-->

Belajar Bicara Data

on
Thursday, May 23, 2019

Kalian yang follow saya sejak lama pasti udah ngerti banget ya kalau saya apa-apa harus pakai data. Saya nggak suka orang ngomong pake “katanya” untuk sesuatu yang penting. Buat saya, “katanya” hanya sebatas obrolan ringan makan siang alias buat ghibah doang. Nggak layak masuk media sosial, nggak pantes dikutip apalagi disebarluaskan.

Soal "katanya" ini saya ekstra hati-hati, apalagi setelah baca dan mencoba memahami UU ITE. Satu “katanya” di WhatsApp atau email pribadi, bisa bikin kita masuk penjara lho. Dan ini bikin temen-temen saya gemes HAHAHAHA.

Misal ada berita selebgram atau artis rusuh, kebetulan temen kantor saya ada yang akrab nih sama si selebgram. Cerita saya jadi A1 dong ya, karena SAYA dengar langsung dari si teman. Nah tapi kalau saya cerita lagi ke orang jadinya kan “KATA TEMEN GUE” dong? Abis itu kalau temen saya cerita lagi ke orang jadinya “KATA TEMENNYA TEMEN GUE” ya kan? Cerita kaya gini suka saya hindari apalagi di group yang orangnya lebih dari 5 orang.

Kalau ketemu langsung masih okelah saya ceritain tapi kalau harus di chat, ada bukti screencapture, nggak deh. Kalau ada yang sc dan dikasih ke orangnya, maka itu bisa dituntut pakai UU ITE lho. Bahkan sekadar saya nulis “si A gendutan ya” lalu sc-nya nyampe ke si A, selamat, si A bisa nuntut saya pakai pasal karet UU ITE.

KOK JADI NGOMONGIN UU ITE.

Kembali ke data.

Throwback ke sekitar 20 tahun lalu saat saya SD kelas 4, ada kejadian yang saya ingat sampai sekarang karena perasaan yang campur aduk. Malu iya, tapi jadi pelajaran penting buat saya sampai kejadian ini terus teringat.

Waktu itu teman SD saya, sebut saja namanya Nana, tidak masuk beberapa hari. Kabar dari seorang teman (teman lho bukan guru) katanya ia kecelakaan mobil sekeluarga. Karena cukup akrab dengan Nana, saya ingat saya sedih dan sampai rumah saya cerita pada ayah. Apa komentar ayah?

“Kamu tau dari mana? Kalau cuma tau dari katanya teman dan nggak bisa dibuktikan, itu namanya gosip.” Ayah being ayah, beliau wartawan juga btw.

Saya mikir iya juga. Lha yang bilang aja bukan guru kok. Kalau guru yang bilang kan mungkin guru dapat kabar dari orangtuanya. Kalau teman yang bilang, mana buktinya? Si teman ini rumahnya berjauhan pula. Gimana bisa dia tahu soal kecelakaan?

Besoknya (harap maklum saya masih kecil), saya malah bilang ke teman lain kalau berita kecelakaan itu cuma gosip. Beritanya jadi semakin simpang siur sampai seminggu kemudian Nana masuk dengan perban di dahi dan pipi. Benar dia kecelakaan sekeluarga.

Saya malu dan sedih karena duhhh beneran kok kecelakaan kok saya malah bilang gosip sih!

Tahun demi tahun berlalu sampai tiba saya masuk jurusan Jurnalistik dan harus ikut orientasi jurusan. Ada beberapa buku yang harus dibaca. Satu buku pada bab 1 langsung to the point kalau seorang jurnalis itu harus skeptis. Saya beneran langsung inget kejadian Nana dan ya, ayah benar, ayah hanya skeptis, meragukan segalanya sampai ada bukti. Saya yang salah karena masih tidak punya bukti tapi malah ikut menyebarkan info.

Bertemu JG, dia orang yang 100% bicara data juga (saya 95% soalnya 5% nya itu pas PMS, maunya drama nggak mau data nyahahahahaha). Dulu, perkara daging kambing aja pernah bikin kami berantem karena saya keukeuh daging kambing bisa bikin darah tinggi.

Dia tantangin untuk cari research terus saya nangis karena ternyata emang bener daging kambing nggak bikin darah tinggi. Nangis karena banyak keluarga darah tinggi dan menghindari daging kambing, malah disuruh dokter, tapi kok kenyataannya nggak bikin darah tinggi sih. Sebel banget!

Tapi lama-lama terbiasa, kalau kami ngobrol serius ya bawa data bukan bawa perasaaan. Semua yang kami lakukan untuk Bebe juga pake backup science, tanya psikolog atau bawa research dari lembaga yang kami berdua yakin terpercaya.

(Baca: Memahami Anak)

Sekarang semakin Bebe besar, saya juga mengajari Bebe hal yang sama. Saya kejar dia untuk nggak gampang percaya sama orang. Kemarin di IG story saya kasih contoh dia bilang “kata si A bisa bakar kertas pakai kaca pembesar”. Karena saya tanya "Terus kamu percaya? Mau coba dulu nggak? Atau mau nonton YouTube?"

Itu dia langsung minta dibeliin kaca pembesar ke aki untuk coba. Setelah yakin benar kertas bisa terbakar, baru dia boleh percaya.

Sedikit tips buat yang mau belajar bicara data:

- Luangkan waktu untuk kroscek, tabayyun bahasa gaulnya, ukh.

- Pastikan data yang kita kroscek adalah data terpercaya. Kalau memang datanya fisik seperti si Nana temen saya, kan bisa dilihat langsung. Kalau datanya digital, pastikan kalian cari sumber yang BENAR. Kalau research biasanya lebih meyakinkan kalau dari universitas karena biasanya mereka meneliti demi keilmuan bukan dibayar brand, websitenya akan berakhiran .ac atau .edu.

- Kalau kalian nggak punya waktu untuk kroscek yang terbaik adalah DIAM. Nggak usah ikutan ngomong karena cuma bikin ribut aja. Berisik dan nggak penting.

Oiya, skeptical ini memang tipis banget sama negatif sih. Kadang nggak cocok sama orang yang positive vibes all the way. Karena kalaupun beritanya positif, respon pertama selalu? Iya ya? Bener gitu? Masa sih? Siapa bilang? Sebagus itukah? Faktanya gimana? Apa ada dampak lain? Begitu terus until proven otherwise.

Bahkan baca buku juga gitu. Kadang kalau baca buku sama Bebe terus ada fakta yang bikin saya ragu, saya pasti langsung cek bukunya terbitan tahun berapa dan kroscek ulang via Google. Beneran deh, saking cepetnya ilmu pengetahuan, banyak buku yang outdated karena ada research yang lebih baru.

Saya juga bisa sampai di sini karena selalu skeptis. Sebagai jurnalis, skeptis itu harus. Nggak gampang terbuai, nggak gampang percaya, nggak gampang sebar informasi apalagi kalau nggak jelas sumbernya dari mana.

(Berpikir kritis itu harus diajarkan! Mengajarkan Anak Berpikir Kritis)

Pelajarannya apa? 


Kalau bicara sama saya, bicara di social media, bicara di tempat umum, tolong pakai data. Apalagi kalau datanya fisik lho bukan data digital, itu data kasat mata, fisiknya aja bisa kita pegang. Kalau nggak percaya apa nggak pengen congkel aja itu mata karena membohongi kita?

Bicara data ini menakar logika kalian lho. Orang yang ngotot: “TAPI CURANG! TAPI DISUSUPI! TAPI DIBAYAR! TAPI TIDAK JUJUR!”

Mana buktinya, darling-darlingku? Sini deh kasih saya bukti yang bisa saya lihat dan saya pegang baru saya percaya.

Saya bisa lho bilang ke kalian “PAPA KALIAN SELINGKUH! PAPA KALIAN SUKA MAIN SAMA PSK!” dan kalian harus percaya karena ya levelnya sama. Nggak bisa dibuktikan toh keduanya?

Hukum di belahan dunia mana juga pakai Presumption of Innocence: Innocent until proven guilty. Ngerti nggak? Apa baru denger? Asas praduga tak bersalah, sampai terbukti sebaliknya. BUKTI, SAYANGKU. BUKTI DATA. Bukan katanya-katanya.

Kenapa saya yang jarang bereaksi sama hal-hal kaya gini sampai nulis? Karena jujur kaget banget sih kemarin di DM saya ternyata masih banyak yang nggak pakai logika. Ditanya datanya mana, SEMUA, SATU PUN nggak bales lagi karena ya memang nggak punya kan.

(Baca postingan tentang politik yang mana sudah 2 tahun lalu lol: Hal yang Berubah Sejak Pilkada DKI )

Saya juga bingung kenapa mereka follow saya ya? Nggak mau unfollow aja? HAHAHAHAHAHA. Saya kan kalau sharing selalu kasih backup riset resmi. Apa nggak bertabrakan tuh sama logika mereka? Saya nggak pernah ngomong atau sharing sesuatu kalau belum pernah mengalami apalagi nggak punya backup risetnya.

Btw saya sangsi tulisan ini bisa mengedukasi sih, karena biasanya orang yang nggak mau tau soal data dan logikanya dipertanyakan, NGGAK MAU BACA TULISAN SEPANJANG INI HAHAHAHA.

R.I.P. LOGIC.

-ast-




LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!
7 comments on "Belajar Bicara Data"
  1. setuju!!!!!!!!!

    kamu persis suamiku,,skeptis abis dan gak gampang percaya..

    kalau ngomong sama dia harus pakai bukti otentik..

    kadang emosi juga ngadepinnya berasa gak dipercaya,

    ReplyDelete
  2. Dont make any assumstion if cant be proven, kecuali untuk masalah personal yang tidak menyangkut khalayak hidup orang banyak, meski ada buktinya nggak usah diributkan, its none of your business..

    ReplyDelete
  3. Setuju sihhh...
    Saya juga skeptis, tapi malah dikira orang saya terlalu cuek,terlalu apatis....

    Ya karena bagi saya, "Katanya" adalah jebakan untuk adu domba.

    ReplyDelete
  4. Waauuww... good post!! Membuka pikiran saya dan akan saya ingat tentang "data / bukti" karena saya adalah orang yang positif hehehehe...

    ReplyDelete
  5. Saya juga penyuka data Mbak. Senang mencari, membaca dan mengoleksi data.
    Tos!

    ReplyDelete
  6. Salah satu cara juga untuk menghindari hoax ya. Thank you, Cha!

    ReplyDelete
  7. Setuju. Aku juga suka kalau ngomongin sesuatu pakai data, dan bakan kagum banget sama siapa pun yang argumennya didukung data yang cukup dan kredibel. Segitunya sampai one day, aku baca-baca komentar warganet sebuah channel berita di YouTube. Kebetulan ada sebuah adu argumen di sana. Salah satu komentar bilang kalau harga tiket pesawat di negara tetangga nggak semahal di Indonesia (waktu itu beritanya ttg kenaikan harga tiket pesawat). Merasa skeptis, aku akhirnya cari pembuktian sendiri, bandingin harga di Trav*l*ka, berapa penerbangan sehari di tiap-tiap bandara yg aku jadikan sampel, berapa maskapai yg melayani rute2 tertentu, jenis penerbangan, kapasitas bandara, volume penerbangan tiap tahun, sampai akhirnya pertanyaanku terjawab. Sedikit banyak, blog Mbak Icha juga berjasa bikin aku jadi kayak gini, punya jalan pemikiran yg lebih proper, kuat, dan terbuka. (Aku ngikutin blog udah sejak SMA, sejak Xylo masih kecil).

    ReplyDelete

Hallo! Terima kasih sudah membaca. :) Silakan tinggalkan komentar di bawah ini. Mohon maaf, link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya. :)