiran?

via GIPHY

Kembali ke soal kebahagiaan, kalau kata Will Smith:

“We cracked the hell up. We started talking about [how] we came into this fake romantic concept that somehow when we got married that we would become one. And, what we realized is that we were two completely separate people on two completely separate individual journeys and that we were choosing to walk our separate journeys together. But her happiness was her responsibility and my happiness was my responsibility.”

Kita tidak perlu merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain meski orang itu adalah pasangan kita sendiri. Marriage is not a counseling room! Istri bukan terapis untuk suami, pun sebaliknya. Kita harus menemukan kebahagiaan masing-masing baru bisa hidup berdua dengan bahagia. Itu pun kalau definisi kebahagiaannya sudah sama-sama ketemu. :)))

Karena meski kita menikah, kita tetap sendirian di dalam pikiran. Konsep sendirian dalam pikiran ini mengerikan sekali buat saya. Bicara sendiri, menjawab sendiri, tidak akan ada yang pernah tahu rasanya berada di pikiran orang lain.

(Pernah saya tulis lebih lengkap di sini: Sendirian di Dalam Pikiran)

The actual question is, how to be constantly happy?

Kalau browsing ini jawabannya banyak. Seperti dengan bersyukur, dengan tak membandingkan hidup dengan orang lain, dengan merasa selalu dicintai, dengan lebih banyak tertawa, lebih banyak tersenyum pada orang asing, dan rentetan tips lainnya.

Ya, bisa dilakukan kalau sedang tidak ada masalah lain sementara hidup kan selalu ada masalah ya. Tinggal kadar masalahnya saja, berat banget sampai bikin nggak bahagia? Atau biasa-biasa saja sampai bisa diabaikan?

Seperti juga bahagia, uang pun bernasib sama.

Money can’t buy happiness hanya benar-benar bisa dirasakan oleh orang yang sudah pernah punya banyak sekali uang lalu merasa tidak bahagia. Untuk orang yang belum pernah merasakan punya uang berlebih, kebahagiaan paling sederhana memang bisa diukur dengan uang.

Catat, mengukur kebahagiaan dengan uang juga tidak apa-apa, lho. Merasa senang karena baru dapat rezeki berbentuk uang kan sah-sah saja.

Kita tak bisa merasa kaya sebelum merasakan miskin. Atau sebaliknya, banyak orang yang tak merasa miskin karena belum pernah kaya. Untuk uang yang terukur, kadarnya bisa diseimbangkan dengan “merasa cukup”.

Yang penting cukup saja. Tak perlu jadi kaya, jangan sampai jadi miskin.

(Baca: Makanan, Manusia, dan Uangku)

Menyambung soal uang, saya jadi ingat barang-barang mahal yang sering jadi tujuan hidup saya dan JG. Seringnya, atau mungkin cuma saya, baru merasa barang branded itu kurang penting setelah bisa mampu beli semuanya. Setelah beli, lalu muncul perasaan biasa-biasa aja. Oh hanya begini, tidak punya juga tidak apa-apa.

Tapi saat belum punya, rasanya ingin saya kejar terus. Jadi tujuan utama dalam hidup.

Nggak apa-apa. Jadikan benda-benda bernilai mahal yang tak terlalu berguna motivasi untuk naik kelas. Untuk berusaha lebih, untuk kerja terus. Biar saja meski pada saatnya kita mampu membeli semuanya, kita malah merasa biasa aja.

Makanya orang lebih suka traveling, katanya. Membeli pengalaman lebih menyenangkan daripada beli barang. Meski definisi senang masing-masing orang juga berbeda.

Senang. Bahagia. Diartikan sebagai satu kata dalam bahasa Inggris: Happy. Padahal senang adalah kondisi yang terasa saat itu dalam waktu singkat. Bahagia baru digunakan ketika senang terasa dalam jangka waktu yang lebih lama atau lebih banyak.

Sampai hilang. :)

People say the goal is not happiness, but peace and content. I guess, since I am still wondering (and wandering), about the true meaning of happiness, peace and content is still on the way.

Calm down, deep breath. :)

via GIPHY

-ast-







LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!

Tips Sunat Anti Drama

on
Wednesday, July 3, 2019
Mau nulis ini nggak jadi-jadi karena bingung sih mau nulis dari mana. Rasanya udah lamaaaa banget soundingnya sampai akhirnya sunat dan alhamdulillah nggak drama ternyata.

Saya coba susun dari awal banget ya. Dari sounding, hari H, sampai pasca sunat. So far, nggak ada drama berarti sih. Jerit-jerit cuma 2 kali pipis pertama doang. Jadi nggak banyak adegan takut pipis atau histeris disalepin.

🎙 Sounding 🎙

Sounding ini menurut saya part terpenting. Gimana kalian mendefinisikan sunat pada anak? Kalau saya bilangnya mau tidak mau, cepat atau lambat, semua laki-laki akan sunat. Bisa waktu bayi, bisa nanti waktu sebesar appa. Semua pasti akan sunat karena sunat lebih sehat. Boleh aja nggak sunat tapi ada risiko sakit. Sounding semacam itu sudah dimulai sejak dia umur 4 tahun.

Hati-hati pada definisi berani dan takut karena ini penting sekali.

Kalimat yang saya hindari jelang sunat:

“Harus berani sunat lah kamu kan udah besar!” —> berpotensi anak mempertanyakan dirinya sendiri memang kenapa kalau aku takut? LHA PADAHAL EMANG NAKUTIN KAN.

“Nggak kok nggak takut, digunting dikit doang” —> INI JELAS BOHONG.

“Sakit sedikit aja pasti beranilahhh” —> Ini bohong dan meremehkan.

GET EFFING REAL.

Yang saya bilang kalimat netral empatik sambil berpelukan semacam:

“Iya sunat emang takut ya, masa penisnya digunting sih. Tapi tenang aja, sama dokter dibius kok, aku temenin kok. Mau menangis juga boleh aja”

“It’s ok to be scared, Xylo. It’s normal because if we think about it, sunat is a really scary thing. But if you’re scared and do it anyway, you’re actually really really brave”

“Xylo kamu ingat waktu kamu mau ketemu Buzz dan Woody di Meet & Greet Toy Story? Kamu merasa kamu takut, kamu takut sekali sampai pegang kakiku terus. Tapi kamu tetap naik panggung, tandanya kamu berani. Kalau kamu takut, kamu akan kabur dan tidak jadi naik panggung. Tapi kamu tetap naik, kamu anak pemberani sekali lho!” (Xylo takut badut-badutan dan karakter apapun btw)

“Takut itu normal, Xylo. Aku takut, appa takut, semua orang takut lah kalau harus digunting badannya hiii serem memang. Kita boleh takut tapi tetap harus dijalani juga. Ditemenin kok!”

GIMANA IBU NGGAK DIBILANG MARIO TEGUH SAMA APPA?

Dengan demikian dia tau kalau dia normal. Dia tahu kalau takut sunat itu nggak apa-apa dan semua orang merasakan hal yang sama.

Paginya bangun tidur begini aja ceria. Cuma masih ragu turun kasur sendiri. 

🌞 Hari H 🌞

Yang terberat dari H adalah saya masih khawatir dia tes alergi. *TETEP* Jadi saya udah siapin 3 layer sogokan dengan berbagai pertimbangan. Sogokan ini harus benar-benar sesuatu yang dia suka dan nggak mungkin ditolak.


Plus, saya kan bukan tipe orangtua yang selalu kasih rewards ya. Berguna banget lho, karena jadinya sogokan saya yakin pasti berhasil. Gimana nggak berhasil sih orang hari-hari mau dia nangis berguling-guling gimana pun kalau saya bilang nggak ya maka nggak. Ini ditawarin langsung, ya pasti mau.

(Baca tentang rewards di sini: Bebe Anak Pemberani)

Tantangan:
- Tes alergi: Nggak terjadi.
- Pasang infus: Nggak terjadi karena dipasang setelah bius
- Puasa 6 jam: Tersogok satu Lego
- Cabut infus: Tersogok Nerf Spiderman yang dia pengenin banget

Bikin daftar tantangannya DAN pertimbangkan rewardsnya. Ini ngaruh banget untuk jaga mood anak. Soalnya bukan sekali dua kali dia minta pulang karena antara bosen nunggu dan takut aja sih, nervous gitu.

Yang juga harus dijaga adalah mood ibu dan semua yang nemenin. Saya ditemenin ibu saya kan, dan beliau sepaham banget soal definisi takut dan berani. Jadi nggak nakut-nakutin dan nggak ngeremehin juga. Murni nemenin, main, dan baca buku.

Saya juga bikin budget khusus dari dana darurat karena saya mau makan enak. SAYA HARUS MAKAN ENAK. Jadi dari sunat sampai seminggu setelahnya, saya make sure makan enak untuk jaga mood sama Bebe.

Pasca Sunat

“Sakit disunat dan berani itu beda, Xylo. Kamu boleh ngerasa sakit kok, sakit itu normal. Kamu tetap anak pemberani meskipun kamu sakit.”

Berulang-ulang saya bilang gitu untuk meyakinkan dia kalaupun dia merasakan sakit sekarang, dia nggak gagal kok jadi anak yang berani. Dia tetap berani karena sudah melewati proses sunat.

Kalimat yang saya hindari:


“Alah gini doang masa sakit”

“Udah dikit ajaaa sini ibu salepin”

“Pipis aja masa nangis sih!”

Goals di momen pasca sunat ini adalah:
- Pipis tanpa drama
- Salep tanpa drama
- Minum obat tanpa drama (Bebe bukan tipe yang susah minum obat jadi yang ini nggak akan dibahas)
- Meyakinkan dia kalau darah kering itu wajar


Ok flashback ke momen dia pulang dari rumah sakit.

Keluar dari ruang operasi itu Bebe nggak kesakitan sama sekali. Dia sangat kalem dan santai aja gitu. Nangis merengek sedikit waktu dibuka infus, tapi kalem karena udah pegang Nerf. Saat suster jelasin cara minum obat, cara pake salep, dia merhatiin dengan seksama.

Turun dari mobil dia pake stroller naik lift apartemen karena nggak ada yang kuatlah gendong dia sampai atas. Turun dari stroller dia berdiri tegak, gagah berani, dan bilang “Ibu aku mau pipis. Ibu tau kan tadi susternya bilang apa? Aku tau! Abis pipis itu penisnya harus dibersihin pake tisu dibasahin”.

100% PERCAYA DIRI. Sampai celananya dibuka, dia liat penis dan sekitarnya lalu jerit sekeras yang dia bisa. HISTERIS. HAHAHAHAHAHAHA. Asli sih ngakak.

Jadi ya namanya abis operasi bersihin seadanya kan, penis dan sekitarnya banyak darah kering. Plus penisnya bengkak, merah pula ya paniklah dia. Keberanian pun sirna. Langsung takut pipis.

Akhirnya saya kasih penutup mata yang buat tidur lalu pipis sambil jongkok. Abis pipis saya ambil tisu dibasahin dan mulailah nangis kejer berair mata sampai penutup mata basah semua.

“NOOO, SO SCARY SCARY!”

*tarik napas* *buang napas*

Mulai mikir wah jangan-jangan emang sakit banget nih. Wah gimana nih seminggu ke depan pipis sesakit ini kasian banget. Wah gimana dong nggak sanggup kayanya berdua Bebe kalau JG kerja. Langsung mohon-mohon ke JG boleh nggak besok dia kerjanya pulang cepet blablabla. Intinya saya panik sampai ngetweet panik banget.



Besok paginya masih ada ibu saya, harus diceritain karena kalau ada ibu kan Bebe manja ya. Kalau ada nini, Bebe triple manja. Pagi-pagi dia pipis sama dramanya kaya semalem. Kata ibu, “harusnya pas nangis langsung salepin”. WOW TIDAK TEGA SUNGGUH. Jadi dia nangis saya cuma peluk aja.

Jam 12 ibu pulang ke Bandung. Jam 5 dia mau pipis lagi, masih drama nangis jejeritan lagi lalu … saya ikut nangis HAHAHAHAHAHA. Saya bilang sambil nangis “Xylo, aku tau kamu sakit, tapi ibu sedih sekali kalau seperti ini. Pipismu tetap harus dibersihkan dan dikasih salep biar cepat sembuh. Ibu sedih banget kalau Xylo tidak mau”. Lalu kami menangis berdua berpelukan di kamar mandi.

DRAMA MEMANG SEHARUSNYA DILAWAN DENGAN DRAMA. Setelah itu, saya bilang, “aku punya satu Lego lagi buat kamu, Lego helikopter (favoritnya Xylo), tapi kamu harus mau aku angkat ke kasur, aku waslap penisnya dan aku salepin”.

Dia pikir-pikir lalu setuju. Dengan mata tetap ditutup penutup mata, saya angkat ke kasur, saya suruh tiduran sambil bawa waslap yang udah dibasahin air + dettol. Lalu saya bersihin dan dia … diam. Ternyata nggak sakit dong! Ya udah sekalian saya bersihin sekeliling penisnya sampai semua darah bersih.

JADI DIA JEJERITAN KARENA KEPIKIRAN AJA TAKUT SAKIT PADAHAL NGGAK.



Setelah itu main Lego berdua sambil sounding bahwa semua obat sunat itu untuk melawan bakteri jahat. Kalau bakteri jahat ada di bekas luka, nanti jadinya infeksi dan lama sembuh. Salep melawan bakteri, antibiotik melawan bakteri, salep melawan bakteri, semua melawan bakteri jadi kamu juga harus ikut melawan bakteri jahat.

Plus malemnya dikompori JG sepulang dia dari kantor “ibu itu sayang banget lho sama kamu, ibu nggak mungkin bikin kamu sakit. Itu dilap dan disalepin biar cepet sembuh”.

YA POKOKNYA AKTING LAH. Untuk punya energi untuk berakting seperti itu monmaap ibu dan appa sampai beli Gulu-gulu 4 hari berturut-turut. -________-

Setelah itu less drama. Meringis doang tiap abis pipis tapi MAU cebok dan disalepin. Cuma ya gitu, sampai detik ini (hari ketujuh) tetep belum mau liat penisnya sendiri hahaha. Masih pake penutup mata tiap pipis. Udah mandi di hari kelima setelah darahnya udah keliatan kering semua (semua warnanya kehitaman, udah nggak ada yang merah lagi).

Karena udah nggak drama jadinya saya ambisius lah. Salep itu harusnya minimal dua kali sehari, saya salepin tiap dia pipis. Jadinya hari ketiga udah tidur tengkurep, udah lompat-lompat naik turun tangga seperti tidak habis sunat. Hari kelima udah kering semua, udah mandi, dan besok akan kembali ke daycare.

Pup juga pusing karena kalau pake potty seat dia biasa (dudukan toilet anak yang ditaro di atas kloset), penisnya akan kena potty seatnya. Akhirnya saya dudukin terbalik aja kaya kalau pipis di mall. Lalu saya pakaikan ikat pinggang, selipkan kertas tebel di ikat pinggang itu biar dia nggak bisa liat penisnya. Jadi kaya shield gitu. Karena masa pup sambil pake penutup mata sih.



Gitu aja sih. Melelahkan emang. Capek di dua hari pertama aja. Hari-hari berikutnya nggak capek cuma abis waktu karena dia pipis tutup mata, angkat ke kasur, lap, salepin gitu bisa 5-6 kali sehari.

Tapi thank God sudah berlalu. Makasih doanya ya semuanya!

Cerita dari Bebe sendiri aku rekam di Podcast. Bisa dengerin di Spotify di sini ya!

-ast-






LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!