-->

Nenek

on
Sunday, April 24, 2016
Rabu, 20 April 2016.

Jam di ponsel menunjukkan angka 22.56 tapi Semanggi masih padat merayap. Dipadati orang-orang yang masih juga sibuk memencet klakson dan menyerobot sana-sini.

Xylo sempat tertidur namun akhirnya terbangun setelah mobil berhenti sejenak untuk menjemput adik saya. Kami janjian bertemu di stasiun pengisian bensin untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandung. Perjalanan singkat yang rasanya seperti saya lewati dengan bermimpi. Mungkin karena memang saya setengah tidur, mungkin juga karena pikiran saya yang seperti kosong.

Cipularang hujan deras. Suami menyetir dan adik saya, Lika duduk di depan, mengobrol tentang banyak hal, tentang pekerjaan, mereka tertawa-tawa. Saya terlalu mengantuk untuk ikut serta. Lagipula satu gerakan salah dari saya, bisa mengakibatkan Xylo bangun dan menangis.

Jadi saya hanya diam. Tidur sejenak kemudian terbangun melihat air hujan jatuh menabrak-nabrak kaca mobil. Suara wiper berdecit membantu mata menyapu tetes air yang menghalangi pandangan. Saya tidur sekejap kemudian mengusap-usap punggung Xylo yang tampak tidak nyaman tidur di jok mobil tanpa car seat.

Bandung sudah dekat. Pintu tol Pasteur sama sekali tak ramai, bukan hari dan jam afdol para turis. Jam belum menunjukkan pukul 2 dini hari. Melewati jembatan gunung batu, saya seperti sesak membayangkan bau itu tak lama akan tercium lagi. Bau kamper dan bunga menjadi satu.

Bau "kematian".

*

Enam jam sebelumnya.

JG masih sibuk memasak makan malam di dapur. Saya bermain mobil-mobilan dengan Xylo di kamar. Saya mengambil ponsel, seperti biasa itu jadwal kami menelepon ayah ibu saya di Bandung via video call. Dua kali saya menelepon, keduanya gagal.

Bukan hal yang aneh. Ibu saya tidak selalu memegang ponsel. Tapi tak lama kemudian muncul sebaris pesan di grup keluarga.

"Ibu lagi di jalan, mau ke rumah nenek"

Pesan itu aneh. Karena sudah jam setengah 9 malam, untuk apa ibu saya membelah Bandung dari timur ke barat untuk ke rumah nenek kalau tidak ada sesuatu yang urgent?

"Nenek kenapa?"

Ibu kemudian menjelaskan tetangga nenek menelepon karena melihat rumah nenek lampunya belum juga menyala padahal waktu magrib sudah lewat.

Empat puluh menit kemudian saya lewati dengan mengecek ponsel beberapa menit sekali menunggu kabar, sampai akhirnya ayah menelepon. Mengabarkan satu kalimat. Yang saya jawab dengan satu kalimat pula.

"Aku sama Lika pulang sekarang, ay"

Saya dan Lika kemudian berjanji bertemu di stasiun pengisian bensin untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandung. Perjalanan mimpi.

*

Nenek saya tutup usia di tahun ke 77. Nenek sehat wal afiat. Paginya masih menelepon ibu saya karena merasa agak tidak enak badan. Namun saat diantar ke dokter, tidak ada yang salah. Semua bagus, detak jantung normal, tekanan darah normal. Dokter hanya memintanya beristirahat di rumah.

Matahari terbenam, namun lampu rumah nenek tak kunjung menyala. Tetangga depan rumah menelepon ibu karena merasa janggal. Ibu kemudian meminta tolong para tetangga untuk mendobrak pintu sementara ibu sendiri, ayah, serta kedua tante saya bergegas menuju rumah nenek

Saat para tetangga mendobrak pintu, nenek ada. Ia sedang duduk di ruang tamu yang tirainya belum ditutup. Posisinya damai seperti orang sedang tidur. Mata dan mulut mengatup. Tetangga yang kebetulan bidan bilang, belum empat jam nenek pergi.

Nenek meninggal dunia dengan tas mengaji teronggok di sebelahnya, di atas kursi tamu. Ada buku yang sepertinya sedang dibaca, terjatuh di sampingnya.

*

Sudah sekitar 2 tahun terakhir nenek tinggal sendirian. Tante saya yang tinggal di rumah nenek terpaksa harus pindah dan tidak bisa menemani nenek sepanjang waktu. Tante saya ini harus merawat dua sepupu saya yang ibunya meninggal dunia karena kanker payudara.

Kedua sepupu lain yang dulu tinggal di rumah nenek juga sekarang bekerja di luar kota. Dan nenek tidak mau tinggal di rumah anak-anaknya. Selalu ingin di rumahnya sendiri.

Meskipun usianya hampir 80 tahun, nenek tak pernah hanya duduk diam di rumah. Rajin tahajud dan salat sunat lainnya. Setiap hari aktivitasnya dimulai pukul 4 untuk menyapu dan mengepel rumah. Kemudian ada saja kegiatannya, dari mengaji, arisan, sampai nonton bioskop bersama teman-teman jika kebetulan ada film religi yang tayang.

Nenek bahkan berani pergi mengaji ke Mesjid Agung, Alun-alun Bandung sendirian. Saya pernah bertanya khawatir: "Kalau ngaji ke mesjid agung itu pergi sendirian, nek?"

Nenek: "Nggak"

Saya: "Sama siapa?"

Nenek: "Sama Allah" *dengan telunjuk mengacung ke langit*

Fun fact: Nenek mualaf. :)

*

Jam 2 kurang seperempat dini hari itu kami sampai ke rumah nenek. Di depannya sudah berdiri tenda dengan kursi berjajar, menghalangi jalan. Di ujung jalan, bendera dari kertas wajik warna kuning disematkan di tiang listrik.

Di ruang keluarga, keluarga besar sudah berkumpul. Tinggal menunggu kami dan satu sepupu yang sedang dalam perjalanan dari Semarang. Om saya mengaji di depan jenazah nenek yang sudah dimandikan dan ditutupi kain batik coklat. Tidak ada tangis histeris, tidak ada bau kamper atau bau bunga yang saya khawatirkan.

Semua mengobrol pelan. Semua sepertinya merelakan.

*

Nenek punya anak 5, perempuan semua. Yang sulung tinggal di Denmark bersama suaminya. Ibu saya putri kedua, putri keempat meninggal dunia karena kanker payudara. Saya cucu pertama dan layaknya semua cucu pertama di dunia, saya istimewa.

Saya yang diajak nenek naik becak pergi ke Cihampelas untuk belanja bulanan di Premier. Pulangnya kami selalu membeli es yoghurt yang dimakan di atas becak. Saat belum bekerja, saya yang selalu diberi uang lebih banyak dibanding cucu lainnya. Saya yang dibelikan gitar hanya karena ada satu ujian saat SMP yang mengharuskan kami membawakan sebuah lagu dengan gitar. Gitar itu sampai sekarang teronggok, tak ada yang bisa memainkannya kecuali ayah saya.

Nenek menikah dengan kakek saya dengan "paksaan", dijodohkan oleh orangtuanya. Nenek saat itu punya pacar orang Belanda bernama Willem. Namun tentu tidak disetujui orangtua.

Suatu hari nenek diseret oleh ayahnya dari rumah di Pasteur (sekarang rumah itu sudah jadi hotel Ibis). Nenek diseret menuju Mesjid Cipaganti di mana kakeknya, buyut saya, sudah menunggu dengan penghulu. Mereka kemudian menikah.

Menikah di mesjid, nenek sebenarnya dibesarkan di agama Kristen sejak kecil. Sampai kemudian punya anak, ibu dan tante-tante saya sekolah di sekolah Kristen. Seingat saya, ibu saya baru belajar mengaji saat saya SD. Setelah ibu bisa mengaji, baru nenek belajar mengaji dan mulai belajar ilmu agama Islam.

*

Pagi tiba. Semua orang siap pergi ke makam. Saya merelakan diri jadi penjaga rumah, tidak mau ikut ke makam. Bahkan sejak sampai di rumah nenek sampai pagi itu, saya tidak mau melihat wajah nenek. Saya pun tidak mau punya kenangan melihat jenazah nenek dimasukkan ke dalam tanah. Tidak.

Biarlah nenek menjadi kenangan manis. Nenek yang selalu memasak kalau saya datang ke rumah. Nenek yang kalem dan tak pernah marah. Nenek yang pernah bilang saat saya SMP, mengizinkan saya pacaran asal usia saya sudah 17 tahun. Nenek yang selalu ikut kami liburan keluarga. Nenek yang kesampaian punya buyut pertamanya, Xylo.

Selamat jalan, Nenek. Until next time.

-ast-




Sent from my iPhone




LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!
15 comments on "Nenek"
  1. Baca ini... mata mba ir berkaca2 cha. Sedih tp indah, nenek pergi dgb tenang ya. Insyaalloh khusnul khotimah...

    ReplyDelete
  2. Sebuah akhir yang indah. Semoga Nenek husnul khotimah.

    ReplyDelete
  3. Kak Icha, turut berduka cita yaaa...it's a beautiful post btw.

    ReplyDelete
  4. Turut berdukacita sedalam-dalamnya. Air mata netes nih baca nya. Aku jg punya kenangan indah dengan nenek ku

    ReplyDelete
  5. Icha, wht a genuine yet sincere piece to honour your Nenek. Deep condolences for yor family.

    ReplyDelete
  6. What a lovely grandma.... al fatehah

    ReplyDelete
  7. Sedih baca ini.. :'( Turut berduka cita ya kak Icha.. Nenek sepertinya meninggalnya tenang sekali ya.. Inshaallah khusnul khotimah ya Kak.. Aaaaamiin.

    ReplyDelete
  8. turut berduka cita kak icha, sampe berkaca-kaca aku bacanya, semoga nenek kak icha khusnul khotimah aamiin :')

    ReplyDelete
  9. turut berduka cita mba icha... sebuah pembelajaran buat saya yang masih punya nenek dari suami :')

    ReplyDelete
  10. Innalillahi wa inna ilaihi roojiun.. semoga nenek diterima iman islamnya dan dilapangkan kuburnya. Aaamiin.. turut berduka cita ya cha..

    ReplyDelete
  11. Kak Ichaaaaa aku jadi kangen alm. nenekkuu yang kisahnya ga jauh bedaaaaa semoga semuanya Husnul Khotimah :')

    ReplyDelete
  12. Allohummagfirlaha warhamha wa afihi wafuanha ... turut berduka cita yaa mba icha ... In Sha Alloh nenek khusnul khotimah .... Aamiin yra

    ReplyDelete
  13. Sedih banget, jadi inget ma alm nenek yang di solo.

    ReplyDelete
  14. suka banget alurnya, bahasanya mengalirrrr :(( keren mbakk

    ReplyDelete

Hallo! Terima kasih sudah membaca. :) Silakan tinggalkan komentar di bawah ini. Mohon maaf, link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya. :)