-->

Kapan Berhenti Khawatir?

on
Tuesday, October 15, 2019
Bulan lalu, saya ulang tahun ke-31. Untuk pertama kalinya sejak diserang quarter life crisis, saya merasa tenang. Ya, lebih tenang lah paling tidak, belum 100% tenang hahaha.



Apa saya jadi lebih tenang karena sudah tahu apa yang saya mau? Tentu tidak. Apa saya jadi tenang karena sudah yakin pada tujuan hidup ini? TENTU TIDAK JUGA LOL. Tapi minimal sekarang saya bisa me-manage adulthood anxiety-nya dengan lebih baik. *halah kenapa atuh ngomong suka campur-campur gitu*

Kayanya memang “tenang” jadi tujuan hidup yang paling sulit ya. Titik di mana kita (mungkin) merasa semua akan baik-baik saja meski kita tetap tidak tahu kejutan hidup apa yang akan datang. Titik di mana kita merasa kalau khawatir itu boleh dan normal, selama ada di batas wajar

Bisakah kita ada di titik itu? Di mana batas wajar untuk khawatir? Kapan kita bisa menemukan tenang?

*tarik napas*

Satu hal yang terberat dari menjadi dewasa adalah perasaan kalau kita limbung, bingung, semua jadi tidak jelas lagi tujuannya apa. Sekolah, kuliah, menikah. LALU APA? Bekerja dan cari uang? Sampai kapan? Sampai kapan harus mencari uang untuk bertahan hidup?

(Baca: The Scary Scary Adulthood)

Saya jadi tidak heran kenapa stereotype orang tua seperti nenek-nenek dan kakek-kakek itu cerewet dan banyak mempermasalahkan hal kecil. Bayangkan sudah menjalani hidup di dunia selama 70-80 tahun lalu … apa? Menunggu kematian? That sounds low-spirited, pessimistic, and … saddening. Imagine the anxiety they have, the challenge they face, playing a waiting game after years and years of a full survival mode.

Tapi setelah lama sekali ada titik terendah dalam hidup, akhirnya saya bisa sedikit tenang. Saya bisa jauh lebih sedikit merasa khawatir.

Ketenangan itu datang lewat banyak hal. Satu sama lain saling berkaitan dan memang tidak ada tips cepat melewatinya selain dijalani. Baik dijalani dengan baik atau pun dengan buruk. I’ve been through both scenarios but eventually, time heals. Not all wounds but at least some of the frustration and disappoinment has disappeared.

Di kasus saya, saya akhirnya merasa baik-baik saja setelah melewati bertahun-tahun inferiority pasca melahirkan dan punya anak. Akhirnya saya sudah bisa menerima kalau karier saya pasca punya anak tidak lagi bisa sama seperti orang yang tidak berkeluarga. Apalagi untuk ukuran saya yang masih punya standar ideal di sana sini. Akhirnya setelah hampir 10 tahun bekerja, kondisi finansial sudah semakin stabil sehingga berbagai kekhawatiran otomatis berkurang.



Decluttering lagi

Berikutnya saya belajar banyak dari mas Adjie Santosoputro. Saya datang satu sesi talkshow-nya tentang consumerism lalu saya diingatkan kalau mungkin salah satu hal yang masih saja membuat saya berat menjalani hidup adalah punya terlalu banyak barang hahahahaha.

Saya sih termasuk yang percaya, semakin sedikit barang yang kita punya, semakin sedikit pula hal yang harus saya pikirkan. Percaya sih percaya, tapi kalau lagi down tuh bawaannya ya belanja deh biar bahagia hahahahaha. Kesel kan. Kesel karena belanja itu barang nambah, uang ngurang lol.

Tahun ini saya agak tidak terkendali, setelah lancar menahan diri untuk beberap lama, tahun ini saya beli sepatu saja ada sepertinya 4 sampai 5 pasang. Belum tas dan baju hahahaha. Tas saja saya beli 4 tas baru. Terlalu banyak dan jelas berlebihan. Malah jadi tidak tenang melihat barang bertumpuk sekian banyak.

Pulang dari talkshow itu saya kembali decluttering. Sudah 2 bulan belakangan kami kembali membereskan rumah dan memilah mana yang penting mana yang tidak. Bebe juga sama, ia memilih dan memilah mainannya untuk diberikan pada orang lain. Sekarang rumah sudah agak lega, tenang rasanya.

Saya juga lebih hati-hati lagi membuang barang karena baru mengerti tentang zero waste lifestyle. Saat proses decluttering pertama karena KonMari 2 tahun lalu, saya BUANG SEMUANYA tanpa peduli buang ke mana. Waktu itu rasanya yang penting keluar dari rumah, saya tidak memikirkan bahwa semua itu akan hanya berpindah tumpukan ke tempat pembuangan sampah.

Jadi sekarang saya pilah dan benar-benar saya sumbangkan pada orang lain yang sekiranya membutuhkan. Kalau pun sampai harus dibuang karena bingung harus memberi pada siapa, pastikan tidak dimasukkan ke dalam tong sampah dan disimpan saja di bawah tempat sampah. Karena tinggal di apartemen, banyak kemungkinan orang bisa ambil karena memang tempat sampahnya pun bersih. Teman saya pernah lho memungut stroller anak yang dilipat kemudian dibuang begitu saja di tempat sampah hahahahaha.

(Baca: Beres-beres Rumah, Setahun Kemudian)

Menyadari perasaan khawatir

Selain decluttering, saya juga berusaha lebih menyadari perasaan khawatir. Ketika orang bilang, sadari emosimu sendiri, validasi emosimu sendiri, rata-rata yang dimaksud adalah emosi sedih, marah, atau kecewa. Jarang sekali orang yang mengkategorikan “khawatir” sebagai bentuk emosi.

Atau mungkin memang bukan kali HAHAHAHA. Saya kan bukan psikolog ya. Tapi yang jelas, khawatir juga bagian dari perjalanan emosi yang baru saya paham harus disadari sepenuhnya. Semacam:

“Oh saya sudah terlalu lama khawatir”

“Apa saya perlu sekhawatir ini pada hal yang baru akan terjadi tahun depan?”

“Apa perlu saya khawatir dan tidak enak hati untuk hal baru terjadi besok?

Hidup dulu di sini dan kini. Sekarang bukan besok, fokus pada apa yang harus dilakukan sekarang bukan khawatir pada masa depan. Terus menerus saya mengingatkan diri sendiri untuk merasa tenang dan membuat prioritas kekhawatiran. Sekarang khawatir apa dulu nih? Besok ya besok saja, jalani pelan-pelan.

Setelah melatih pemikiran itu, tidur saya juga jadi lebih nyenyak. Bayangkan dulu sebelum tidur ya, otak saya selalu berkejaran memikirkan besok, minggu depan, sampaaaiii jauh nanti Bebe di masa depan, blablabla. Banyak kekhawatiran yang akhirnya membuat sulit tidur. Sekarang setelah disadari kalau itu kurang sehat, saya selalu kembali memfokuskan diri untuk “ah pikirinnya besok lagi deh, sekarang tidur dulu”.

Ternyata bisa lho begitu. Ternyata bisa melatih diri untuk berhenti khawatir berlebihan. Bisa untuk seperti saya yang semua dipikirin dan seringnya dipikirin dalam satu waktu. Ya capek, besok lagi kan bisa.

Nikmati hidup sekarang dulu aja, kalau khawatir dicari solusinya satu-satu. Kalau mau rada puitis dikit: Tidak usah buru-buru, kita tidak dikejar waktu. *DIKEPLAK FINANCIAL PLANNER LOL*

Lucu ya, sementara financial planner tuh merencanakan semuanya sedetail mungkin sampai ngomongin warisan padahal masih muda, saya malah menyeimbangkan semuanya dengan tidak terlalu khawatir. Jangan takut, semua ada porsi dan waktunya masing-masing.

Oiya, ada orang yang memang terlahir kalem dan tidak khawatiran, ada orang yang terlahir santai saja meski tanpa rencana. Saya yang dulu suka cranky menghadapi orang seperti ini akhirnya bisa paham. kalau bisa tidak takut kenapa harus takut? Kalau bisa tidak khawatir, kenapa harus mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi?

Pada akhirnya yang bisa kita lakukan kan cuma berusaha. Berusaha untuk punya hidup yang kita mau. Untuk saya sekarang, saya hanya akan terus mencari ketenangan. Jiwa raga, lahir batin. Setidaknya saya sudah tahu apa tujuan hidup saya sekarang. Semoga kalian juga ya!

-ast-




LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!
5 comments on "Kapan Berhenti Khawatir?"
  1. pertamaaaxx ehehhehe selalu suka tulisan icha

    ReplyDelete
  2. Sekarang aku juga lebih memilih santai menjalani kehidupan.
    Biar saja semua berjalan sesuai kehendakNya. Mengalir seperti air. Yg penting kita lakukan yg terbaik. Dan cukup. 😁
    Sejak mikir seperti itu, tidur jadi enak, pikiran jadi enteng, nggak baperan, dan muka jadi kinclong (ngaruh nggak sih?) hehe....

    ReplyDelete
  3. Aduuuuuh semoga aku segera menyusul Mbak Annisast untuk mengurangi kekhawatiran-khawatiranku :')

    ReplyDelete
  4. aku kadang juga pingin nggak khawatir kak, udah sugesti diri "tenang tenang jangan khawatir besok" eh terus muncul pikiran "kalau besok nggak punya persiapan menghadapi yang tak terduga gimana???" khawatir lagi xD
    semoga bisa nggak terlalu khawatir deh habis ini

    ReplyDelete
  5. aku kayaknya lagi di fase quarter life crisis...huhuuu. stress amat yak. financial malah kacau. emang bisa menahan ga beli gajet, tpi tau tau beli mobil,,,aaaakk. kesel. aku mau jual sekarang.

    ReplyDelete

Hallo! Terima kasih sudah membaca. :) Silakan tinggalkan komentar di bawah ini. Mohon maaf, link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya. :)