-->

#SassyThursday: CATCALLING

on
Thursday, December 1, 2016


Iya, ini terinspirasi oleh post mas Arman Dhani di bawah soal pengalaman paling merendahkan yang dialami perempuan di jalan. Membacanya saya sedih, sedih sekali.



Hampir 5 tahun di Jakarta, saya tidak naik kereta, naik angkot pernah beberapa kali, naik Kopaja baru 2 kali. Iya sih naik TransJakarta dulu tapi bukan rutinitas (sesekali saja karena kost deket kantor). Jarang sekali jalan sendirian, pasti bersama teman karena saya penakut.

Baca punya Nahla:

Mungkin terakhir saya di-suit-suiti orang itu saat SMA karena SMA saya dekat pasar, catcalling jadi seperti sudah biasa. Malah terparah saat ada exhibisionis pamer kemaluan di depan siswi-siswi yang lewat. Saya tidak di sana tapi teman-teman saya ketakutan sekali, mereka melapor pada guru.

Saya juga pernah mau pergi les berdua dengan teman saya, perempuan juga. Turun dari angkot, saya dan teman saya masih harus berjalan sekitar 500 meter menuju tempat les. Padahal jalan ramai, tiba-tiba kami "dikepung" oleh mungkin sekitar 10 - 15 anak SMA lain. Kami tidak kenal mereka, mereka bukan siswa tempat les kami.

Semua laki-laki. Mereka tidak menyentuh namun mereka berjalan bersama kami dan tertawa-tawa mengintimidasi. Mengobrol seolah kami tidak ada di tengah-tengah mereka.

Mereka benar-benar ada di sekeliling, jalan cepat pun tidak bisa karena beberapa orang sengaja berjalan lambat sangat dekat di depan kami. Pasrah, mau berlari pun sudah lemas duluan. Saya dan teman saya saling menggandeng tangan kuat-kuat karena sungguh takut sekali. Takut salah satu di antara kami ditarik pergi. 😣

Tapi menjelang tempat les yang sangat sangat ramai dan banyak orang yang kami kenal, mereka perlahan menjauh. Sampai akhirnya tau-tau kami berjalan berdua lagi. Teman saya sudah hampir menangis, saya pun shock berat karena tidak bisa mencerna tadi itu maksudnya apa. Kenapa kami diperlakukan seperti itu?

Bertahun-tahun kemudian saya baru sadar bahwa oh mungkin mereka hanya iseng. Melihat dua perempuan berjalan kemudian ingin menunjukkan power, ingin mengintimidasi. Entah apa yang didapat dengan melakukan hal tersebut. Bangga mungkin? Senang? 😕

Jadi yah, pengalaman saya direndahkan di jalan sudah lama terjadinya. Karena kebetulan daerah rumah saya sekarang Islami sekali. Ada yang nongkrong di warung tapi berbaju koko dan sarung, sekadar mampir pulang salat di mesjid. Panitia 17 Agustusan pun dress code-nya tetap baju koko. Jadi kalau jalan sendirian, tidak ada yang catcalling juga.

Saya juga bertanya pada JG dan berdiskusi soal point of view dia soal catcalling ini. Pertanyaan saya yang paling utama "kenapa harus suit-suitin cewek sih?". Kata JG "nggak tau ya, aku nggak pernah suit-suitin cewek di jalan tapi mungkin karena mereka menganggap cewek yang lewat itu cantik."

Kemudian saya sebel banget karena masa karena cantik doang sih! Dan JG tetep berpendapat "serius deh, kalau nggak dianggap cantik nggak akan dipanggil-panggil kok."

Duh tapi alasan "cantik" itu sungguh sangat sialan sekali karena cantik kan masalah selera. Kalau itu alasannya pantas saja apapun bajunya, terbuka atau tidak, disuit-suitin mah tetep ya kan? Pantes jilbab sudah lebar, baju sudah longgar pun tetap disuit-suitin "assalamualaikum bu haji". 😠

Ada juga yang beralasan "ceweknya yang minta disuit-suitin" what! Itu serendah-rendahnya laki-laki banget, beranggapan mereka sedemikian mudah tergodanya hanya karena itu cewek dianggap cantik? Dan mereka berharap itu cewek bangga gitu disuit-suitin? Rendah sekali harga perempuan!

Jadi harus bagaimana? Apa perempuan harus menutup diri sampai wajah? NO! Laki-laki yang harus diajari menghargai perempuan.

Mungkin ini jadi terdengar klise karena banyak sekali yang bilang demikian kan, tapi memang benar! Kita terlalu sibuk meminta anak perempuan kita menjaga diri sampai lupa bahwa anak laki-laki kita harus diajari untuk menjaga perempuan. Untuk menghargainya, untuk tidak pernah merendahkannya.

Saya sendiri merasa demikian, mungkin karena stigma yang terlalu kuat melekat saya sering sekali berpikir "kayanya kalau anak gue cewek, gue bisa jantungan, untung anak gue laki." Karena saya berpikir jalanan sungguh tidak aman untuk perempuan.

Padahal punya anak laki-laki, peer besarnya adalah bagaimana dia bisa mengerti perannya sebagai laki-laki dan ini harus ditanamkan sejak kecil. Bahwa tidak main kasar dengan ibu, tapi boleh dengan appa. (main kasar = gulat atau tindih-tindihan).

(Baca: Mengajarkan Gender pada Balita)

Yang paling penting juga adalah, bagaimana nanti Bebe harus melihat perempuan equally. Dia tidak boleh melihat perempuan sebagai kaum kelas dua yang kerjanya hanya masak di rumah. Dia harus bisa masak, harus bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang dulu selalu disebut sebagai "pekerjaan perempuan".

Cara terbaiknya adalah dengan memberi contoh. Sampai sekarang Bebe mengasosiasikan masak dan ke pasar itu adalah tugas appa, bukan ibu. Dia tau ibu bisa masak karena sering main masak-masakan sama saya tapi kalau ada orang masak dia selalu bilang "masak seperti appa". Itu contoh yang paling kecil sekali.

Berikut-berikutnya ya saya selalu menekankan hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan pada perempuan. Selalu saya tes dengan nama teman-temannya di daycare, apakah si A perempuan? Apakah si B laki-laki? Dia mulai bisa membedakan bahwa teman-temannya yang laki-laki lebih suka lari-lari sementara temannya yang perempuan lebih suka memeluk boneka. Hal-hal seperti itu.

Mengapa dari usia sekecil ini? Karena saya takut terlambat. Berita anak SD sudah mengerti memperkosa seperti itu sama sekali tidak masuk pada logika saya, tapi itu jelas jadi alarm bahwa tidak perlu menunggu usia tertentu untuk mengajari anak laki-laki menghargai anak perempuan.

(Baca: How are we gonna raise our kids?)

Kembali ke catcalling, sungguh saya tidak melihat solusi instan dan urusan ini. Pendidikan harus merata, pengangguran harus diberantas jadi tidak banyak yang nongkrong tidak jelas di pinggir jalan. Pendekatan agama juga seharusnya bisa menjaga.

Katanya bisa dilaporkan ke polisi, oh tentu lapor saja sih bisa. Ditindaklanjuti tidak? Belum tentu, lha wong kecopetan atau kemalingan di tempat kos aja entah tidak lanjutnya bagaimana. Apalagi catcalling, dianggap serendah-rendahnya harassment. But still, it's a harassment.

Kita harus bagaimana? Ada yang punya ide? Atau ada yang mau bercerita pengalaman catcalling juga? Komen di bawah yaaa.

-ast-

BTW Nahla lagi ikut competition. Dia bikin video soal bagaimana hidupnya harus bisa di-switch jadi 6 peran. NONTON YA! Makasih banget kalau sekalian mau like, komen, dan share!




LIKE THIS POST? STAY UPDATED!


LATEST VIDEO

PLEASE SUBSCRIBE!
11 comments on "#SassyThursday: CATCALLING"
  1. Cha, gue dulu kan tinggal di Padang. Sejak masih SD gue ngalamin catcalling ini, entahlah karena di daerah ya makanya orang-orangnya norak. Dulu gue gak pernah menanggapi, cuek jalan terus, pandangan lurus ke depan. Ketika pindah ke Jakarta, kayaknya jarang ya mengalami lagi.

    ReplyDelete
  2. kadang kalo lagi kesel dan ga tahan... aku sautin balik "Berisik lo!" tadinya ga berani, cuma ngeliat sodaraku yg berani ngelawan pas lg digodain aku jd berani. nah skg kebiasaan pasang muka jutek banget banget kalo lg jalan kaki. hahaha. aku juga pernah ketemu eksibionis, 2x, dan 22nya pas lg sendirian. pertama di angkot dan aku pakai baju seragam sekolah rok panjang. kedua di deket rumah pas pake baju longgar sm jeans. their minds really fucked up, right?

    ReplyDelete
  3. Mungkin karena selama ini anak cowok selalu ditanamkan bahwa wanita itu lebih lemah dari mereka, jadi mereka bisa semaunya.

    Cuma kadang gak habis pikir sama yang catcalling sama cewek yang jelas-jelas bawa gandengan. Aku malah beberapa kali digodain sama pengendara sepeda motor waktu lagi naik mobil sama suami, ckckck

    ReplyDelete
  4. Kak ichaa..... sebagai perempuan di engineering, saya sering banget (menurut saya sih) dilecehkan. Dari mulai obrolan yang kurang sopan, sampe nyebut-nyebut (maaf) kelamin. tapi yaudah semua dianggap candaan. mau lapor atasan, yaa gitu aja sih tanggapannya. -__-

    Terakhir kena catcalling, minggu kemaren, pas mau yoga. Padahal udah pake oversize sweater. Mau nyautin balik, orang yang catcall, masih satu grup perusahaan, takut rempong urusan kantor. damn.

    Mungkin yang bisa kita lakukan sebagai ibu, harus bisa mengajarkan anak laki-laki kita untuk lebih menghargai perempuan. Karena yang berpendidikan dan di kantor pun bisa melakukan hal seperti itu :D

    ReplyDelete
  5. Halo Ica, kalo menurut saya, selain mengajarkan anak perempuan untuk "menjaga diri" seperti kamu bilang di atas, alangkah baiknya kalo anak perempuan juga diajarkan untuk membela diri. Misalnya, ajarin pencak silat sejak dini huehehehe.. kalo saya sendiri kalo disuit-suitin, biasanya saya langsung 'freeze', noleh, liat langsung mata orang yang suit-suitin. Terus ngmg dengan judes, "ada apa ya, kok berisik banget?" *tatapan tajam. Biasanya sih, cowo itu kemudian salting sendiri. Pernah juga dicolek waktu lagi jalan di pasar kota kembang di Bandung sama mamang2 DVD, langsung lah saya ngamuk dan gebukin mamang-mamangnya ampe dipisahin ama org lain. :)) kalo cuma disuitin sih saya ga pernah marah ampe segitunya, tapi kalo udah dicolek. Aduh langsung kayanya darah semua naik ke kepala. Anyway, my point is, perempuan kalo digangguin cowok, jangan takut, cowok juga takut kok kalo ceweknya galak.

    Oh pernah juga saya ketemu orang eksibisionis, malem-malem jalan gelap, ketika ngeliat, pertama kaget shock, dan pengen teriak, a second after, saya langsung stay cool, buang muka dan jalan kalem. Karena yang saya tahu, org eksib kalo liat "audience" nya resah malah makin happy. Ppfft..

    ReplyDelete
  6. Kayaknya JG bener deh Cha, aku seumur-umur belum pernah kena catcalling, maybe karena wajah dan tubuhku biasa2 aja kali ya. Plus aku memang jarang bepergian jauh dari dulu. Pas masih ngajar jarak rumah-sekolah cuma 5 menit jalan kaki.

    Tapi temen2 yang kena bahkan kenyang kena catcalling banyak bangettt. Dari sekedar di suit2in, dicolek dagunya atau malah ditabok bokongnya *_____*
    Seringnya di kendaraan umum ya, busway atau KRL tuh yang parah banget. Dipepet, diliatin alat kelamin sampe onani di depannya. Astaghfirullah. Naudzubillah :(((

    ReplyDelete
  7. huwaa..aku sering di catcalling in. kemarin baca post2 IG nya Marisa Anita, eh dibahas di mari...oke banget. dan Nahla sangat membara hahaha.

    yang paling parah, aku pernah ditabok dari belakang. itu jaman masih kuliah, aku pulang drai rapat malem2..sendirian. ada motor pelan gitu, tahu2 nabok. seketika aku teriak, lari. temen2ku heboh...bahkan mereka jd khawatir aku bakal trauma.
    di angkot, di bis, iyeuuh...srg bgt. dan...termasuk di pabrik.

    ReplyDelete
  8. sebagai emak yang kedua anaknya laki-laki, aku setuju banget. sedari kecil mereka harus diajari cara menghargai dan menghormati wanita.

    ReplyDelete
  9. kalau digalakin balik biasanya catcaller langsung jiper kok...dan mereka juga malu ribut, karena yg melakukan itu rata2 loosers.
    tapi susah ya jaman sekarang, sudah banyak yg kena papar porn jadi bukan masalah bagaimana mengajari mereka menghormati wanita saja, tapi gimana dari kecil harus jaga pandangan...terutama dari gambar2 ga beres..kalau remnya sudah rusak krn porn, mau diajarin ibunya dari kecilpun tetep anggap perempuan itu obyek entah fantasinya atau yg lain...

    ReplyDelete
  10. pakaian tertutup juga ga ngaruh, Mba. kalo asal otaknya udah ngeres mah susah..
    jadi klo ada pelecehan, jangan disalahin cewenya tapi yg utama ya si cowo..
    otaknya mungkin udah somplak. dikira cewe tuh cuma mainan aja kali ya..

    ReplyDelete
  11. Nggak tau kenapa, urusan usut-mengusut masalah di kepolisian itu harus pake 'pelicin'. Nggak ada duit ya nggak jalan. Padahal polisi mah harusnya mengayomi masyarakat yah. Tapi gatau deh jarang liat kerja nyatanya untuk hal-hal yang bagi mereka adalah barang sepele. :(

    ReplyDelete

Hallo! Terima kasih sudah membaca. :) Silakan tinggalkan komentar di bawah ini. Mohon maaf, link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya. :)